Sabtu, 26 Oktober 2013

KARYA ILMIAH 5



LAPORAN EKONOMI BULANAN SELAMA 2006




(Materi Diskusi)










Oleh : Muh. Abdul Halim, SE








PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
JAKARTA

 
Desember 2006
Pendahuluan

INDIKATOR EKONOMI

No
Indikator
2002
2003
2004
2005
2006
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17


18
19
20




21


22
23
Nilai PDB Harga Konstan Tahun 2000 (Rp triliun)
Pertumbuhan PDB (%)
Inflasi (%)
Total Expor (USD Milyar)
Expor Non Migas (USD milyar)
Total Impor (USD milyar)
Impor  Non Migas (USD milyar)
Neraca Perdagangan (USD Milyar)
Neraca Transaksi Berjalan (USD milyar)
Cadangan Devisa (USD milyar, akhir tahun)
Posisi Utang Luar Negeri (USD milyar)
Rupiah/USD (Kurs Tengah Bank Indonesia)
Total Penerimaan Pemerintah (Rp Triliun)
Total Pengeluaran Pemerintah (Rp triliun)
Defisit Anggaran (Rp triliun)
Uang Primer (Rp triliun)
Uang Beredar (Rp triliun)
a.  Arti sempit (M1)
b.  Arti Luar (M2)
Dana pihak Ketiga Perbankan (Rp triliun)
Kredit Perbankan (Rp triliun)
Suku Bunga (% per tahun)
a.  SBI satu bulan
b.  Deposito 1 bulan
c.  Kredit Modal Kerja
d.  Kredit Investasi
Persetujuan Investasi
-  Domestik (Rp triliun)
-  Asing (Rp triliun)
IHSG BEJ
Nilai Kapitalisasi Pasar BEJ (Rp triliun)
1,506.10

4.38
10.03
57.0
44.9
31.2
24.8
25.8
4.7
32.0
131.3
8,940
299.0
244.0
-23.2
138.3

191.9
883.9
845.0
365.4

12.9
12.8
18.3
17.8

25.3
9.7
424.9
268.4
1,579.60

4.88
5.06
55.6
43.1
29.5
22.6
26.1
4.0
36.3
135.4
8,330
340.7
258.1
-37.7
136.5

207.6
911.2
866.3
411.7

8.1
7.7
15.8
16.3

16.0
6.2
742.5
411.7
1,660.60

5.13
6.4
69.7
54.1
46.2
34.6
23.5
2.9
35.93
136.1
9,355
407.5
306.1
-17.4
199.7

253.8
1,033.50
965.1
553.6

7.4
6.4
13.4
14.1

36.80
10.3
1,002.20
679.9
1,749.60

5.6
17.11
85.57
66.32
57.55
40.16
28.02
0.93
34.72
133.5
9,830
516.2
542.4
-26.18
239.8

281.9
1,203.20
1,134.10
689.7

12.75
11.98
15.92
15.43

50.58
13.58
1,162.60
758.4
905.6 (1)

4.97 (1)
3.67 (2)
55.77 (3)
43.31 (3)
34.26 (3)
23.44 (3)
21.51 (3)
3.42 (1)
41.99 (7)
131.8 (8)
9,100 (7)
539.4 (*)
559.3 (*)
-19.9 (*)
251.1 (4)

304.47 (5)
1,237.5 (5)
1,179.5 (5)
710.1 (5)

11.75 (6)
11.34 (5)
16.15 (5)
15.94 (5)

66.99 (3)
5.98 (3)
1,431.3 (7)
932.2 (4)
Source : BPS, BI and JSX

1)      Semester I                                                 5)  Posisi akhir Juni 2006
2)      Januari – Agustus 2006                             6)  Posisi 8 AGustus 2006
3)      Januari – Juli 2006                                    7)  Posisi akhir Agustus 2006
4)      Posisi Akhir Juli 2006                               8)  Posisi akhir triwulan I 2006
*) dalam APBN 2006




Terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah, berkurangnya tekanan inflasi, dan adanya kecenderungan penurunan suku bunga perbankan akhirnya mampu menimbulkan rasa optimisme baru di kalangan dunia usaha, meskipun kondtsi sektor riil belum menunjukkan perbaikan yang nyata. Bahkan sebenarnya rasa optimisme ini sudah berlangsung sejak awal tiwulan II 2006, yang ditunjukkan antara lain oleh membaiknya sentimen pelaku bisnis selama triwulan tersebut. Dalam keterpurukan kinerja kebanyakan dunia usaha selama semester I 2006, pemimpin bisnis pada kenyataannya menyimpan harapan akan bergeraknya perekonomian daiam semester kedua tahun ini.
Didukung oJeh harapan akan terus turunnya suku bunga kredit daiam paruh kedua tahun ini, gairah pebisnis menunjukkan perbaikan yang cukup berarti. Kondisi ini semakin diperkuat oleh membaiknya kinerja ekspor, bergairahnya pasar modal dan pasar obligasi, dan mulai munculnya kembali gairah investasi di berbagai sektor usaha. Membaiknya gairah pebisnis tidak saja ditandai oleh naiknya Indeks Sentimen Bisnis (ISB) daiam survey yang dilakukan Danareksa Research Institute pada bulan April-Mei 2006 lalu, tetapi juga dilihat dari Indeks Tendensi Bisnis (ITB) dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Bahkan daiam menanggapi pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Rapat Paripurna DPR pada 16 Agustus 2006 lalu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Mohamad. S Hidayat, menyatakan rasa optimisnya bahwa target pertumbuhan 6,3 persen untuk tahun 2007 akan bisa tercapai jika pemerintah mampu menghilangkan berbagai hambatan birokrasi yang sertng menimbulkan distorsi daiam implementasi kebijakan. Dalam hal ini Ketua Kadin Indonesia mengharapkan adanya kepemimpinan yang jelas dan tegas, tidak hanya dalam hal penegakan hukum tetapi juga dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.
Harapan tersebut selayaknya digaribawahi dan menjadi perhatian penting pemerintah. Sudah berapa kali dikemukakan dalam laporan bulanan Kadin Indonesia bahwa pemerintah hanya lebih sering berwacana dan mengeluarkan program-program yang tidak kunjung terlihat implementasinya. Berkaitan dengan kebijakan ekonomi, sampai saat ini empat peraturan yang ditunggu investor tidak kunjung rampung dibahas. Undang-undang mengenai perpajakan, bea dan cukai, investasi, dan tentang tenaga kerja yang belum bisa disahkan karena terganjal masalah prosedur, selayaknya segera dicari jalan keluarnya. Dengan kemungkinan bahwa pengesahan paket Undang-Undang Perpajakan dan penanaman modal tidak akan selesai akhir tahun ini, maka pemerintah hendaknya segera mengupayakan terobosan konkret untuk memperbaiki iklim usaha pada momentum yang cukup baik sekarang ini. Dalam kondisi seperti saat ini, yang dibutuhkan dunia usaha dan masyarakat pada umumnya tidak lagi sekedar data perbaikan indikator ekonomi, tetapi fakta dari implementasi kebijakan yang bisa membawa pada perbaikan ekonomi yang sesungguhnya.

A.    Perkembangan Pasar Uang dan Pasar Modal
Stabilnya nilai tukar rupiah selama bulan Agustus 2006 ditunjukkan oleh rendahnya fluktuasi kurs rupiah dalam bulan tersebut, yaitu berada dalam kisaran Rp 9.055 - Rp 9.1400 per dollar AS. Turunnya suku bunga rujukan atau BI rate sebesar 50 basis poin di awal Agustus lalu berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat pada kondisi perekonomian yang lebih baik, yang pada gilirannya mengurangi minat spekulasi di pasar valuta asing. Sempat melemahnya rupiah menjelang akhir Agutus 2006 lebih dipengaruhi oleh kondisi eksternal berkaitan dengan melemahnya bursa saham regiondl, namun hal tersebut dapat dikatakan tidak berpengaruh same sekali karena secara keseluruhan nilai rupiah cenderung terus menguat.
Relatif menguatnya rupiah terhodap doMar AS memungkinkan harga bahan bakar minyak untuk industri untuk bulan September 2006 tidak naik terlalu tinggi akibat naiknya harga Mid Oil Platts Singapore (MOPS), yang selama bulan Agustus 2006 naik rata-rata 0,2-3,6%. Dan penguatan ini juga terus menurunkan tekanan inf lasi dan mendorong penurunan tingkat suku bunga perbankan.
Sementara itu tren kenaikan harga saham dalam negeri juga terus berlanjut sejalan dengan terjaganya stabilitas moneter dan membaiknya gairah pasar modal dunia. Pada 31 Agustus 2006 indeks harga saham gabungan (IHS&) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tercafat berada pada level 1.431,26 atau naik 79,61 poin (sekitar 5,9 persen) dari level 1351,65 pada akhir Juli 2006. Walaupun masih berada di bawah level 1.553 yang pernah dicapai pada 11 Mei 2006, namun tren kenaikan harga saham nampaknya masih akan terus berlanjut sampai bulan September 2006 jika tidak ada kejutan - kejutan sosial politik, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.








Grafik 1
Kurs Tengah Rupiah & Indeks Harga Saham Gabungan
Januari 2006 – 31 Agustus 2006










B.     Pertumbuhan Ekonomi Semester I 2006
Dengan dicapainya tingkat pertumbuhan yang hanya sebesar 2,2% pada triwulan II 2006 (quarter to quarter), maka secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia selama semester I 2006 tidak sampai mencapai angka 5%, atau sekitar 4,97% terhadap semester I 2005, Dibandingkan dengan angka pertumbuhan semester I 2005 yang mencapai 5,94%, angka ini menunjukkan perlambanan ekonomi, yang memang sudah dirasakan sejak akhir triwulan IV 2005, ketika harga bahan bakar minyak dalam negeri (BBM) dinaikkan dengan sangat berarti. Melambannya perekonomian Indonesia yang terutama disebabkan oleh rendahnya permintaan dalam negeri, terlihat tidak saja dari rendahnya tingkat konsumsi rumah tangga tetapi juga dari turunnya pertumbuhan investasi f isik dalam Produk Domestik Bruto.
Sungguhpun demikian dicapainya pertumbuhan sekitar 5% bukanlah suatu kinerja yang buruk. Selain ditunjang oleh kenaikan konsumsi pemerintah yang mencapai 22,4%, dicapainya pertumbuhan ekonomi itu juga didukung oleh kenaikan ekspor barang dan jasa sebesar 11,13%, dimana ekspor barang mencatat pertumbuhan sebesar 11,94%, pada semester I 2006. Membaiknya kinerja ekspor dalam dua bulan terakhir semester I 2006 tidak hanya disebabkan oleh membaiknya harga beberapa komoditas ekpor, tetapi juga karena terjadinya peningkatan volume ekspor pada beberapa komoditi utama. Dari angka Produk Domestik Bruto harga konstan tahun 2000, kenaikan ekspor barang dan jasa selama triwulan II 2006 tercatat mencapai 5%. Sementara kenaikan impor barang dan jasa mencapai sekitar 7,9%.
Masih lemahnya daya beli masyarakat ditunjukkan oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya mencapai sekitar 2,96% pada semester I 2005 dibanding dengan pertumbuhan konsumsi yang mencapai 3,6% pada semestes I 2005. Dampak kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 tidak hanya berpengaruh terhadap tekanan inf lasi di bulan-bulan awal tahun 2006 tetapi juga pada daya beli masyarakat secara keseluruhan sampai akhir semester I 2006. Penurunan daya-beli masyarakat tidaklah terbatas karena naiknya harga barang akibat kenaikan harga BBM, tetapi juga karena menurunnya pendapatan yang diterima masyarakat sebagai akibat naiknya tingkat pengangguran karena terpuruknya sektor produksi riil. Terjadinya penutupan usaha dan pemutusan hubungan kerja pada sebagian usaha di sektor industri kecil dan menengah merupakan dampak lanjutan dari kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM di bulan oktober 2005. Sementara itu perusahaan-perusahaan yang dapat bertahan dan tetap beroperasi tidak lagi mampli menaikkan upah karyawannya untuk mengkompensasi kenaikan tingkat inflasi yang telah menggerus daya beli masyarakat.
Laju Pertumbuhan PDB Menurut Penggunaan (%)
Jenis Pengeluaran
2003
2004
2005
Semester I 2006
Thd. Sem. 2005
Thd. Sem. II 2005

Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Domestik
Ekspor Barang dan Jasa
Dikurangi Impor Barang dan Jasa

PRODUK DOMESTIK BRUTO


3.9
10.0
1.0
6.4
2.7

4.9

4.9
1.9
15.7
10.3
25.0

5.1

4.0
8.1
9.9
8.6
12.4

5.6

0.04
-15.70
-3.08
2.13
2.53

2.12

2.96
22.1
-0.06
11.13
6.02

4.97
Sumber : BPS

Dari sisi produksi, kenaikan produksi tertinggi terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai sebesar 12,2%, dimana pada semester I 2006 sektor t komunikasi saja mencapai pertumbuhan sebesar 22,9%. Kenaikan tertinggi kedua adalah sektor konstruksi yang mencapai kenaikan sekitar 7,7%, yang terutama terjadi dalam triwulan II 2006. Secara quarter to quarter pertumbuhan sektor kontruksi pada triwulan II 2006 mencapai 3,14% yang merupakan kenaikan triwulan tertinggi dalam dua tahun terakhir. Meningkatnya pembangunan sektor properti yang cukup pesat selama triwulan II 2006 terdorong oleh minat investasi yang cukup tinggi di sektor konstruksi dibandingkan minat investasi di sektor lainnya.



Laju Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (%)
Lapangan Usaha
2002
2003
2004
2005
Sem I 2006
Thd Sem. I 2005
Thd Sem. II 2005
1.        Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
2.        Pertambangan dan Penggalian
3.        Industri Pengolahan
4.        Listrik, Gas, dan Air Bersih
5.        Bangunan
6.        Perdagangan, Hotel dan Restoran
7.        Pengangkutan dan Komunikasi
8.        Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
9.        Jasa-Jasa

Produk Domestik Bruto
Produk Domestik Bruto Tanpa  Migas
3.2

1.0
5.3
8.9
5.5
3.9
8.4
6.4
3.8

4.4
5.1
4.3

-0.9
5.3
5.9
6.7
5.3
11.6
7.0
3.9

4.9
5.8
4.1

-4.6
6.2
5.9
8.2
5.8
12.7
7.7
4.9

5.1
6.2
2.5

1.6
4.6
6.5
7.3
8.6
13.0
7.1
5.2

5.6
6.5
4.5

4.5
3.1
5.7
7.7
4.7
12.2
5.2
5.7

5.0
5.5
7.4

-1.7
0.8
2.4
2.5
0.9
5.1
1.6
2.3

2.1
2.4
Sumber : BPS

Selain kenaikan yang tinggi pada kedua sektor tersebut diatas, kinerja perekonomian pada semester I 2006 juga didorong oleh sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam, seperti sektor pertanian dan sektor pertambangan yang masing-masing mencatat pertumbuhan sebesar 4,47% da 4,54%. Membaiknya harga komoditas pertanian, pertambangan, dan penggalian di pasar dunia telah memacu pertumbuhan produksi pada kedua sektor tersebut. Hal ini terutama terjadi pada sub sektor perkebunan yang tumbuh sebesar 5,8% pada semester I 2006, dan sub sektor pertambangan bukan migas yang tumbuh sebesar 14,3%.

C.    Perkembangan Laju Inflasi
Seiring dengan masih terbatasnya permintaan domestik dan membaiknya ekspektasi inflasi, angka inflasi pada bulan Agustus 2006 tercatat sebesar 0,33 persen, lebih rendah dari inflasi bulan Juli 2006 yang mencapai 0,45 persen. Secara kumulatif laju inflasi Januari-Agustus 2006 hanya mencapai 3,67 persen, yang hampir 2 perseh lebih rendah dari inflasi kumulatif pada periode yang sama tahun 2005.










 












Semakin menurunnya tekanan inf lasi dari bulan ke bulan menyebabkan inf lasi secara year on year terus mengalami penurunan dan pada Agustus 2006 tingkat inf lasi year on year (terhadap Agustus 2005) tercatat sebesar 14,9 persen. Ini kali pertama tingkat inf lasi year on year menembus angka di bawah 15 persen sejak awal tahun 2006. (terhadap Agustus 2005), dan menguatkan harapan bahwa angka inf lasi untuk seluruh tahun 2006 bisa berada di bawah 7 persen jika tidak muncul kejutan-kejutan ekonomi yang bersifat inflatoir.
Dilihat menurut kelompok pengeluaran, kelompok barang yang memberikan sumbangan terbesar pada inflasi Agustus 2006 adalah dari kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga sebesar 4,77 persen. Naiknya uang sekolah dari mulai tingkat SD, SMP, SMA, sampai pergurunan tinggi "merupakan penyebab utama kenaikan inflasi pada kelompok pengeluaran ini, disamping naiknya harga buku bacaan dan buku pelajaran sekolah. Sedangkan kelompok bahan makanan yang pada bulan Juli 2006 mencatat kenaikan harga tertinggi, pada bulan Agustus 2006 mengalami deflasi sebesar -0,34 persen. Terjadinya penurunan harga pada bawang merah, cabe merah, bawang putih, cane rawit, tomat sayur, dan jeruk merupakan penyebab utama terjadinya def Iasi pada kelompok pengeluaran ini. Dengan deflasi sebesar -0,34 persen, maka sumbangan inflasi kelompok ini pada seluruh angka inflasi Agustus 2006 mencapai -0,12% dari inflasi umum sebesar 0,33 persen.

D.    Perkembangan Ekspor
Kembali di bulan Juli 2006 Indonesia mencatatkan rekor rolai ekspor bulanan tertinggi sepanjang sejarah, yaitu sebesar US$ 8,82 milyar, atau naik 4 persen dari nilai ekspor' bulan Juni 2006 sebesar US$ 8,48 milyar. Peningkatan ekspor ini mendorong kenaikan yang sangat berarti pada nilai ekspor kumulatif yang selama perode Januai - Juli 2006 mencapai US$ 55,77 milyar atau naik 16,42 persen dart nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2005, yang sebesar US$ 47,9 milydr.
Dalam periode ini kenaikan ekspor migas tetap lebih tinggi dari kenaikan ekspor non migas yaitu masing-masing 19,2 persen dan 15,7 persen. Ekspor migas meningkat dari US$ 10,46 milyar pada tujuh bulan pertama tahun 2005 menjadi US$ 12,5 milyar pada periode yang sama tahun 2006, yang terutama ditunjang oleh kenaikan ekspor hasil minyak yang mencapai 41,1 persen. Adapun kenaikan ekspor minyak mentah yang hanya sekitar 10,7% pada Januari-Juli 2006 disebabkan terjadinya penurunan nilai ekpor komoditi ini pada bulan Juli 2006 sebesar 9,5 persen. Padahal pada bulan Juli 2006 harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik menjadi US$ 71,95 per barel dari US$ 67,85 per barel di bulan Juni 2006.
Sementara itu ekspor non migas meningkat dari US$ 37,44 milyar pada Januari-Juli 2005 menjadi US$ 43,31 milyar pada periode yang sama tahun 2006. Peningkatan ekspor non migas sebesar itu terutama disebabkan oleh meningkatnya ekspor sektor pertambangan dan lainnya sebesar 29,36 persen dan sektor pertanian sebesar 17,24 persen, sedangkan peningkatan ekspor sektor industri hanya sebesar 13,78 persen.


 










Note : Ekspor total naik sekitar 16, 42%

Seperti pada bulan-bulan sebelumnya, melonjaknya nilai ekspor di bulan Juli 2006 masih didukung oleh kenaikan harga komoditas ekspor Indonesia, terutama pada sektor pertambangan dan sektor pertanian, diantaranya adalah batu bara, minyak sawit mentah (CPO), dan karet. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan terbesar ekspor nonmigas bulan Juli 2006 yang terjadi pada bahan bakar mineral/batubara sebesar US$ 179,1 juta terhadap nilai ekspor bulan Juni 2006. Begitu juga dengan peningkatan nilai kspor lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$ 83,89 juta, serta karet dan barang dari karet sebesar US$ 52,9 juta pada bulan Juli 2006. Sedangkan penurunan nilai ekspor terbesar terjadi pada mesin/peralatan listrik sebesar US$ 142,5 juta yang termasuk dalam sektor industri.

E.     Perkembangan Impor
Sementara itu nilai  impor Indonesia selama bulan Juli 2006 mengalami penurunan sebesar 5 persen terhadap nilai impor bulan Juni 2006, yaitu dari US$ 5.668,2 juta menjadi US$ 5.384,9. Dengan nilai impor sebesar itu, maka total nilai impor pada tujuh bulan pertama tahun 2006 mencapai US$ 34,26 milyar, atau hanya naik sekitar 2,42 persen terhadap nilai impor pada periode yang sama tahun 2005. Dalam hal ini impor migas naik sekitar 14,2 persen, sedangkan impor non migas masih mengalami penurunan sebesar 223 persen. Naiknya impor hasil minyak sebesar 20,62 persen pada Januari - Juli 2006 merupakan penyebab utama kenaikan impor migas sebesar itu pada periode tersebut, dan hai ini berkaitan dengan naiknya harga minyak di pasar dunia dan meningkatnya impor BBM pada semester I 2006.
Tetapi untuk selama bulan Juli saja, nilai impor hasil minyak tercatat mengalami penurunan sebesar 15,7 persen yang menyebabkan penurunan nilai impor migas sebesar 14,7 persen'pada bulan tersebut. Berkurangnya impor BBM selama bulan tersebut, nampaknya berkaitan dengan masih cukup tersedianya stock persediaan BBM dalam negeri yang sebelumnya meningkat tinggi. Seperti diketahui, selama semester I 2006 kenaikan impor hasil minyak mencapai 22%, yang terutama terjadi di bulan Juni 2006 dimana pada bulan tersebut impor hasil minyak mencapai kenaikan sebesar 50,65 persen terhadap nilai impor bulan Mei 2006.


 











Dilihat dari golongan penggunaan barang, dalam periode tujuh bulan pertama tahun 2006, hampir semua golongan barang mengalami kenaikan nilai impor. Kenaikan terbesar terjadi pada impor barang konsumsi sebesar 6,94 persen, kemudian impor barang modal yang meningkat 2,6 persen dan 3,75 persen, dan impor bahan baku/penolong sekitar 1,93 persen. Rendahnya kenaikan impor bahan baku selama periode Januari - Juli 2006 antara lain disebabkan terjadinya penurunan impor bahan baku pada bulan Juli 2006, yaitu menjadi US$ 4.275,3 juta dari US$ 4.611,2 juta pada Juni 2005. Turunnya impor golongan barang ini jelas mengindikasikan belum meningkatnya kegiatan produksi sampai bulan akhir bulan Juli 2006.


 













F.     Penurunan Suku Bunga Bukan Segala-galanya
Berita di Kompas hari Jumat, 11 Agustus 2006 mengatakan bahwa Pemerintah dan DPR sepakat untuk menurunkan target pertmbuhan ekonomi dari 6,1% dalam APBN 2006 menjadi 5,8% dalam APBN Perubahan 2006. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi pada semester II harus mencapai 7% agar target pertumbuhan hingga akhir tahun ini dapat tercapai. Target pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan usulan pemerintah yakni 5,9%. Usulan pemerintah ini memang menjadi tidak realistis jika dilihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada semester I mencapai hanya 4,6%.
Banyak pihak yang mengharapkan bahwa penurunan suku bunga saat ini dapat membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Memang dalam buku-buku teks ekonomi makro 'dijelaskan bahwa hubungan antara tingkat suku bunga dan output agregat ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) adalah negatif, dan hubungan ini terjadi lewat efek pertumbuhan investasi atau efek penurunan tabungan masyarakat. Namun perlu disadari bahwa di dalam teori-teori ekonomi, setiap hubungan antara dua voriabel selalu didasarkan pada ceteris paribus, atau asumsi bahwa faktor-faktof berpengaruh lainnya mendukung atau paling tidak tetap tidak berubah. Jadi dalam hubungan antara suku bunga dan pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa menurunnya suku bunga akan menaikkan PDB (atau berdampak positif terhadap pertumbuhan PDB) hanya jika pengusaha/investor yang memiliki dana untuk investasi dan masyarakat yang memiliki tabungan di bank atau lembaga keuangan lainnya merespons sesuai hipotesa.
Sekarang masalahnya di Indonesia adalah bahwa selama ini sejak krisis ekonomi 1997/98, banyak faktor lain selain suku bunga yang juga menjadi pertimbangan serius bagi setiap investor sebelum mengambii keputusan untuk menanam modalnya di Indonesia, seperti kondisi infrastruktur, keamanan, kepastian hukum, stabilitas sosial dan politik, ketersediaan sumber daya manusia dan industri pendukung, dll. Semua ini sangat berpengaruh terhadap biaya investasi dan biaya produksi jangka panjang yang selanjutnya sangat menentukan daya saing global dari perusahaan bersangkutan. Jika diperhatikan, sejak krisis 1997/98 hingga saat ini, sejumlah perusahaan asing memindahkan operasi mereka dari Indonesia ke negara lain, banyak industri di negara lain membatalkan rencana realokasi ke Indonesia, kurangnya respons investor asing terhadap rencana pembangunan infrastruktur setelah KTT Infrastruktur I, dan rencana investasi Jepang dalam rangka Economic Partnership Agreement (EPA) senilai 15 miliar dollar AS masih belum jelas, dan banyak lagi kasus-kasus lain bukan semata-mata karena suku bunga di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan di negara-negara tujuan lainnya, tetapi karena parahnya kondisi infrastruktur, kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak kondusif terhadap ikiim usaha (termasuk kebijakan investasi), dan semakin buruknya kondisi perburuhan di dalam negeri. Sedangkan dari sisi masyarakat, mungkin dalam periode jangka pendtek, penurunan suku bunga perbankan akan berdampak positif terhadap pertumbuhan konsumsi masyarakat karena dua hal utama. Pertama, biaya mendapatkan kredit konsumsi menjadi relatif murah yang berarti daya beli masyarakat meningkat. Kedua, menabung di bank menjadi kurang menarik, apalagi jika inf lasi tetap tinggi yang membuat pendapatan rill dari menabung menjadi rendah (walaupun dalam kenyataannya dalam beberapa bulan terakhir ini tekanan inf lasi di dalam negeri mulai meredah). Jika fenomena jangka pendek ini memang terjadi, dalam kata lain pertumbuhan ekonomi memang sedikit meningkat, namun ini adalah pertumbuhan semu dan hal ini sangat berbahaya dalam periode jangka panjang.



Kesimpulan
Karena teori ekonomi konvensional (misalnya paradigma Harrod-Domar) mengajarkan bahwa diantara komponen-komponen permintaan agregat, investasi jangka panjang adalah yang terpenting (disusul kemudian oleh pengeluaran pemerintah yang sebagian juga berorientasi investasi). Impiikasi dari teori ini terhadap kondisi Indonesia saat ini adalah bahwa jika investasi tidak meningkat (atau bahkan menurun) sementara konsumsi meningkat, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan menghasilkan pertumbuhan impor (karena pedagang akan dengan senang hati mengimpor segalanya jika ada permintaan; bahkan perusahaan-perusahaan yang tadinya berproduksi akan berubah menjadi trading company karena lebih menguntungkan), dan pertumbuhan impor tanpa dibarengi dengan pertumbuhan ekspor (karena yang terakhir ini sangat  membutuhkan  investasi),  maka  defisit  neraca  perdagangan yang membesar tidak bisa dihindari.
Akhir kata, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya digerakkan oleh konsumsi akibat menurunnya suku bunga perbankan hanya akan menambah hutang luar negeri Indonesia.



















Daftar Pustaka


Countries,   Lessons   of   Comparative   Experience",    The    World    Bank, Washington. D.C, 1993.

Moneter dalam Sistem Nilai tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia", Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998.

Laporan Ekonomi bulan Juli 2006, Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar