Selasa, 05 November 2013

KARYA ILMIAH 2

KEBIJAKAN PEMULIHAN EKONOMI INDONESIA

Oleh :
Muh. Abdul Halim, SE, MSi
Dosen STIEAD

Pendahuluan
Sungguhpun kondisi sosial politik Indonesia tahun 2000 masih penuh gejolak, namun perkembangan ekonomi cukup menggembirakan dengan laju pertumbuhan sebesar 4,7% setahun dan tingkat inflasi di bawah 9,35 % setahun. Hanya nilai tukar rupiah menunjukkan kecenderungan menurun dari Rp. 7.181,00 (Desember 1999) menjadi Rp. 9.385,00 peri dollar US (Desember 2000).
Namun sejak permulaan tahun 2001 hingga sekarang kondisi politik ditandai oleh proses "tank tembang" antara Presiden dengan DPR menuju ketingkat kristalisasi penyelesaian konflik politik ditingkat tinggi dalam waktu yang tidak lama lagi. Konflik sosial di beberapa daerah masih berlanjut bahkan meluas ke daerah Kalimantan Tengah dengan cara-cara yang mencemaskan. Sedangkan perjarahan atas sumberdaya alam semakin gencar di sector kehutanan, perkebunan, pertambakan ikan dan pertambangan.
Dalam suasana seperti ini berbagai lembaga penilai, seperti Moody Standard and Pool Political Economic Risk Consultancy Ltd serta Danareksa Research Institiute memberikan kesimpulan yang konsisten bahwa Indonesia meluncur dari kondisi positif ke posisi negatif. Berbagai faktor resiko cenderung naik, seperti kelembagaan yang lemah, indeks Kepercayaan Bisnis pada Pemerintah yang berada pada indeks 125 (Maret 2000), menurut Danareksa Resarch Institute turun ke indeks 99,4 (Maret 2001)
Dalam bulan September 2000 Menko EKUIN dan Pejabat Gubernur Bank Indonesia mengirim surat kepada Horst Kohler, Managing Director IMF, mengungkapkan komitmen pemerintah melaksanakan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP), menggantikan MEFP Juli 2000 yang disusun Menko EKUIN Kwik Kian Gie sebelum kabinet dirubah Agustus 2000. Memorandum yang baru (September2000) ini, yang kemudian juga dikenal dengan Letter of Intent Pemerintah kepada Pimpinan IMF, mencakup :
1.      Sepuluh Pokok Program Pemulihan Ekonomi rumusan Menko EKUIN.
2.      Kebijakan ekonomi makro yang memuat kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan nilai tukar, masalah keuangan, investasi luar negeri dan manajemen utang serta pengembangan dan obligasi.
3.      Desntralisasi fiskal sebagai kelanjutan dari desentralisasi ekonomi dalam otonomi daerah.
4.      Reformasi sistem perbankan yang memuat restrukturisasi perbankan dipimpin oleh BPPN (Tindakan Penyehatan Perbankan Nasional), restrukturisasi perbankan milik negara, kerangka pengawasan dan pengaturan Bank Indonesia serta auditingnya.
5.      Restrukturisasi koporat melalui ikhtiar BPPN dan Prakarsa Jakarta.
6.      Reformasi hukum dan pentadbiran (Governance).
7.      Reformasi sektor publik seperti pentadbiran sector publik, reformasi kepegawaian, reformasi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara.

Suatu kinerja kuantitatif yang dituang dalam sasaran moneter, fiskal dan ekstemal dicanangkan untuk dicapai pada akhir Oktober dan akhir Desember 2000. Karena itu disepakati pula agar dalam bulan Desember 2000 pelaksanaan MEFP ini akan dikaji bersama antara Pemerintah dan IMF.  Hingga Mei 2001 ini belum dicapai kesepakatan dengan IMF mengenai pelaksanaan MEFP. Dan pasar menanggapinya secara negatif dan mencium ada perselisihan antara Pemerintah dan IMF.
Dengan kesepakatan Pemerintah, Bank Dunia menghentikan bantuan jaringan pengembangan sosial, sehingga menunkan pencairan dana yang sudah direncanakan dalam anggaran pembangunan tahun 2001.
Yang penting dicatat adalah Country Assistance Strategy yang disusun untuk Indonesia dan kelompok Bank Dunia, termasuk International Finance Corporation, dan meninjau :
·         Skenario kasus dasar yang mengungkapkan keberlanjutan keadaan kini dan disebut sebagai middle though situation yang mengakibatkan Bank Dunia merencanakan program pinjaman sebesar $ 440 juta setahun, atau 30 % dari program pinjaman sebesar US $ 1,3 Milyar sebelum masa krisis.
·         Skenario kasus tinggi yang mencerminkan kebijakan reformasi yang maju dan didukung kelompok Bank Dunia dengan rencana program bantuan mencapai US $ 1 milyar setahun mulai tahun anggaran 2002. Syarat pinjaman yang diterapkan adalah ketentuan IDA yang lunak.
·         Skenario kasus krisis akibat batalnya kesepakatan Pemerintah dengan IMF sehingga penurunan kepercayaan pasar. Dalam keadaan ini sulit bagi Bank Dunia melanjutkan programnya secara efektif dan mendorongnya hanya beroperasi dalam kegiatan analisa dan nasehat.
Juga menarik adalah perkembangan penjadwalan kembali utang-utang bilateral Indonesia yang disepakati Pemerintah bulan April 2000 dengan "Perkumpulan Paris" (Paris Club) yang terdiri dari negara-negara pemberi kredit. Penjadwalan kembali utang tertuang dalam memorandum of understanding (April 2000) dan terbagi atas dua tahap :
1.       Tahap pertama menjadwalkan kembali utang bilateral yang jatuh tempo antara 1 April 2001 sampai dengan 31 Maret 2001 sebesar US $ 2,99 milyar.
2.       Tahap kedua menjadwalkan kembali utang bilateral yang jatuh tempo antara 1 April 2001 sampai dengan 11 Maret 2002 sebesar US $ 2,97 milyar.

Sebagai persyaratan diharapkan agar Pemerintah senantiasa menjalin hubungan kerja sama yang baik (appropriate arrangement) dengan IMF yang terungkap pada review yang disepakati oleh IMF.
Setelah Paris Club bersidang bulan April 2001 dan menilai perkembangan ekonomi Indonesia hingga kuartal pertama tahun 2001, ditarik kesimpulan bahwa syarat ini belum terpenuhi dan karena itu penjadwalan kembali utang tahap kedua yang mencakup 1 April 2001 sampai dengan 31 Maret 2002 belum diterapkan.
Juga ditanyakan maksud Pemerintah untuk mengagunkan sumber daya alam melalui "asset backed securities" ke luar negeri untuk meminjam dana baru. Yang dikhawatirkan Paris Club bahwa mengagunkan sumber daya alam ini mengalihkan potensi penerimaan anggaran dimasa depan ke penerimaan sekuritas. Sehingga mengurangi potensi untuk melunasi utang kepada Paris Club yang dijadwalkan kembali kemasa depan.
Keberatan atas "asset backed securities" ini juga diajukan oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Pemerintah Jepang.
Maka mencuatlah akhir-akhir ini permasalahan :
1.      Akankah tercapai kesepakatan Pemerintah dengan IMF sesuai dengan memorandum September 2001.
2.      Akankah penjadwalan ulang utang dengan Paris Club dihambat oleh tidak adanya kesepakatan dengan IMF dan munculnya kasus asset backed securities.
3.      Akankah ketidak sepakatan Pemerintah dengan IMF mengakibatkan Bank Dunia beralih ke sistem krisis?
4.      Akankah ketidakpastian dengan pihak luar memperumit ketidak pastian ekonomi yang kemudian berimbas pada kegoncangan politik di dalam negeri ?
5.      Akankah ekonomi Indonesia terjerumus dalam jurang krisis ekonomi generasi kedua?

Kebebasan Bank Sentral
Berbagai permasalahan yang memperkuat ketidakpastian ini mendorong pasar untuk mencari aman (precautionary motive) sehingga menubruk valuta asing dan mendorong melemahnya nilai rupiah kita. Perkembangan politik dan ekonomi sejak permulaan tahun 2001 dihinggapi berbagai tanda-tanda yang sulit membangkitkan kepastian usaha sehingga menurunkan bebagai indikatorrank ekonomi.
Gabungan tiga hari raya besar dan kebutuhan uang kas pada penutupan buku mendorong kenaikan volume uang melonjak tinggi dalam bulan Desember 2000 (Rp. 162,1 triliun) dibandingkan dengan November 2000 (Rp. 141,2 triliun). Namun pada bulan berikutnya dilakukan koreksi volume uang pada jumlah Rp. 145,3 triliun (January 2001). Dan sejak itu kebijakan Bank Indonesia adalah mengusahakan agar perkembangan volume uang tidak menimbulkan tekanan inflasi dan mendorong kenaikan kurs valuta asing. Alat kebijakan moneter menekan melambungnya kurs valuta asing adalah suku bunga (SBI 1 bulan menurut rata-rata hasil lelang) dan volume uang.
Suku bunga harus mempertimbangkan perkembangan suku bunga riil luar negeri, laju inflasi dalam negeri dan risk premium yang dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi. Alat kebijakan moneter untuk mempengaruhi nilai tukar rupiah terletak pada pengendalian volume uang dan suku bunga. Sementara suku bunga perlu diusahakan mendekati suku bunga riil.
Untuk memungkinkan Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneternya secara bertanggung jawab, tumbuh kebutuhan untuk menegakkan kebebasan (independence). Bank Sentral menetapkan dan mengembangkan kebijakannnya.
Dimasa lalu kepada Bank Sentral dibebankan bebagai tugas pembangunan, seperti menjalankan dana keperluan Pemerintah, memberi kredit atas perintah Pemerintah, dan lain-lain denga akibat semakin jebolnya pengendalian laju inflasi. Trend perkembangan Bank Sentral didunia sekarang menjurus pada pemusatan tugasnya pada "pengendalian laju inflasi". Dan karena laju inflasi juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dari Pemerintah, maka kebijakan moneter dan Bank Sentral perlu secara independen menetralisasi dampak kebijakan Pemerintah pada laju inflasi.
Dalam kerangka inilah perlu dilihat perdebatan yang sedang berjalan maka Pemerintah, DPR dan Bank Indonesia mengenai usul amandemen Pemerintah terhadap undang-undang nomor 23 tahun 1999 yang salah satu pasal pelik dikenal dengan pasal 75 yang menyatakan bahwa :
1.      Dengan berlakunya undang-undang ini, direksi yang diangkat berdasarkan undang-undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dinyatakan diberhentikan dan diangkat kembali sebagai anggota Dewan Gubernur dengan pengaturan sebagai berikut :
  1. Gubemur dan seorang Deputi Gubernur untuk masa jabatan pertama selama 4 tahun.
  2. 2 (dua) orang Deputi Gubernur untuk masa jabatan selama 1 (satu) tahun.
  3. 2 (dua) orang Deputi Gubernur untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun.
  4. 2 (dua) orang Deputi Gubernur untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.

2.      Selambat-lambatnya 3 (tiga) minggu sejak undang-undang ini berlaku, Presiden mengusahakan calon Deputi Gubernur Senior menurut ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 40 dan pasal 41 untuk masa jabatan pertama selama 5 (lima) tahun.
3.      Anggota Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c dan huruf d disetujui oleh DPR berdasarkan usul Gubernur.

Pemerintah kini mengusulkan sebagai pengganti pasal 75 ini rumusan yang intinya adalah bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, Dewan Gubernur yang diangkat berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 1999 dinyatakan diberhentikan. Dan sebelum dibentuk Dewan Pengawas Bank Indonesia yang disepakati untuk diadakan, maka presiden dengan persetujuan DPR menunjuk anggota Dewan Gubernur. Dan pengangkatan anggota Gubernur dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak undang-undang ini diundangkan.
Untuk memperoleh penilaian obyektif tentang amandemen undang-undang nomor 21 tahun 1999 untuk Pemerintah dan IMF dibentuk sebuah panel terdiri dari mantan Menteri / Ketua Bappenas. Boediarjo mantan Direktur Bank Negara. Sultan Remi Syahdeini. Gubernur Bank Sentral Selandia Baru Bernard T. Brash dan mantan Gubemur Bank Sentral Chilli, Roberta Zahler. Hasil kerja panel disajikan dalam "Panel Report on Proposed Amendments of Bank Indonesia Law".
Khusus mengenai pasal 75 ini panel memperhatikan bahwa dalam masa peralihan undang-undang nomor 13 tahun 1968 nomor 23 tahun 1999 telah diterapkan ketentuan memberhentikan Dewan Gubemur sekarang dengan diamandemen undang-undang nomor 23 tahun 1999 lagi-lagi diterapkan ketentuan "Pemberhentian Dewan Gubernur" sebagai klausul transisi. Hal ini dianggap oleh panel sebagai "Serious mistake." Karena tumbuh kesan bahwa pasal 75 ini dimaksud untuk memberhentikan Dewan Gubernur dan menciptakan Presiden bahwa setiap kali terdapat perbedaan antara Pemerintah dengan Bank Indonesia maka undang-undang disesuaikan untuk lagi-lagi memberhentikan Dewan Gubernur." Cara-cara ini tidak menumbuhkan kepercayaan mengenai kemampuan Bank Sentral untuk mengembangkan kebij'akan moneter yang bebasdari pengaruh politik, dan akan mengundang reaksi negatif yang tidak membantu dari faktor finansial.
Panel mengusulkan suatu proses yudisial yang dipercepat (accelerated judicial hearing) mengenai berbagai keprihatinan terhadap anggota Dewan Gubernur atau melalui proses penilaian objektif oleh Dewan Pengawas (Supervisor Board) dan jika patut (approved) merekomendasikan pemberhentian kepada Presiden dan DPR untuk diproses kemudiah sesuai dengan undang-undang.
Yang penting dalam memecahkan concern tentang tindak-tanduk beberapa Dewan Gubernur itu diperhatikan kebutuhan jangka panjang untuk menjamin kerangka institusi yang appropriate dan independent Bank Sentral.
Banyak tuduhan korupsi dilontarkan kepada beberapa anggota Dewan Gubemur Bank Indonesia sekarang ini. Untuk menegakkan keadilan dan negara hukum seyogyanya tuduhan disampaikan ke kejaksaan agung untuk dilaksanakan proses pengadilan. Fakta bahwa yang dituduh kemudian dibebaskan oleh kejaksaan agung menumbuhkan spekulasi tentang adanya agenda tersembunyi dibalik pasal 75 ini.
Dalam suasana seperti ini Bank Indonesia harus mengembangkan kebijakan moneter yang kredibel. Dengan kecenderungan lemahnya kurs rupiah terhadap US $ dari 11.471 (akhir Januari 2001) ke Rp. 11.530 (pertengahan Mei 2001), Bank Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga SBI 1 bulan dari 14,74 akhir tahun Januari 2001 menjadi 16,31 % pertengahan Mei 2001.

Perubahan Asumsi Kebijakan Ekonomi
Dengan perubahan kurs rupiah naiknya suku bunga dan meningkatnya laju inflasi maka asumsi yang semula digunakan dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2001 perlu disesuaikan sebagai berikut :
                                                                        APBN 2001                Proyeksi
(1)  GOP nominal (Rp)                                   1,425 tril                      1,468 tril
(2)   Pertumbuhan GDP (%)                           5%                               3,5%
(3)   Inflasi (%)                                                7,2%                            9,3%
(4)   Nilai tukar rupiah per US$                      7,800                           9,600
(5)   Suku bunga rata-rata                               11,5%                          1,5%
(6)   Harga minyak per barel                           $24                              $24
(7)   Produksi minyak  (ribu barel / hari)         1,460                           1,460
Akibatnya adalah diperlukan penyesuaian APBN 2001
(1)    Penerimaan (Rp. Tril)                                         263,2               2895,0
(2)    Pengeluaran (Rp. Tril)                                        315,8               341,3
(3)    Defisit (Rp. Tril)                                                 52,5                 56,3    
(4)    Defisit dalam % GOP                                        3,5%                3,8%
(5)    Pembiayaan yang tersedia (Rp. Tril)                  52,5                 56,3
(6)    Pembiayaan dari dalam negeri (Rp. Tril)            (33,5)               (36,4)
(7)    Pembagian dari luar negeri (Rp. Tril)                 (19,0)               (19,9)

Apabila tidak diusahakan penyesuaian anggaran, maka perubahan asumsi ekonomi menimbulkan deficit yang besar sampai Rp. 86,9 triliun atau 5,9% dari Produk Domestik Bruto. Defisit ini adalah akibat :
·         Depresiasi rupiah terhadap valuta asing sehingga menaikkan biaya anggaran permintaan devisa.
·         Naiknya suku bunga SBI sehingga menaikkan beban pembayaran bunga uang.
·         Dibatalkannya bantuan luar negeri, seperti jaringan pengamanan sosial, sehingga mengurangi penerimaan.
·         Tertundanya penyesuaian harga BBM sehingga menaikkan pengeluaran subsidi.
·         Tertundanya beberapa sasaran pendapatan pertambahan nilai sehingga mengurangi penerimaan.

Andaikata defisit sebesar Rp. 86,9 triliun dibiarkan maka dampaknya pada inflasi sangat signifikan. Untuk mengurangi jebolnya laju inflasi maka kebijakan moneter pada uang ketat lagi dan ini berarti kontraksi moneter melalui kenaikan suku bunga. Dampak kebijakan ini mengakibatkan ambruknya dunia usaha yang tidak mampu memikul beban suku bunga yang tinggi sehingga mengurangi produksi dan supply output yang memicu kenaikan harga dalam spiral inflasi yang rawan.
Segi lain adalan bahwa defisit Rp. 86,9 triliun memicu instablitas ekonomi yang mendorong memperpuruk nilai rupiah lebih rendah lagi, sehingga merangsang keluarnya modal (Capital inflow) dan tidak merangsang masuknya modal (Capital inflow). Situasi seperti ini menurunkan tingkat investasi dan merangsang penghentian produksi sehingga memperbesar pengangguran.
Pola anggaran yang menghasilkan defisit Rp. 86,9 triliun memuat distorsi harga yang serius. Untuk minyak bumi saja jumlah subsidi mencapai Rp. 66 triliun. Sedangkan seluruh anggaran pembangunan adalah Rp. 42 triliun, penglunasan utang luar negeri hanyalah Rp. 28 triliun dan belanja pegawai Rp. 38 triliun. Sehingga pengeluaran untuk subsidi minyak mengorbankan biaya pembangunan dan penglunasan utang.
Permasalahan lain adalah defisit Rp. 86,9 triliun mengasumsikan utang Paris Club (US$ 2.97 milyar) dijadwalkan kembali. Jika Paris Club menolak, maka defisit ini harus dinaikkan lagi. Jelaslah tumbuh urgensi untuk menurunkan defisit 5,9 % PDB kearah yang lebih baik terkelola seperti 3,8% produk Domestik Bruto ini. Penurunan defisit dari Rp. 86,9 triliun menjadi Rp. 53.4 triliun menghendaki penurunan sebesar Rp. 33,5 triliun. Maka lahirlah kebutuhan mengusahakan penyesuaian APBN 2001. Dengan penambahan pendapatan dan pengurangan pengeluaran dalam satu paket kebijakan penyesuaian APBN 2001 untuk mengurangi defisit ke tingkat 3,8% PBD.
Dalam hitungan kasar kekurangan ini bisa ditutup dengan :
1.      Menaikkan pendapatan negara (Rp. Trilliun) 48,1.
2.      Mengurangi belanja negara -22,9
3.      Pembiayaan dalam negara berupa penerbitan obligasi 2,9

Kenaikan pendapatan negara terutama adalah dengan, menaikkan pendapatan penambahan bea dan cukai dan penerimaan bukan pajak.
Pengeluaran rutin dikurangi dengan menurunkan belanja pegawai, mengurangi subsidi BBM dan subsidi listrik serta pengeluaran rutin lainnya seperti rapat dan perjalanan dinas.
Pengeluaran pembangunan juga dikurangi kecuali untuk pendidikan dan kesehatan.

Alternatif untuk Pemulihan Ekonomi
Berbagai langkah initentulah menaikkan harga dan biaya hidup namun alternatifnya jika dilaksanakan adalah kenaikan harga dan biaya hidup yang lebih tajam lagi akibat dipicu oteh biaya inflasi.
Karena berbagai langkah ini menaikkan beban masyarakat, pertanyaan timbul apakah ada langkah lain, seperti pemberantasan korupsi, peningkatan efisiensi aparatur Pemerintahan dan BUMN menggalakkan pemungutan pajak pendapatan secara lebih gencar, merasionalisasi kepegawaian dan sebagainya.
Perlu dicatat bahwa langkah mengurangi defisit ini dilaksanakan dengan sekaligus juga menggarap langkah-langkah tersebut lainnya. Persoalannya cuma bahwa langkah-langkah pemberantasan korupsi, peningkatan effisiensi, mengintensif dan mengekstensifkan pajak pendapatan tidak memberi hasil dalam waktu bulanan, tetapi memerlukan waktu tahunan. Sedangkan tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana mengendalikan laju inflasi sekarang dalam waktu enam bulan sisa tahun anggaran 2001.
Ada desakan urgensi yang tidak terelakkan. Defisit harus diganyang sekarang juga. Sehingga langkah kebijakan yang dipilih adalah yang segera memberi dampak. Setiap penundaan lebih menyulitkan ikhtiar pengendalian inflasi. Sebagai contoh, pengurangan-pengurangan subsidi bahan bakar minyak dengan 1 bulan merupakan biaya tambahan dalam anggaran sebesar Rp. 1 triliun. Pilihan yang dihadapi tidaklah mudah. Kebijakan yang harus dipilih adalah yang terbaik dan yang buruk dan yang teringan dari pilihan yang berat yang tersedia.
Mungkin bisa dipertanyakan apakah asumsi yang dipakai sudah tetap. Apabila sekarang saja sudah kita alami kurs rupiah di atas Rp. 9.600 per US $ dan suku bunga di atas 15 % apakah asumsi yang sekarang dipakai cukup realistis?
Yang menarik bahwa asumsi yang dipakai sekaligus juga menjadi sasaran kebijakan. Tujuan langkah-langkah kebijakan pemulihan ekonomi adalah untuk memperkuat nilai rupiah kita, menurunkan suku bunga sehingga menurunkan laju inflasi.
Karena itu Paket kebijakan Penyesuaian APBN 2001 sangatlah penting untuk mencapai sasaran yang sekaligus juga menjadi asumsi kebijakan. Dan "waktu" adalah penting. Jika keadaan ekonomi memburuk, maka dampak negatif pada penyelesaian politik tidak hanya untuk jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang terlepas dari siapapun mempimpin pemerintah.
Krisis ekonomi yang melanda Asia bisa di atas, seperti terbukti telah dilaksanakan oleh Korea Selatan, Thailan, Malaysia, dan Philipina. Indonesia bisa mengatasi krisis sekarang ini. Untuk itu perlu diusahakan kebijakan pemulihan ekonomi yang memuat pokok :
1.      Pelaksanaan Paket Kebijakan penyesuaian APBN 2001 yang mengendalikan inflasi hingga 3,8% pertahun.
2.      Segera dirampungkan hal-hal yang menyangkut penjadwalan utang luar negeri melalui Paris Club, untuk mencegah meningkatnya utang luar negeri perlu dibatalkan rencana dengan mengagunkan asset negara, seperti gas natuna dan lain-lain pada luar negeri.
3.      Segera diselesaikan amandemen UU nomor 39 tahun 1999 dengan berpegang pada terlaksananya independent Bank Sentral. Untuk itu laporan panel perlu disebar luaskan untuk dijadikan kerangka acuan.
4.      Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan "buatan Indonesia" September 2000 dengan dirundingkan pelaksanaannya dengan IMF.
5.      Program penaggulangan dampak negatif pada kelompok mungkin akibat kebijakan penghapusan subsidi segera dirampungkan dan disosialiasikan. Dengan langkah kebijakan yang kredibel ini, Indonesia dapat merebut kembali kepercayaan pasar dunia luar dan dalam negeri. Sehingga tertanam landasan sehat bagi ikhtiar pemulihan ekonomi dan sosial politik dari puing kerusakan krisis yang melanda 4 tahun ini, untuk mewujudkan ke arah Indonesia yang tangguh ekonominya rukun kehidupan sosialnya dan demokratis pemulihan ekonominya, rukun kehidupan sosialnya dan demokratis pertumbuhan politiknya.


                                                     Daftar   Referensi
Emil Salim, Kuliah Perdana Program Pascasarjana, FE - UI, Jakarta, 2000.
Juda Agung, Independensi Bank Indonesia, Jakarta, 2000.
Harian Kompas, Edisi 20 Desember 2000. 
Harian Republika, Edisi 21 Desember 2000. 
Levy, Kuliah Perekonomian Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
Majalah Infobank, Edisi bulan Desember 2000. 
Mingguan Tempo, Edisi Januari 2000.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar