KEBIJAKAN PEMULIHAN EKONOMI INDONESIA
Oleh :
Muh. Abdul Halim, SE, MSi
Dosen STIEAD
Pendahuluan
Sungguhpun kondisi sosial politik Indonesia tahun 2000
masih penuh gejolak, namun perkembangan ekonomi cukup menggembirakan dengan
laju pertumbuhan sebesar 4,7% setahun dan tingkat inflasi di bawah 9,35 %
setahun. Hanya nilai tukar rupiah menunjukkan kecenderungan menurun dari Rp.
7.181,00 (Desember 1999) menjadi Rp. 9.385,00 peri dollar US (Desember
2000).
Namun sejak permulaan tahun 2001 hingga sekarang kondisi
politik ditandai oleh proses "tank tembang" antara Presiden
dengan DPR menuju ketingkat kristalisasi penyelesaian konflik politik ditingkat
tinggi dalam waktu yang tidak lama lagi. Konflik sosial di beberapa daerah
masih berlanjut bahkan meluas ke daerah Kalimantan Tengah dengan cara-cara yang
mencemaskan. Sedangkan perjarahan atas sumberdaya alam semakin gencar di sector
kehutanan, perkebunan, pertambakan ikan dan pertambangan.
Dalam suasana seperti ini berbagai lembaga penilai, seperti
Moody Standard and Pool Political Economic Risk Consultancy Ltd serta Danareksa
Research Institiute memberikan kesimpulan yang konsisten bahwa Indonesia
meluncur dari kondisi positif ke posisi negatif. Berbagai faktor resiko
cenderung naik, seperti kelembagaan yang lemah, indeks Kepercayaan Bisnis pada
Pemerintah yang berada pada indeks 125 (Maret 2000), menurut Danareksa Resarch
Institute turun ke indeks 99,4 (Maret 2001)
Dalam bulan September 2000 Menko EKUIN dan Pejabat Gubernur
Bank Indonesia mengirim surat kepada Horst Kohler, Managing Director
IMF, mengungkapkan komitmen pemerintah melaksanakan Memorandum of Economic
and Financial Policies (MEFP), menggantikan MEFP Juli 2000 yang disusun
Menko EKUIN Kwik Kian Gie sebelum kabinet dirubah Agustus 2000. Memorandum yang
baru (September2000) ini, yang kemudian juga dikenal dengan Letter of Intent
Pemerintah kepada Pimpinan IMF, mencakup :
1.
Sepuluh Pokok Program
Pemulihan Ekonomi rumusan Menko EKUIN.
2.
Kebijakan ekonomi
makro yang memuat kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan nilai tukar, masalah
keuangan, investasi luar negeri dan manajemen utang serta pengembangan dan
obligasi.
3.
Desntralisasi fiskal
sebagai kelanjutan dari desentralisasi ekonomi dalam otonomi daerah.
4.
Reformasi sistem
perbankan yang memuat restrukturisasi perbankan dipimpin oleh BPPN (Tindakan
Penyehatan Perbankan Nasional), restrukturisasi perbankan milik negara,
kerangka pengawasan dan pengaturan Bank Indonesia serta auditingnya.
5.
Restrukturisasi
koporat melalui ikhtiar BPPN dan Prakarsa Jakarta.
6.
Reformasi hukum dan
pentadbiran (Governance).
7.
Reformasi sektor
publik seperti pentadbiran sector publik, reformasi kepegawaian, reformasi dan
privatisasi Badan Usaha Milik Negara.
Suatu kinerja kuantitatif yang dituang dalam sasaran
moneter, fiskal dan ekstemal dicanangkan untuk dicapai pada akhir Oktober dan
akhir Desember 2000. Karena itu disepakati pula agar dalam bulan Desember 2000
pelaksanaan MEFP ini akan dikaji bersama antara Pemerintah dan IMF. Hingga Mei 2001 ini belum dicapai kesepakatan
dengan IMF mengenai pelaksanaan MEFP. Dan pasar menanggapinya secara negatif
dan mencium ada perselisihan antara Pemerintah dan IMF.
Dengan kesepakatan Pemerintah, Bank Dunia menghentikan
bantuan jaringan pengembangan sosial, sehingga menunkan pencairan dana yang
sudah direncanakan dalam anggaran pembangunan tahun 2001.
Yang penting dicatat adalah Country Assistance Strategy yang
disusun untuk Indonesia
dan kelompok Bank Dunia, termasuk International Finance Corporation, dan
meninjau :
·
Skenario kasus dasar
yang mengungkapkan keberlanjutan keadaan kini dan disebut sebagai middle
though situation yang mengakibatkan Bank Dunia merencanakan program
pinjaman sebesar $ 440 juta setahun, atau 30 % dari program pinjaman sebesar US
$ 1,3 Milyar sebelum masa krisis.
·
Skenario kasus tinggi
yang mencerminkan kebijakan reformasi yang maju dan didukung kelompok Bank
Dunia dengan rencana program bantuan mencapai US $ 1 milyar setahun mulai tahun
anggaran 2002. Syarat pinjaman yang diterapkan adalah ketentuan IDA yang lunak.
·
Skenario kasus krisis
akibat batalnya kesepakatan Pemerintah dengan IMF sehingga penurunan
kepercayaan pasar. Dalam keadaan ini sulit bagi Bank Dunia melanjutkan
programnya secara efektif dan mendorongnya hanya beroperasi dalam kegiatan
analisa dan nasehat.
Juga menarik adalah perkembangan penjadwalan kembali
utang-utang bilateral Indonesia
yang disepakati Pemerintah bulan April 2000 dengan "Perkumpulan
Paris" (Paris
Club) yang terdiri dari negara-negara pemberi kredit. Penjadwalan
kembali utang tertuang dalam memorandum of understanding (April 2000) dan
terbagi atas dua tahap :
1.
Tahap pertama
menjadwalkan kembali utang bilateral yang jatuh tempo antara 1 April 2001
sampai dengan 31 Maret 2001 sebesar US $ 2,99 milyar.
2. Tahap kedua menjadwalkan kembali utang bilateral yang jatuh
tempo antara 1 April 2001 sampai dengan 11 Maret 2002 sebesar US $ 2,97 milyar.
Sebagai persyaratan diharapkan agar Pemerintah senantiasa
menjalin hubungan kerja sama yang baik (appropriate arrangement) dengan
IMF yang terungkap pada review yang disepakati oleh IMF.
Setelah Paris Club bersidang bulan April 2001 dan menilai
perkembangan ekonomi Indonesia hingga kuartal pertama tahun 2001, ditarik
kesimpulan bahwa syarat ini belum terpenuhi dan karena itu penjadwalan kembali
utang tahap kedua yang mencakup 1 April 2001 sampai dengan 31 Maret 2002 belum
diterapkan.
Juga ditanyakan maksud Pemerintah untuk mengagunkan sumber
daya alam melalui "asset backed securities" ke luar negeri
untuk meminjam dana baru. Yang dikhawatirkan Paris Club bahwa mengagunkan
sumber daya alam ini mengalihkan potensi penerimaan anggaran dimasa depan ke
penerimaan sekuritas. Sehingga mengurangi potensi untuk melunasi utang kepada
Paris Club yang dijadwalkan kembali kemasa depan.
Keberatan atas "asset backed securities" ini
juga diajukan oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Pemerintah
Jepang.
Maka
mencuatlah akhir-akhir ini permasalahan :
1.
Akankah tercapai
kesepakatan Pemerintah dengan IMF sesuai dengan memorandum September 2001.
2.
Akankah penjadwalan
ulang utang dengan Paris Club dihambat oleh tidak adanya kesepakatan dengan IMF
dan munculnya kasus asset backed securities.
3.
Akankah ketidak
sepakatan Pemerintah dengan IMF mengakibatkan Bank Dunia beralih ke sistem
krisis?
4.
Akankah ketidakpastian
dengan pihak luar memperumit ketidak pastian ekonomi yang kemudian berimbas
pada kegoncangan politik di dalam negeri ?
5.
Akankah ekonomi Indonesia
terjerumus dalam jurang krisis ekonomi generasi kedua?
Kebebasan
Bank Sentral
Berbagai permasalahan yang memperkuat ketidakpastian ini
mendorong pasar untuk mencari aman (precautionary motive) sehingga
menubruk valuta asing dan mendorong melemahnya nilai rupiah kita. Perkembangan
politik dan ekonomi sejak permulaan tahun 2001 dihinggapi berbagai tanda-tanda
yang sulit membangkitkan kepastian usaha sehingga menurunkan bebagai
indikatorrank ekonomi.
Gabungan tiga hari raya besar dan kebutuhan uang kas pada
penutupan buku mendorong kenaikan volume uang melonjak tinggi dalam bulan
Desember 2000 (Rp. 162,1 triliun) dibandingkan dengan November 2000 (Rp. 141,2
triliun). Namun pada bulan berikutnya dilakukan koreksi volume uang pada jumlah
Rp. 145,3 triliun (January 2001). Dan sejak itu kebijakan Bank Indonesia
adalah mengusahakan agar perkembangan volume uang tidak menimbulkan tekanan
inflasi dan mendorong kenaikan kurs valuta asing. Alat kebijakan moneter
menekan melambungnya kurs valuta asing adalah suku bunga (SBI 1 bulan menurut
rata-rata hasil lelang) dan volume uang.
Suku bunga harus mempertimbangkan perkembangan suku bunga riil
luar negeri, laju inflasi dalam negeri dan risk premium yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor non ekonomi. Alat kebijakan moneter untuk mempengaruhi nilai
tukar rupiah terletak pada pengendalian volume uang dan suku bunga. Sementara
suku bunga perlu diusahakan mendekati suku bunga riil.
Untuk memungkinkan Bank Indonesia melaksanakan kebijakan
moneternya secara bertanggung jawab, tumbuh kebutuhan untuk menegakkan
kebebasan (independence). Bank Sentral menetapkan dan mengembangkan
kebijakannnya.
Dimasa lalu kepada Bank Sentral dibebankan bebagai tugas
pembangunan, seperti menjalankan dana keperluan Pemerintah, memberi kredit atas
perintah Pemerintah, dan lain-lain denga akibat semakin jebolnya pengendalian
laju inflasi. Trend perkembangan Bank Sentral didunia sekarang menjurus pada
pemusatan tugasnya pada "pengendalian laju inflasi". Dan karena laju
inflasi juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dari Pemerintah, maka kebijakan
moneter dan Bank Sentral perlu secara independen menetralisasi dampak kebijakan
Pemerintah pada laju inflasi.
Dalam kerangka inilah perlu dilihat perdebatan yang sedang
berjalan maka Pemerintah, DPR dan Bank Indonesia mengenai usul amandemen
Pemerintah terhadap undang-undang nomor 23 tahun 1999 yang salah satu pasal
pelik dikenal dengan pasal 75 yang menyatakan bahwa :
1.
Dengan berlakunya
undang-undang ini, direksi yang diangkat berdasarkan undang-undang nomor 13
tahun 1968 tentang Bank Sentral dinyatakan diberhentikan dan diangkat kembali
sebagai anggota Dewan Gubernur dengan pengaturan sebagai berikut :
- Gubemur dan seorang Deputi Gubernur untuk masa jabatan pertama selama 4 tahun.
- 2 (dua) orang Deputi Gubernur untuk masa jabatan selama 1 (satu) tahun.
- 2 (dua) orang Deputi Gubernur untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun.
- 2 (dua) orang Deputi Gubernur untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
2.
Selambat-lambatnya 3
(tiga) minggu sejak undang-undang ini berlaku, Presiden mengusahakan calon
Deputi Gubernur Senior menurut ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 40 dan
pasal 41 untuk masa jabatan pertama selama 5 (lima) tahun.
3.
Anggota Dewan Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c dan huruf d disetujui oleh
DPR berdasarkan usul Gubernur.
Pemerintah kini mengusulkan sebagai pengganti pasal 75 ini
rumusan yang intinya adalah bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, Dewan
Gubernur yang diangkat berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 1999 dinyatakan
diberhentikan. Dan sebelum dibentuk Dewan Pengawas Bank Indonesia yang
disepakati untuk diadakan, maka presiden dengan persetujuan DPR menunjuk
anggota Dewan Gubernur. Dan pengangkatan anggota Gubernur dilakukan paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak undang-undang ini diundangkan.
Untuk memperoleh penilaian obyektif tentang amandemen
undang-undang nomor 21 tahun 1999 untuk Pemerintah dan IMF dibentuk sebuah
panel terdiri dari mantan Menteri / Ketua Bappenas. Boediarjo mantan Direktur
Bank Negara. Sultan Remi Syahdeini. Gubernur Bank Sentral Selandia Baru Bernard
T. Brash dan mantan Gubemur Bank Sentral Chilli, Roberta Zahler. Hasil kerja
panel disajikan dalam "Panel Report on Proposed Amendments of Bank Indonesia Law".
Khusus mengenai pasal 75 ini panel memperhatikan bahwa
dalam masa peralihan undang-undang nomor 13 tahun 1968 nomor 23 tahun 1999
telah diterapkan ketentuan memberhentikan Dewan Gubemur sekarang dengan
diamandemen undang-undang nomor 23 tahun 1999 lagi-lagi diterapkan ketentuan
"Pemberhentian Dewan Gubernur" sebagai klausul transisi. Hal ini
dianggap oleh panel sebagai "Serious mistake." Karena tumbuh
kesan bahwa pasal 75 ini dimaksud untuk memberhentikan Dewan Gubernur dan
menciptakan Presiden bahwa setiap kali terdapat perbedaan antara Pemerintah
dengan Bank Indonesia maka undang-undang disesuaikan untuk lagi-lagi
memberhentikan Dewan Gubernur." Cara-cara ini tidak menumbuhkan
kepercayaan mengenai kemampuan Bank Sentral untuk mengembangkan kebij'akan
moneter yang bebasdari pengaruh politik, dan akan mengundang reaksi negatif
yang tidak membantu dari faktor finansial.
Panel mengusulkan suatu proses yudisial yang dipercepat (accelerated
judicial hearing) mengenai berbagai keprihatinan terhadap anggota Dewan
Gubernur atau melalui proses penilaian objektif oleh Dewan Pengawas (Supervisor
Board) dan jika patut (approved) merekomendasikan pemberhentian
kepada Presiden dan DPR untuk diproses kemudiah sesuai dengan undang-undang.
Yang penting dalam memecahkan concern tentang tindak-tanduk
beberapa Dewan Gubernur itu diperhatikan kebutuhan jangka panjang untuk
menjamin kerangka institusi yang appropriate dan independent Bank Sentral.
Banyak tuduhan korupsi dilontarkan kepada beberapa anggota
Dewan Gubemur Bank Indonesia
sekarang ini. Untuk menegakkan keadilan dan negara hukum seyogyanya tuduhan
disampaikan ke kejaksaan agung untuk dilaksanakan proses pengadilan. Fakta
bahwa yang dituduh kemudian dibebaskan oleh kejaksaan agung menumbuhkan
spekulasi tentang adanya agenda tersembunyi dibalik pasal 75 ini.
Dalam suasana seperti ini Bank Indonesia harus mengembangkan
kebijakan moneter yang kredibel. Dengan kecenderungan lemahnya kurs rupiah
terhadap US $ dari 11.471 (akhir Januari 2001) ke Rp. 11.530 (pertengahan Mei
2001), Bank Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga SBI 1 bulan dari 14,74
akhir tahun Januari 2001 menjadi 16,31 % pertengahan Mei 2001.
Perubahan
Asumsi Kebijakan Ekonomi
Dengan perubahan kurs rupiah naiknya suku bunga dan
meningkatnya laju inflasi maka asumsi yang semula digunakan dalam menyusun
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2001 perlu disesuaikan sebagai berikut :
APBN
2001 Proyeksi
(1) GOP nominal (Rp) 1,425 tril 1,468 tril
(2) Pertumbuhan GDP (%) 5% 3,5%
(3) Inflasi (%) 7,2% 9,3%
(4) Nilai tukar rupiah per US$ 7,800 9,600
(5) Suku bunga rata-rata 11,5% 1,5%
(6) Harga minyak per barel $24 $24
(7) Produksi minyak (ribu barel / hari) 1,460 1,460
Akibatnya
adalah diperlukan penyesuaian APBN 2001
(1) Penerimaan (Rp. Tril) 263,2 2895,0
(2) Pengeluaran (Rp. Tril) 315,8 341,3
(3) Defisit (Rp. Tril) 52,5 56,3
(4) Defisit dalam % GOP 3,5% 3,8%
(5) Pembiayaan yang tersedia (Rp. Tril) 52,5 56,3
(6) Pembiayaan dari dalam negeri (Rp. Tril) (33,5) (36,4)
(7) Pembagian dari luar negeri (Rp. Tril) (19,0) (19,9)
Apabila
tidak diusahakan penyesuaian anggaran, maka perubahan asumsi ekonomi
menimbulkan deficit yang besar sampai Rp. 86,9 triliun atau 5,9% dari Produk
Domestik Bruto. Defisit ini adalah akibat :
·
Depresiasi rupiah
terhadap valuta asing sehingga menaikkan biaya anggaran permintaan devisa.
·
Naiknya suku bunga SBI
sehingga menaikkan beban pembayaran bunga uang.
·
Dibatalkannya bantuan
luar negeri, seperti jaringan pengamanan sosial, sehingga mengurangi
penerimaan.
·
Tertundanya
penyesuaian harga BBM sehingga menaikkan pengeluaran subsidi.
·
Tertundanya beberapa
sasaran pendapatan pertambahan nilai sehingga mengurangi penerimaan.
Andaikata defisit sebesar Rp. 86,9 triliun dibiarkan maka
dampaknya pada inflasi sangat signifikan. Untuk mengurangi jebolnya laju
inflasi maka kebijakan moneter pada uang ketat lagi dan ini berarti kontraksi
moneter melalui kenaikan suku bunga. Dampak kebijakan ini mengakibatkan
ambruknya dunia usaha yang tidak mampu memikul beban suku bunga yang tinggi
sehingga mengurangi produksi dan supply output yang memicu kenaikan harga dalam
spiral inflasi yang rawan.
Segi lain adalan bahwa defisit Rp. 86,9 triliun memicu
instablitas ekonomi yang mendorong memperpuruk nilai rupiah lebih rendah lagi,
sehingga merangsang keluarnya modal (Capital inflow) dan tidak merangsang
masuknya modal (Capital inflow). Situasi seperti ini menurunkan tingkat
investasi dan merangsang penghentian produksi sehingga memperbesar
pengangguran.
Pola anggaran yang menghasilkan defisit Rp. 86,9 triliun
memuat distorsi harga yang serius. Untuk minyak bumi saja jumlah subsidi
mencapai Rp. 66 triliun. Sedangkan seluruh anggaran pembangunan adalah Rp. 42
triliun, penglunasan utang luar negeri hanyalah Rp. 28 triliun dan belanja
pegawai Rp. 38 triliun. Sehingga pengeluaran untuk subsidi minyak mengorbankan
biaya pembangunan dan penglunasan utang.
Permasalahan lain adalah defisit Rp. 86,9 triliun mengasumsikan
utang Paris Club (US$ 2.97 milyar) dijadwalkan kembali. Jika Paris Club
menolak, maka defisit ini harus dinaikkan lagi. Jelaslah tumbuh urgensi untuk
menurunkan defisit 5,9 % PDB kearah yang lebih baik terkelola seperti 3,8%
produk Domestik Bruto ini. Penurunan defisit dari Rp. 86,9 triliun menjadi Rp.
53.4 triliun menghendaki penurunan sebesar Rp. 33,5 triliun. Maka lahirlah
kebutuhan mengusahakan penyesuaian APBN 2001. Dengan penambahan pendapatan dan
pengurangan pengeluaran dalam satu paket kebijakan penyesuaian APBN 2001 untuk
mengurangi defisit ke tingkat 3,8% PBD.
Dalam hitungan kasar kekurangan ini bisa ditutup dengan :
1. Menaikkan pendapatan negara (Rp. Trilliun) 48,1.
2. Mengurangi belanja negara -22,9
3. Pembiayaan dalam negara berupa penerbitan obligasi 2,9
Kenaikan pendapatan negara terutama adalah dengan,
menaikkan pendapatan penambahan bea dan cukai dan penerimaan bukan pajak.
Pengeluaran rutin dikurangi dengan menurunkan belanja
pegawai, mengurangi subsidi BBM dan subsidi listrik serta pengeluaran rutin
lainnya seperti rapat dan perjalanan dinas.
Pengeluaran pembangunan juga dikurangi kecuali untuk
pendidikan dan kesehatan.
Alternatif
untuk Pemulihan Ekonomi
Berbagai langkah initentulah menaikkan harga dan biaya
hidup namun alternatifnya jika dilaksanakan adalah kenaikan harga dan biaya
hidup yang lebih tajam lagi akibat dipicu oteh biaya inflasi.
Karena berbagai langkah ini menaikkan beban masyarakat,
pertanyaan timbul apakah ada langkah lain, seperti pemberantasan korupsi,
peningkatan efisiensi aparatur Pemerintahan dan BUMN menggalakkan pemungutan
pajak pendapatan secara lebih gencar, merasionalisasi kepegawaian dan
sebagainya.
Perlu dicatat bahwa langkah mengurangi defisit ini
dilaksanakan dengan sekaligus juga menggarap langkah-langkah tersebut lainnya.
Persoalannya cuma bahwa langkah-langkah pemberantasan korupsi, peningkatan
effisiensi, mengintensif dan mengekstensifkan pajak pendapatan tidak memberi
hasil dalam waktu bulanan, tetapi memerlukan waktu tahunan. Sedangkan tantangan
yang kita hadapi adalah bagaimana mengendalikan laju inflasi sekarang dalam
waktu enam bulan sisa tahun anggaran 2001.
Ada desakan urgensi yang tidak terelakkan. Defisit harus
diganyang sekarang juga. Sehingga langkah kebijakan yang dipilih adalah yang
segera memberi dampak. Setiap penundaan lebih menyulitkan ikhtiar pengendalian
inflasi. Sebagai contoh, pengurangan-pengurangan subsidi bahan bakar minyak
dengan 1 bulan merupakan biaya tambahan dalam anggaran sebesar Rp. 1 triliun.
Pilihan yang dihadapi tidaklah mudah. Kebijakan yang harus dipilih adalah yang
terbaik dan yang buruk dan yang teringan dari pilihan yang berat yang tersedia.
Mungkin bisa dipertanyakan apakah asumsi yang dipakai sudah
tetap. Apabila sekarang saja sudah kita alami kurs rupiah di atas Rp. 9.600 per
US $ dan suku bunga di atas 15 % apakah asumsi yang sekarang dipakai cukup
realistis?
Yang menarik bahwa asumsi yang dipakai sekaligus juga
menjadi sasaran kebijakan. Tujuan langkah-langkah kebijakan pemulihan ekonomi
adalah untuk memperkuat nilai rupiah kita, menurunkan suku bunga sehingga
menurunkan laju inflasi.
Karena itu Paket kebijakan Penyesuaian APBN 2001 sangatlah
penting untuk mencapai sasaran yang sekaligus juga menjadi asumsi kebijakan.
Dan "waktu" adalah penting. Jika keadaan ekonomi memburuk, maka dampak
negatif pada penyelesaian politik tidak hanya untuk jangka pendek tetapi juga
untuk jangka panjang terlepas dari siapapun mempimpin pemerintah.
Krisis ekonomi yang melanda Asia
bisa di atas, seperti terbukti telah dilaksanakan oleh Korea Selatan, Thailan, Malaysia,
dan Philipina. Indonesia
bisa mengatasi krisis sekarang ini. Untuk itu perlu diusahakan kebijakan
pemulihan ekonomi yang memuat pokok :
1.
Pelaksanaan Paket
Kebijakan penyesuaian APBN 2001 yang mengendalikan inflasi hingga 3,8% pertahun.
2.
Segera dirampungkan
hal-hal yang menyangkut penjadwalan utang luar negeri melalui Paris Club, untuk
mencegah meningkatnya utang luar negeri perlu dibatalkan rencana dengan
mengagunkan asset negara, seperti gas natuna dan lain-lain pada luar negeri.
3.
Segera diselesaikan
amandemen UU nomor 39 tahun 1999 dengan berpegang pada terlaksananya
independent Bank Sentral. Untuk itu laporan panel perlu disebar luaskan untuk
dijadikan kerangka acuan.
4.
Memorandum Kebijakan
Ekonomi dan Keuangan "buatan Indonesia" September 2000
dengan dirundingkan pelaksanaannya dengan IMF.
5.
Program penaggulangan
dampak negatif pada kelompok mungkin akibat kebijakan penghapusan subsidi
segera dirampungkan dan disosialiasikan. Dengan langkah kebijakan yang kredibel
ini, Indonesia
dapat merebut kembali kepercayaan pasar dunia luar dan dalam negeri. Sehingga
tertanam landasan sehat bagi ikhtiar pemulihan ekonomi dan sosial politik dari
puing kerusakan krisis yang melanda 4 tahun ini, untuk mewujudkan ke arah
Indonesia yang tangguh ekonominya rukun kehidupan sosialnya dan demokratis
pemulihan ekonominya, rukun kehidupan sosialnya dan demokratis pertumbuhan
politiknya.
Daftar Referensi
Emil Salim, Kuliah Perdana Program Pascasarjana, FE - UI, Jakarta, 2000.
Juda Agung, Independensi Bank Indonesia, Jakarta, 2000.
Harian Kompas, Edisi 20 Desember 2000.
Harian Republika, Edisi 21 Desember 2000.
Levy, Kuliah Perekonomian Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
Harian Kompas, Edisi 20 Desember 2000.
Harian Republika, Edisi 21 Desember 2000.
Levy, Kuliah Perekonomian Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
Majalah Infobank, Edisi bulan Desember 2000.
Mingguan Tempo, Edisi Januari 2000.
Mingguan Tempo, Edisi Januari 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar