LAPORAN EKONOMI BULANAN SELAMA 2006
(Materi Diskusi)
Oleh : Muh. Abdul Halim, SE
PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
JAKARTA
|
Pendahuluan
INDIKATOR EKONOMI
No
|
Indikator
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
|
Nilai PDB Harga Konstan Tahun 2000
(Rp triliun)
Pertumbuhan PDB (%)
Inflasi (%)
Total Expor (USD Milyar)
Expor Non Migas (USD milyar)
Total Impor (USD milyar)
Impor
Non Migas (USD milyar)
Neraca Perdagangan (USD Milyar)
Neraca Transaksi Berjalan (USD
milyar)
Cadangan Devisa (USD milyar, akhir
tahun)
Posisi Utang Luar Negeri (USD milyar)
Rupiah/USD (Kurs Tengah Bank Indonesia)
Total Penerimaan Pemerintah (Rp
Triliun)
Total Pengeluaran Pemerintah (Rp
triliun)
Defisit Anggaran (Rp triliun)
Uang Primer (Rp triliun)
Uang Beredar (Rp triliun)
a.
Arti sempit (M1)
b.
Arti Luar (M2)
Dana pihak Ketiga Perbankan (Rp
triliun)
Kredit Perbankan (Rp triliun)
Suku Bunga (% per tahun)
a.
SBI satu bulan
b.
Deposito 1 bulan
c.
Kredit Modal Kerja
d.
Kredit Investasi
Persetujuan Investasi
-
Domestik (Rp triliun)
-
Asing (Rp triliun)
IHSG BEJ
Nilai Kapitalisasi Pasar BEJ (Rp
triliun)
|
1,506.10
4.38
10.03
57.0
44.9
31.2
24.8
25.8
4.7
32.0
131.3
8,940
299.0
244.0
-23.2
138.3
191.9
883.9
845.0
365.4
12.9
12.8
18.3
17.8
25.3
9.7
424.9
268.4
|
1,579.60
4.88
5.06
55.6
43.1
29.5
22.6
26.1
4.0
36.3
135.4
8,330
340.7
258.1
-37.7
136.5
207.6
911.2
866.3
411.7
8.1
7.7
15.8
16.3
16.0
6.2
742.5
411.7
|
1,660.60
5.13
6.4
69.7
54.1
46.2
34.6
23.5
2.9
35.93
136.1
9,355
407.5
306.1
-17.4
199.7
253.8
1,033.50
965.1
553.6
7.4
6.4
13.4
14.1
36.80
10.3
1,002.20
679.9
|
1,749.60
5.6
17.11
85.57
66.32
57.55
40.16
28.02
0.93
34.72
133.5
9,830
516.2
542.4
-26.18
239.8
281.9
1,203.20
1,134.10
689.7
12.75
11.98
15.92
15.43
50.58
13.58
1,162.60
758.4
|
905.6 (1)
4.97 (1)
3.67 (2)
55.77 (3)
43.31 (3)
34.26 (3)
23.44 (3)
21.51 (3)
3.42 (1)
41.99 (7)
131.8 (8)
9,100 (7)
539.4 (*)
559.3 (*)
-19.9 (*)
251.1 (4)
304.47 (5)
1,237.5 (5)
1,179.5 (5)
710.1 (5)
11.75 (6)
11.34 (5)
16.15 (5)
15.94 (5)
66.99 (3)
5.98 (3)
1,431.3 (7)
932.2 (4)
|
Source
: BPS, BI and JSX
1)
Semester I 5) Posisi akhir Juni 2006
2)
Januari – Agustus 2006 6) Posisi 8 AGustus 2006
3)
Januari – Juli 2006 7) Posisi akhir Agustus 2006
4)
Posisi Akhir Juli 2006 8) Posisi akhir triwulan I 2006
*) dalam APBN 2006
Terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah, berkurangnya
tekanan inflasi, dan adanya kecenderungan penurunan suku bunga perbankan
akhirnya mampu menimbulkan rasa optimisme baru di kalangan dunia usaha,
meskipun kondtsi sektor riil belum menunjukkan perbaikan yang nyata. Bahkan
sebenarnya rasa optimisme ini sudah berlangsung sejak awal tiwulan II 2006,
yang ditunjukkan antara lain oleh membaiknya sentimen pelaku bisnis selama
triwulan tersebut. Dalam keterpurukan kinerja kebanyakan dunia usaha selama
semester I 2006, pemimpin bisnis pada kenyataannya menyimpan harapan akan
bergeraknya perekonomian daiam semester kedua tahun ini.
Didukung oJeh harapan akan terus turunnya suku bunga kredit
daiam paruh kedua tahun ini, gairah pebisnis menunjukkan perbaikan yang cukup
berarti. Kondisi ini semakin diperkuat oleh membaiknya kinerja ekspor,
bergairahnya pasar modal dan pasar obligasi, dan mulai munculnya kembali gairah
investasi di berbagai sektor usaha. Membaiknya gairah pebisnis tidak saja
ditandai oleh naiknya Indeks Sentimen Bisnis (ISB) daiam survey yang dilakukan
Danareksa Research Institute pada bulan April-Mei 2006 lalu, tetapi juga
dilihat dari Indeks Tendensi Bisnis (ITB) dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Bahkan daiam menanggapi pidato kenegaraan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di depan Rapat Paripurna DPR pada 16 Agustus 2006 lalu, Ketua
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Mohamad. S Hidayat,
menyatakan rasa optimisnya bahwa target pertumbuhan 6,3 persen untuk tahun 2007
akan bisa tercapai jika pemerintah mampu menghilangkan berbagai hambatan
birokrasi yang sertng menimbulkan distorsi daiam implementasi kebijakan. Dalam
hal ini Ketua Kadin Indonesia
mengharapkan adanya kepemimpinan yang jelas dan tegas, tidak hanya dalam hal
penegakan hukum tetapi juga dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.
Harapan tersebut selayaknya digaribawahi dan menjadi
perhatian penting pemerintah. Sudah berapa kali dikemukakan dalam laporan
bulanan Kadin Indonesia
bahwa pemerintah hanya lebih sering berwacana dan mengeluarkan program-program
yang tidak kunjung terlihat implementasinya. Berkaitan dengan kebijakan
ekonomi, sampai saat ini empat peraturan yang ditunggu investor tidak kunjung
rampung dibahas. Undang-undang mengenai perpajakan, bea dan cukai, investasi,
dan tentang tenaga kerja yang belum bisa disahkan karena terganjal masalah
prosedur, selayaknya segera dicari jalan keluarnya. Dengan kemungkinan bahwa
pengesahan paket Undang-Undang Perpajakan dan penanaman modal tidak akan
selesai akhir tahun ini, maka pemerintah hendaknya segera mengupayakan
terobosan konkret untuk memperbaiki iklim usaha pada momentum yang cukup baik
sekarang ini. Dalam kondisi seperti saat ini, yang dibutuhkan dunia usaha dan
masyarakat pada umumnya tidak lagi sekedar data perbaikan indikator ekonomi,
tetapi fakta dari implementasi kebijakan yang bisa membawa pada perbaikan
ekonomi yang sesungguhnya.
A.
Perkembangan
Pasar Uang dan Pasar Modal
Stabilnya nilai tukar rupiah selama bulan Agustus 2006
ditunjukkan oleh rendahnya fluktuasi kurs rupiah dalam bulan tersebut, yaitu
berada dalam kisaran Rp 9.055 - Rp 9.1400 per dollar AS. Turunnya suku bunga
rujukan atau BI rate sebesar 50 basis poin di awal Agustus lalu berdampak pada
meningkatnya kepercayaan masyarakat pada kondisi perekonomian yang lebih baik,
yang pada gilirannya mengurangi minat spekulasi di pasar valuta asing. Sempat
melemahnya rupiah menjelang akhir Agutus 2006 lebih dipengaruhi oleh kondisi
eksternal berkaitan dengan melemahnya bursa saham regiondl, namun hal tersebut
dapat dikatakan tidak berpengaruh same sekali karena secara keseluruhan nilai
rupiah cenderung terus menguat.
Relatif menguatnya rupiah terhodap doMar AS memungkinkan
harga bahan bakar minyak untuk industri untuk bulan September 2006 tidak naik
terlalu tinggi akibat naiknya harga Mid Oil Platts Singapore (MOPS), yang
selama bulan Agustus 2006 naik rata-rata 0,2-3,6%. Dan penguatan ini juga terus
menurunkan tekanan inf lasi dan mendorong penurunan tingkat suku bunga
perbankan.
Sementara itu tren kenaikan harga saham dalam negeri juga
terus berlanjut sejalan dengan terjaganya stabilitas moneter dan membaiknya
gairah pasar modal dunia. Pada 31 Agustus 2006 indeks harga saham gabungan
(IHS&) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tercafat berada pada level 1.431,26 atau
naik 79,61 poin (sekitar 5,9 persen) dari level 1351,65 pada akhir Juli 2006.
Walaupun masih berada di bawah level 1.553 yang pernah dicapai pada 11 Mei
2006, namun tren kenaikan harga saham nampaknya masih akan terus berlanjut
sampai bulan September 2006 jika tidak ada kejutan - kejutan sosial politik,
baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Grafik 1
Kurs Tengah Rupiah & Indeks Harga Saham Gabungan
Januari 2006
– 31 Agustus 2006
B. Pertumbuhan
Ekonomi Semester I 2006
Dengan dicapainya tingkat pertumbuhan yang hanya sebesar
2,2% pada triwulan II 2006 (quarter to quarter), maka secara kumulatif
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama semester I 2006 tidak sampai mencapai
angka 5%, atau sekitar 4,97% terhadap semester I 2005,
Dibandingkan dengan angka pertumbuhan semester I 2005 yang mencapai 5,94%,
angka ini menunjukkan perlambanan ekonomi, yang memang sudah dirasakan sejak
akhir triwulan IV 2005, ketika harga bahan bakar minyak dalam negeri (BBM)
dinaikkan dengan sangat berarti. Melambannya perekonomian Indonesia yang
terutama disebabkan oleh rendahnya permintaan dalam negeri, terlihat tidak saja
dari rendahnya tingkat konsumsi rumah tangga tetapi juga dari turunnya pertumbuhan
investasi f isik dalam Produk Domestik Bruto.
Sungguhpun demikian dicapainya pertumbuhan sekitar 5%
bukanlah suatu kinerja yang buruk. Selain ditunjang oleh kenaikan konsumsi
pemerintah yang mencapai 22,4%, dicapainya pertumbuhan ekonomi itu juga
didukung oleh kenaikan ekspor barang dan jasa sebesar 11,13%, dimana ekspor
barang mencatat pertumbuhan sebesar 11,94%, pada semester I 2006. Membaiknya
kinerja ekspor dalam dua bulan terakhir semester I 2006 tidak hanya disebabkan
oleh membaiknya harga beberapa komoditas ekpor, tetapi juga karena terjadinya
peningkatan volume ekspor pada beberapa komoditi utama. Dari angka Produk
Domestik Bruto harga konstan tahun 2000, kenaikan ekspor barang dan jasa selama
triwulan II 2006 tercatat mencapai 5%. Sementara kenaikan impor barang dan jasa
mencapai sekitar 7,9%.
Masih lemahnya daya beli masyarakat ditunjukkan oleh
pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya mencapai sekitar 2,96% pada
semester I 2005 dibanding dengan pertumbuhan konsumsi yang mencapai 3,6% pada
semestes I 2005. Dampak kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 tidak hanya
berpengaruh terhadap tekanan inf lasi di bulan-bulan awal tahun 2006 tetapi
juga pada daya beli masyarakat secara keseluruhan sampai akhir semester I 2006.
Penurunan daya-beli masyarakat tidaklah terbatas karena naiknya harga barang
akibat kenaikan harga BBM, tetapi juga karena menurunnya pendapatan yang
diterima masyarakat sebagai akibat naiknya tingkat pengangguran karena
terpuruknya sektor produksi riil. Terjadinya penutupan usaha dan pemutusan
hubungan kerja pada sebagian usaha di sektor industri kecil dan menengah
merupakan dampak lanjutan dari kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM di
bulan oktober 2005. Sementara itu perusahaan-perusahaan yang dapat bertahan dan
tetap beroperasi tidak lagi mampli menaikkan upah karyawannya untuk
mengkompensasi kenaikan tingkat inflasi yang telah menggerus daya beli
masyarakat.
Laju Pertumbuhan
PDB Menurut Penggunaan (%)
Jenis Pengeluaran
|
2003
|
2004
|
2005
|
Semester I 2006
|
|
Thd. Sem. 2005
|
Thd. Sem. II 2005
|
||||
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap
Domestik
Ekspor Barang dan Jasa
Dikurangi Impor Barang
dan Jasa
PRODUK DOMESTIK BRUTO
|
3.9
10.0
1.0
6.4
2.7
4.9
|
4.9
1.9
15.7
10.3
25.0
5.1
|
4.0
8.1
9.9
8.6
12.4
5.6
|
0.04
-15.70
-3.08
2.13
2.53
2.12
|
2.96
22.1
-0.06
11.13
6.02
4.97
|
Sumber : BPS
Dari sisi produksi, kenaikan produksi tertinggi terjadi
pada sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai sebesar 12,2%, dimana
pada semester I 2006 sektor t komunikasi saja mencapai pertumbuhan
sebesar 22,9%. Kenaikan tertinggi kedua adalah sektor konstruksi yang mencapai
kenaikan sekitar 7,7%, yang terutama terjadi dalam triwulan II 2006. Secara
quarter to quarter pertumbuhan sektor kontruksi pada triwulan II 2006 mencapai
3,14% yang merupakan kenaikan triwulan tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Meningkatnya pembangunan sektor properti yang cukup pesat selama triwulan II
2006 terdorong oleh minat investasi yang cukup tinggi di sektor konstruksi
dibandingkan minat investasi di sektor lainnya.
Laju Pertumbuhan
PDB Menurut Lapangan Usaha (%)
Lapangan Usaha
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
Sem I 2006
|
|
Thd Sem. I 2005
|
Thd Sem. II 2005
|
|||||
1.
Pertanian,
Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
2.
Pertambangan dan
Penggalian
3.
Industri
Pengolahan
4.
Listrik, Gas, dan
Air Bersih
5.
Bangunan
6.
Perdagangan,
Hotel dan Restoran
7.
Pengangkutan dan
Komunikasi
8.
Keuangan,
Persewaan & Jasa Perusahaan
9.
Jasa-Jasa
Produk Domestik
Bruto
Produk Domestik
Bruto Tanpa Migas
|
3.2
1.0
5.3
8.9
5.5
3.9
8.4
6.4
3.8
4.4
5.1
|
4.3
-0.9
5.3
5.9
6.7
5.3
11.6
7.0
3.9
4.9
5.8
|
4.1
-4.6
6.2
5.9
8.2
5.8
12.7
7.7
4.9
5.1
6.2
|
2.5
1.6
4.6
6.5
7.3
8.6
13.0
7.1
5.2
5.6
6.5
|
4.5
4.5
3.1
5.7
7.7
4.7
12.2
5.2
5.7
5.0
5.5
|
7.4
-1.7
0.8
2.4
2.5
0.9
5.1
1.6
2.3
2.1
2.4
|
Sumber
: BPS
Selain kenaikan yang tinggi pada kedua sektor tersebut
diatas, kinerja perekonomian pada semester I 2006 juga didorong oleh
sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam, seperti sektor pertanian dan
sektor pertambangan yang masing-masing mencatat pertumbuhan sebesar 4,47% da
4,54%. Membaiknya harga komoditas pertanian, pertambangan, dan penggalian di
pasar dunia telah memacu pertumbuhan produksi pada kedua sektor tersebut. Hal
ini terutama terjadi pada sub sektor perkebunan yang tumbuh sebesar 5,8% pada
semester I 2006, dan sub
sektor pertambangan bukan migas yang tumbuh sebesar 14,3%.
C.
Perkembangan
Laju Inflasi
Seiring dengan masih terbatasnya permintaan domestik dan
membaiknya ekspektasi inflasi, angka inflasi pada bulan Agustus 2006 tercatat
sebesar 0,33 persen, lebih rendah dari inflasi bulan Juli 2006 yang mencapai
0,45 persen. Secara kumulatif laju inflasi Januari-Agustus 2006 hanya mencapai
3,67 persen, yang hampir 2 perseh lebih rendah dari inflasi kumulatif pada
periode yang sama tahun 2005.
Semakin menurunnya tekanan inf lasi dari bulan ke bulan
menyebabkan inf lasi secara year on year terus mengalami penurunan dan pada
Agustus 2006 tingkat inf lasi year on year (terhadap Agustus 2005) tercatat
sebesar 14,9 persen. Ini kali pertama tingkat inf lasi year on year menembus
angka di bawah 15 persen sejak awal tahun 2006. (terhadap Agustus 2005), dan
menguatkan harapan bahwa angka inf lasi untuk seluruh tahun 2006 bisa berada di
bawah 7 persen jika tidak muncul kejutan-kejutan ekonomi yang bersifat
inflatoir.
Dilihat menurut kelompok pengeluaran, kelompok barang yang
memberikan sumbangan terbesar pada inflasi Agustus 2006 adalah dari kelompok
pendidikan, rekreasi dan olah raga sebesar 4,77 persen. Naiknya uang sekolah
dari mulai tingkat SD, SMP, SMA, sampai pergurunan tinggi "merupakan penyebab
utama kenaikan inflasi pada kelompok pengeluaran ini, disamping naiknya harga
buku bacaan dan buku pelajaran sekolah. Sedangkan kelompok bahan makanan yang
pada bulan Juli 2006 mencatat kenaikan harga tertinggi, pada bulan Agustus 2006
mengalami deflasi sebesar -0,34 persen. Terjadinya penurunan harga pada bawang
merah, cabe merah, bawang putih, cane rawit, tomat sayur, dan jeruk merupakan
penyebab utama terjadinya def Iasi
pada kelompok pengeluaran ini. Dengan deflasi sebesar -0,34 persen, maka
sumbangan inflasi kelompok ini pada seluruh angka inflasi Agustus 2006 mencapai
-0,12% dari inflasi umum sebesar 0,33 persen.
D.
Perkembangan
Ekspor
Kembali di bulan Juli 2006 Indonesia mencatatkan rekor rolai
ekspor bulanan tertinggi sepanjang sejarah, yaitu sebesar US$ 8,82 milyar, atau
naik 4 persen dari nilai ekspor' bulan Juni 2006 sebesar US$ 8,48 milyar.
Peningkatan ekspor ini mendorong kenaikan yang sangat berarti pada nilai ekspor
kumulatif yang selama perode Januai - Juli 2006 mencapai US$ 55,77 milyar atau
naik 16,42 persen dart nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2005, yang
sebesar US$ 47,9 milydr.
Dalam periode ini kenaikan ekspor migas tetap lebih tinggi
dari kenaikan ekspor non migas yaitu masing-masing 19,2 persen dan 15,7 persen.
Ekspor migas meningkat dari US$ 10,46 milyar pada tujuh bulan pertama tahun
2005 menjadi US$ 12,5 milyar pada periode yang sama tahun 2006, yang terutama
ditunjang oleh kenaikan ekspor hasil minyak yang mencapai 41,1 persen. Adapun
kenaikan ekspor minyak mentah yang hanya sekitar 10,7% pada Januari-Juli 2006
disebabkan terjadinya penurunan nilai ekpor komoditi ini pada bulan Juli 2006
sebesar 9,5 persen. Padahal pada bulan Juli 2006 harga minyak mentah Indonesia di
pasar dunia naik menjadi US$ 71,95 per barel dari US$ 67,85 per barel di bulan
Juni 2006.
Sementara itu ekspor non migas meningkat dari US$ 37,44
milyar pada Januari-Juli 2005 menjadi US$ 43,31 milyar pada periode yang sama
tahun 2006. Peningkatan ekspor non migas sebesar itu terutama disebabkan oleh
meningkatnya ekspor sektor pertambangan dan lainnya sebesar 29,36 persen dan
sektor pertanian sebesar 17,24 persen, sedangkan peningkatan ekspor sektor
industri hanya sebesar 13,78 persen.
Note : Ekspor total naik sekitar 16, 42%
Seperti pada bulan-bulan sebelumnya, melonjaknya nilai
ekspor di bulan Juli 2006 masih didukung oleh kenaikan harga komoditas ekspor
Indonesia, terutama pada sektor pertambangan dan sektor pertanian, diantaranya
adalah batu bara, minyak sawit mentah (CPO), dan karet. Hal ini ditunjukkan
oleh peningkatan terbesar ekspor nonmigas bulan Juli 2006 yang terjadi pada
bahan bakar mineral/batubara sebesar US$ 179,1 juta terhadap nilai ekspor bulan
Juni 2006. Begitu juga dengan peningkatan nilai kspor lemak dan minyak
hewan/nabati sebesar US$ 83,89 juta, serta karet dan barang dari karet sebesar
US$ 52,9 juta pada bulan Juli 2006. Sedangkan penurunan nilai ekspor terbesar
terjadi pada mesin/peralatan listrik sebesar US$ 142,5 juta yang termasuk dalam
sektor industri.
E.
Perkembangan
Impor
Sementara itu nilai
impor Indonesia selama bulan Juli 2006 mengalami penurunan sebesar 5
persen terhadap nilai impor bulan Juni 2006, yaitu dari US$ 5.668,2 juta
menjadi US$ 5.384,9. Dengan nilai impor sebesar itu, maka total nilai impor
pada tujuh bulan pertama tahun 2006 mencapai US$ 34,26 milyar, atau hanya naik
sekitar 2,42 persen terhadap nilai impor pada periode yang sama tahun 2005.
Dalam hal ini impor migas naik sekitar 14,2 persen, sedangkan impor non migas
masih mengalami penurunan sebesar 223 persen. Naiknya impor hasil minyak
sebesar 20,62 persen pada Januari - Juli 2006 merupakan penyebab utama kenaikan
impor migas sebesar itu pada periode tersebut, dan hai ini berkaitan dengan
naiknya harga minyak di pasar dunia dan meningkatnya impor BBM pada semester I
2006.
Tetapi untuk selama bulan Juli saja, nilai impor hasil
minyak tercatat mengalami penurunan sebesar 15,7 persen yang menyebabkan
penurunan nilai impor migas sebesar 14,7 persen'pada bulan tersebut.
Berkurangnya impor BBM selama bulan tersebut, nampaknya berkaitan dengan masih
cukup tersedianya stock persediaan BBM dalam negeri yang sebelumnya meningkat
tinggi. Seperti diketahui, selama semester I 2006 kenaikan impor hasil minyak
mencapai 22%, yang terutama terjadi di bulan Juni 2006 dimana pada bulan
tersebut impor hasil minyak mencapai kenaikan sebesar 50,65 persen terhadap
nilai impor bulan Mei 2006.
Dilihat dari golongan penggunaan barang, dalam periode
tujuh bulan pertama tahun 2006, hampir semua golongan barang mengalami kenaikan
nilai impor. Kenaikan terbesar terjadi pada impor barang konsumsi sebesar 6,94
persen, kemudian impor barang modal yang meningkat 2,6 persen dan 3,75 persen,
dan impor bahan baku/penolong sekitar 1,93 persen. Rendahnya kenaikan impor
bahan baku
selama periode Januari - Juli 2006 antara lain disebabkan terjadinya penurunan
impor bahan baku
pada bulan Juli 2006, yaitu menjadi US$ 4.275,3 juta dari US$ 4.611,2 juta pada
Juni 2005. Turunnya impor golongan barang ini jelas mengindikasikan belum
meningkatnya kegiatan produksi sampai bulan akhir bulan Juli 2006.
F.
Penurunan Suku
Bunga Bukan Segala-galanya
Berita di Kompas hari Jumat, 11 Agustus 2006 mengatakan
bahwa Pemerintah dan DPR sepakat untuk menurunkan target pertmbuhan ekonomi
dari 6,1% dalam APBN 2006 menjadi 5,8% dalam APBN Perubahan 2006. Untuk itu,
pertumbuhan ekonomi pada semester II harus mencapai 7% agar target
pertumbuhan hingga akhir tahun ini dapat tercapai. Target pertumbuhan ini lebih
rendah dibandingkan dengan usulan pemerintah yakni 5,9%. Usulan pemerintah ini
memang menjadi tidak realistis jika dilihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi
pada semester I mencapai hanya 4,6%.
Banyak pihak yang mengharapkan bahwa penurunan suku bunga
saat ini dapat membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Memang
dalam buku-buku teks ekonomi makro 'dijelaskan bahwa hubungan antara tingkat
suku bunga dan output agregat ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) adalah
negatif, dan hubungan ini terjadi lewat efek pertumbuhan investasi atau efek
penurunan tabungan masyarakat. Namun perlu disadari bahwa di dalam teori-teori
ekonomi, setiap hubungan antara dua voriabel selalu didasarkan pada ceteris
paribus, atau asumsi bahwa faktor-faktof berpengaruh lainnya mendukung atau
paling tidak tetap tidak berubah. Jadi dalam hubungan antara suku bunga dan
pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa menurunnya suku bunga akan menaikkan
PDB (atau berdampak positif terhadap pertumbuhan PDB) hanya jika
pengusaha/investor yang memiliki dana untuk investasi dan masyarakat yang
memiliki tabungan di bank atau lembaga keuangan lainnya merespons sesuai
hipotesa.
Sekarang masalahnya di Indonesia adalah bahwa selama ini
sejak krisis ekonomi 1997/98, banyak faktor lain selain suku bunga yang juga
menjadi pertimbangan serius bagi setiap investor sebelum mengambii keputusan
untuk menanam modalnya di Indonesia, seperti kondisi infrastruktur, keamanan,
kepastian hukum, stabilitas sosial dan politik, ketersediaan sumber daya
manusia dan industri pendukung, dll. Semua ini sangat berpengaruh terhadap biaya
investasi dan biaya produksi jangka panjang yang selanjutnya sangat menentukan
daya saing global dari perusahaan bersangkutan. Jika diperhatikan, sejak krisis
1997/98 hingga saat ini, sejumlah perusahaan asing memindahkan operasi mereka
dari Indonesia ke negara lain, banyak industri di negara lain membatalkan
rencana realokasi ke Indonesia, kurangnya respons investor asing terhadap
rencana pembangunan infrastruktur setelah KTT Infrastruktur I, dan rencana
investasi Jepang dalam rangka Economic Partnership Agreement (EPA) senilai 15
miliar dollar AS masih belum jelas, dan banyak lagi kasus-kasus lain bukan
semata-mata karena suku bunga di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan di
negara-negara tujuan lainnya, tetapi karena parahnya kondisi infrastruktur,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak kondusif terhadap ikiim usaha (termasuk
kebijakan investasi), dan semakin buruknya kondisi perburuhan di dalam negeri.
Sedangkan dari sisi masyarakat, mungkin dalam periode jangka pendtek, penurunan
suku bunga perbankan akan berdampak positif terhadap pertumbuhan konsumsi
masyarakat karena dua hal utama. Pertama, biaya mendapatkan kredit konsumsi
menjadi relatif murah yang berarti daya beli masyarakat meningkat. Kedua,
menabung di bank menjadi kurang menarik, apalagi jika inf lasi tetap tinggi
yang membuat pendapatan rill dari menabung menjadi rendah (walaupun dalam
kenyataannya dalam beberapa bulan terakhir ini tekanan inf lasi di dalam negeri
mulai meredah). Jika fenomena jangka pendek ini memang terjadi, dalam kata lain
pertumbuhan ekonomi memang sedikit meningkat, namun ini adalah pertumbuhan semu
dan hal ini sangat berbahaya dalam periode jangka panjang.
Kesimpulan
Karena teori ekonomi konvensional (misalnya paradigma
Harrod-Domar) mengajarkan bahwa diantara komponen-komponen permintaan agregat,
investasi jangka panjang adalah yang terpenting (disusul kemudian oleh
pengeluaran pemerintah yang sebagian juga berorientasi investasi). Impiikasi
dari teori ini terhadap kondisi Indonesia saat ini adalah bahwa jika investasi
tidak meningkat (atau bahkan menurun) sementara konsumsi meningkat, maka
pertumbuhan ekonomi hanya akan menghasilkan pertumbuhan impor (karena pedagang
akan dengan senang hati mengimpor segalanya jika ada permintaan; bahkan
perusahaan-perusahaan yang tadinya berproduksi akan berubah menjadi trading
company karena lebih menguntungkan), dan pertumbuhan impor tanpa dibarengi
dengan pertumbuhan ekspor (karena yang terakhir ini sangat membutuhkan
investasi), maka defisit
neraca perdagangan yang membesar
tidak bisa dihindari.
Akhir kata, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya digerakkan
oleh konsumsi akibat menurunnya suku bunga perbankan hanya akan menambah hutang
luar negeri Indonesia.
Daftar Pustaka
Countries, Lessons
of Comparative Experience", The World
Bank, Washington. D.C, 1993.
Moneter
dalam Sistem Nilai tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di
Indonesia", Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Bank Indonesia,
Volume 1, Nomor 1, Juli 1998.
Laporan
Ekonomi bulan Juli 2006, Kamar Dagang dan
Industri Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar