PAJAK SEBAGAI SUMBER UTAMA
PENERIMAAN NEGARA
(Materi Diskusi)
Oleh: Muh
Abdul Halim, SE
PERGURUAN TINGGI
MUHAMMADIYAH SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
JAKARTA
Januari 2005
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Hukum pajak juga disebut hukum fiscal
adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan kepada masyarakat melalui kas Negara.
Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan
dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak ,merumuskan
dalam peraturan-peraturan mi.
Batasan dan definisi pajak menurut
Prof.DR Pja Adriani Pajak adalah iuran kepada kas negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang kepada yang wakib membayaraya menurut peraturan
perundangan dengan tidak mendapat prestasi secara langsung yang gunanya untuk
membiayai pengeluaran umum terhubung dengan tugas negara untuk menyelanggarakan
pemerintahan
Didalam hukum pajak diatur mengenai:
a. Siapa-siapa yang
menjadi subjek pajak dan wajib pajak.
b. Objek-objek apa saja
yang menjadi objek pajak.
c. Kewajiban WP terhadap
Pemerintah.
d. Timbul dan hapusnya
utang pajak.
e. Cara penagihan pajak.
f. Cara mengajukan
keberatan dan banding.
Sistematika hukum pajak
1. Hukum pajak formal
memuat ketentuan yang mendukung ketentuan hukum pajak material (UU KUP 16).
2. Hukum pajak Material memuat:
a. subjek pajak
b. wajib pajak
c. objek pajak
d. tarif pajak
UU pajak yang memuat hukum pajak Material dan formal adalah:
a. UUPBB
b. UU pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD)
c. UU Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
Bab I
PENGERTIAN PAJAK
Pengertian pajak secara umum
Pajak adalah. Pajak adalah iuran wajib yang dibayar oleh rakyat kepada
Negara yang digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan Negara yang tidak
memperoleh kontraprestrasi langsung dari Negara dan salah satu sumber
penghasilan terbesar di Negara kita.
1. Berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat (2) sistem dan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan
pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan
Undang-undang.
2. Pelaksanaan pembangunan
sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan.Bangsa mantpu membiayai
Pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagj beban
pembangunan antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan
rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan
Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
3. Pajak Penghasilan yang
merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan
Rakyat, perlu diatur dengan Undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum
sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.
4. Undang-undang Pajak
Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut
Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan) dan Tarip
Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta
pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam
Undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga
mempermudah masyarakat untuk mempelajari, mematiami serta mematuhinya.
5. Dalam sistem peraturan
perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan
diatur dalam berbagai Undang-undang, yaitu:
a. Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi
pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
b. Ordonansi Pajak Pendapatan
1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak
atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam ordonansi ini juga diatur
pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan
dari pemberi kerja tersebut.
c. Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970, yang
mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas
penghasilan berupa bunga, dividen dan royalty, yang wajib dipotong oleh
orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen dan royalty yang
bersangkutan.
d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan,
terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutari oleh pihak
lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun
berjalan serta perhitungan pada akhir tahun (MPS-Akhir).
6. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru,
diatur:
a. Semua ketentuan yang
berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang
pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam Undang-undang ini.
b. Ketentuan-ketentuan
mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan,
maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Tujuan dari penyederhanaan
ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah
masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini
menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara
pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan
prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan
pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin
tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak. Tarif untuk orang
pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif
maksimal yang lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai
kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
a. Sederhana, artinya bagi Wajib
Pajak mudah untuk menghitung,
bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan
oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang
berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti
disebutkan di atas.
b. Keadilan dan pemerataan
beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari
manapun diterima atau diperoleh.
c. Meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35% (tiga puluh lima
persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya
kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji
akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
d. Mengurangi pengalihan
penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan
semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak.
Pajak adalah biaya yang dibayar
oleh individu atau bisnis kepada pemerintah Cara pengumpulan
pajak dan bagaimana penggunaan uang pajak tersebut adalah bahan pembicaraan
panas dalam politik dan ekonomi. Bidang ekonomi yang mempelajari
pajak adalah keuangan umum.
Penerimaan Paiak di Indonesia
Target penerimaan negara Indonesia di
sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami
peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun
dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas.
Target penerimaan negara dari perpajakan
dalam APBN 2006 mencapai Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara
lain berasal dari:
• Paiak
Penefaasilan (PPh) Rp. 198,22 triliun
• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp. 126,76 triliun
• Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) Rp. 15.67 triliun
• Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5.06 triliun
• Penerimaan
pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1
triliun, bea masuk Rp. 17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1
miliar. Total penerimaan pajak dalam lima tahun teiakhir (2001-2005) sudah
mencapai 1.040 triliun.
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (disingkat PPh)
di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diainandemen
oleh :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. dan
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Mulai
Juli 2003 sampai Desember 2004. pemerintah menerapkan sistem pajak
yang ditanggung pemerintah yang iatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
1. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005
(sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
2. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.
Pajak Pertambahan Nilai
Pajak pertambahan nilai (PPN)
adalah pajak yang dikenakan pada saat penjualan barang atau jasa. Dalam bahasa
Inggris, pajak ini disebut "value added tax" (VAT) atau "goods
and services tax" (GST). PPN termasuk jenis pajak tak langsung, yang
artinya bahwa pajak tersebut dipungut dari pihak lain yang bukan penanggung
pajak, atau dengan kata lain, dikumpulkan dari penjual dan bukan pembeli.
Indonesia menganut sistem
tarif tunggal untuk PPN; yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang
digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu UU No. 11/1994 dan UU
No.18/2000.
Bab II
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak atas penghasilan, baik
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perseorangan maupun
badan yang terhutang selama satu tahun pajak.
Pasal 2
Ayat(l)
Pengertian Subyek Pajak mencakup, baik
orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi maupun badan.
Huruf a
1) Orang pribadi atau
perseorangan adalah Subyek Pajak, baik apabila mereka bertempat tinggal di
Indonesia maupun apabila mereka bertempat tinggal di luar Indonesia.
Mereka yang
bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak pada saat lahir di
Indonesia, atau bila seseorang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka ia
menjadi Subyek Pajak pada saat pertama kali berada di Indonesia. Jumlah 183
(seratus delapan puluh tiga) hari tersebut tidaklah harus berturut-turut.
Orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lagi menjadi
Subyek Pajak pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya.
Bagi
mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi Subyek Pajak di
Indonesia apabila mereka dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek Pajak di Indonesia pada saat tidak
mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
2) Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti,
yaitu menggantikan yang berhak.
Bagi
warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak pada saat timbulnya
warisan dimaksud (sejak saat meninggalnya pewaris), dan berakhir pada saat
warisan tersebut dibagi kepada mereka yang berhak (ahli waris).
Warisan
baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang belum terbagi itu memberikan
penghasilan.
Huruf b
Badan-badan seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer,
badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi,
perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga merupakan Subyek Pajak pada saat
didirikannya badan usaha atau organisasi tersebut, atau pada waktu memperoleh
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 bagi badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia.
Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
tidak lagi menjadi Subyek Pajak setelah penyelesaian likuidasi, dan bagi badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, tidak lagi menjadi
Subyek Pajak Indonesia pada saat terputusnya hubungan ekonomis dengan
Indonesia, yaitu sejak tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Perlu diperhatikan, bahwa setiap unit tertentu dari badan
pemerintah yang melakukan kegiatan usaha secara teratur di bidang sosial
ekonomi merupakan Subyek Pajak sebagai badan usaha milik negara.
Sudah barang tentu, badan usaha milik negara akan benar-benar
dikenakan pajak, apabila terdapat Obyek Pajak, yaitu mendapatkan
penghasilan. Demikian pula halnya dengan badan usaha milik daerah.
Suatu badan di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak di Indonesia, sejak adanya bentuk usaha
tetap itu.
Bentuk usaha tetap di Indonesia dari badan atau perusahaan luar
negeri digolongkan sebagai Subyek Pajak dalam negeri.
Pada prinsipnya Subyek Pajak dalam negeri akan dikenakan pajak
atas seluruh penghasilannya di manapun diperoleh, baik di Indonesia maupun di
luar Indonesia.
Penghasilan dari bentuk usaha tetap sebagai Wajib Pajak dalam
negeri dirumuskan tersendiri dalam Pasal 5. Yang dapat mempunyai bentuk usaha
tetap di Indonesia bukan saja setiap badan, tetapi juga setiap perusahaan
termasuk perusahaan perseorangan di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah wujud tertentu atau
sesuatu yang kurang lebih mempunyai sifat tetap, yang dijadikan pusat kegiatan
sebagian atau seluruh usaha di Indonesia dari suatu badan atau perusahaan yang
didirikan, bertempat kedudukan atau berada di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan menjalankan usaha secara teratur ialah
melakukan kegiatan usaha yang menunjukkan adanya maksud untuk dilakukan
terus-menerus. Misalnya dalam hal pemberian jasa-jasa (furnishing of services),
yang di dalamnya termasuk pemberian jasa konsultasi, (consultancy services),
apabila diberikan satu kali oleh seorang asing yang datang di Indonesia sebagai
turis, karena kebetulan diminta oleh seorang temannya di Indonesia, maka
pemberian jasa semacam itu belum termasuk kegiatan usaha yang dilakukan secara
teratur, dan oleh karena itu belum dapat dianggap adanya bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Namun apabila tuns tersebut datang lagi ke Indonesia untuk
memberikan jasa konsultasi atas nama suatu perusahaan luar negeri karena
misalnya direkomendasikan oleh temannya tersebut di atas, kepada suatu
perusahaan di Indonesia, maka telah terdapat suatu petunjuk tentang adanya
maksud untuk memberikan jasa konsultasi di Indonesia secara terus-menerus dan
oleh karena itu dalam hal ini telah terdapat bentuk usaha tetap di Indonesia.
Perusahaan asuransi luar negeri mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia, apabila perusahaan tersebut menerima pembayaran premi asuransi di
Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia, melalui karyawannya atau
perwakilan lain, yang bukan merupakan agen yang mempunyai kedudukan bebas
(independent).
Sebuah perusahaan luar negeri tidak dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia apabila dalam melakukan kegiatannya di Indonesia,
dipergunakan perantara atau broker atau agen lain yang sifatnya bebas, asalkan
perantara atau agen tersebut bertindak dalam rangka perusahaannya sendiri.
Oleh karena itu, bila agen tersebut bertindak sepenuhnya atau
hampir sepenuhnya atas nama perusahaan luar negeri itu, maka perantara atau
agen tersebut tidak memenuhi syarat sebagai agen yang mempunyai kedudukan yang
bebas, dengan perkataan lain, perantara atau agen tersebut merupakan bentuk
usaha tetap dari perusahaan luar negeri tersebut. Ayat (4) Subyek Pajak luar
negeri adalah Subyek Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Subyek Pajak yang benar-benar memperoleh penghasilan dan
oleh karena itu berkewajiban untuk membayar pajak, disebut dalam
undang-undang ini sebagai Wajib Pajak.
Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah seseorang atau suatu
badan yang telah memenuhi syarat-syarat kewajiban subyektif dan obyektif.
Perbedaan yang penting dari kewajiban Wajib Pajak dalam negeri
dibandingkan dengan kewajiban Wajib Pajak luar negeri adalah bahwa Wajib Pajak
dalam negeri, setelah tahun pajak berakhir, berkewajiban untuk menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan.
Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak melaporkan
tentang semua penghasilan yang diterima atau diperoleh, penghitungan
penghasilan kena pajak, dan pajak yang terhutang. Dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan itu Wajib Pajak juga melaporkan tentang semua pelunasan atas pajak yang
terhutang. Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan itu telah diisi dengan benar dan
pajak yang terhutang telah dilunasi sebagaimana mestinya, maka kepada Wajib
Pajak yang bersangkutan tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak. Surat
Ketetapan Pajak hanya perlu dikeluarkan, dalam hal Wajib Pajak tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau dalam hal Surat Pemberitahuan
Tahunan tidak benar dan/atau tidak lengkap, sehingga pajak yang kurang dibayar
perlu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak, ditambah dengan sanksi administrasi
yang berkenaan. Sedangkan atas Wajib Pajak luar negeri tidak diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
PPRT; kebijakan Privatisasi. Stabilkan Makro Ekonomi
Koordinator Presidium Pemantau Reformasi Total (PPRT) sekaligus
pengamat BUMN, Mumtaz Malik menilai, program privatisasi yang dilakukan oleh
Kantor Kementrian BUMN berdampak positif pada proses transparansi pengelolaan
kekayaan negara. Karena itu, pemerintahan baru nanti harus meneruskannya. Di
negara-negara maju, dana penyelenggaraannya didapat dari penerimaan pajak. Kini
di Indonesia, penerimaan pajak telah menjadi tulang punggung anggaran negara.
Dan penerimaan pajak dari BUMN kini memberikan kontribusi yang relatif besar
akibat adanya privatisasi BUMN.
Ia menambahkan, selama ini banyak pihak termasuk dirinya yang
telah melihat sisi gelap program privatisasi BUMN. Namun setelah mengkaji data
dan fakta secara lebih mendalam, ia memahami bahwa cara-cara Menneg BUMN "
dapat dipertanggungjawabkan secara proporsional dan profesional.
Buktinya, pada tahun 2003, negara menerima kontribusi dari program
tersebut berupa penerimaan pajak dengan nilai Rp 50 triliun. Nilai sebesar itu
tidak pernah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru selama tiga dekade. Paling
besar selama lebih dari 30 tahun, pemerintahah Orba hanya dapat menyetor ke kas
negara sekitar Rp 14 triliun. Itu terjadi pada 1999. Sebelum itu tidak pernah
terjadi, kata Mumtaz.
Ia menambahkan, secara nasional penerimaan negara dari pajak pada
tiga tahun terakhir pemerintahan pasca reformasi mencapai Rp 751 triliun. Angka
tersebut dicapai oleh pemerintahan Orba
selama 30 tahun.
"Kita bisa membayangkan sesungguhnya berapa nilai kekayaan
negara yang dimanipulasi dan tidak dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Apalagi
pengelolaan negara pada masa orde baru seolah-olah negara ini hanya milik
segelintir penguasa," ujar dia.
Program privatisasi juga dapat menjadi benteng untuk mencegah
terjadinya KKN. Karena pengelolaan BUMN akan dilakukan oleh publik secara
transparan sehingga BUMN tak dapat lagi menjadi kepanjangan tangan para
avonturir (petualang) politik dan lumbung dana bagi penguasa politik.
Sejarah telah membuktikan hal itu. Khususnya dalam hal penerimaan
pajak dan akuntabilitas
publik t yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Mumtaz memang tidak menepis adanya kritik-kritik tajam atas
kebijakan privatisasi yang diambil Menneg BUMN Laksamana Sukardi. Namun ia
mengllimbau agar kritik tersebut tidak hanya dilandasi pada kepentingan
kelompok tertentu untuk mendiskreditkan kinerja baik pemerintahan pasca
reformasi.
Menurut Mumtaz, kritik-kritik tajam atas privatisasi BUMN banyak
yang berasal dari para pembuat kebijakan pengelolaan BUMN masa lalu yang telah
menikmati manisnya uang rakyat tanpa pertanggungjawaban.
"Jadi, saya melihat sesungguhnya program privatisasi ini
justra bisa menjadi implementasi dari Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 33 ayat 3 UUD 45
. Bahwa Kedaulatan negara berada di tangan rakyat dan kekayaan negara
dipergunakan sebesar-besamya untuk kepentingan rakyat. Tetapi saya tetap
mengingatkan Menteri BUMN agar proses implementasi itu jangan sampai melenceng
dari roh pemberdayaan rakyat. Karena kalau kemudian melenceng, maka hal itu
akan menjadi bumerang bagi pemerintahan pasca reformasi," tambahnya.
Harus Diteruskan Mumtaz juga menghimbau kepada pemerintahan yang
akan terbentuk pasca Pemilu 2004 agar meneruskan program privatisasi yang
selaras dengan implementasi Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 33 ayat 3 UUD 45.
"Siapa pun presidennya dan siapa pun yang mendapat mandat
rakyat harus meneruskan program pengelolaan kekayaan negara, baik itu yang
dikelola BUMN maupun yang dikelola lembaga negara lainnya seperti BUMD, agar
publik dan rakyat dilibatkan sebagai stake holder. Sehingga konrrol publik atas
kekayaan yang mereka miliki selalu berfungsi. Itu sama dengan menegakkan dan
mengukuhkan terselenggaranya pemerintahan yang menjujung asas good corporate
governance," katanya.
la juga mengingatkan agar pemerintahan mendatang belajar dari
sejarah. Jangan sampai mengulangi kesalahan masa lalu yang telah diperbuat
rezim-rezim sebelumnya, sehingga pengelolaan BUMN tertutup dan menjadikannya
sebagai sapi perahan para penguasa. Tennasuk para petualang politik.
"Jangan lagi terulang kasus Pertamina dengan UU No 8 tahun
1971 yang jelas-jelas mengabaikan konstitusi Pasal 33 ayat 3, sehingga
Pertamina tidak menjadi milik rakyat tetapi milik pemerintah dengan adanya
kendali dari Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP).
Pajak dan Bisnis Teknologi Informasi
Saat ini sedang ramai-ramainya orang membicarakan tentang RUU
Pajak. Banyak yang menentang terutama kalangan bisnis, tapi ada juga yang
setuju.
Sebenarnya tujuan pajak itu sendiri baik, agar uang pajak yang
masuk ke negara dapat dikelola untuk menjalankan dan memajukan ekonomi negara,
yang akhirnya tercipta pemerataan kesejahteraan rakyatnya. Tetapi dalam
prakteknya kita semua tahu, hanya segelintir orang saja yang menikmati.
Lalu bagaimana dengan bisnis teknologi informasi di Indonesia?
Kita boleh iri dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia,
India dan Cina, dimana pemerintahannya benar-benar mendukung terhadap industri
(khususnya TI) yang bisa menghasilkan devisa dan menciptakan lapangan kerja.
Pemerintah di negara-negara tersebut memberikan insentif pajak besar-besaran
terhadap perusahaan-perusahaan TI yang mau berkembang.
Di Indonesia? Banyak kita dengar perusahaan-perusahaan TI yang
baru tumbuh, karena kurang pahamnya terhadap aturan pajak malah dijadikan ajang
pemerasan oleh oknum pajak.
boleh dikata semua undang2 di negeri tercinta ini menjadikan beban
buat kita2 termasuk tentang pajak dilain pihak peraahkah terpikir/ dirancang
sesuatu yang rnerupakan imbal balik langsung kepada wajib pajak ("terutama
pekerja perorangan") katakanlah kalo diluaran sana "reward"
misal per tahun yang merupan deviden dari pengelolaan pajak barang kali gitu.
Contoh lain jamsostek kalo diluaran social security, mestinya dari sini kita
dapet perlindungan jika pada saatnya jadi pengangguran misal di berikan
informasi/ tawarkan tempat/ peluang kerja dll.
Komentar pakar politik
Saat ini bisnis komputer tanpa diganggu pajak saja sudah susah,
apalagi ditambah masalah pajak.. wah memang enak jadi koruptor kalau tidak
tertangkap
Menurut saya hampir semua orang kalau ditanya pasti tidak rela
membayar pajak. Apalagi di Indonesia, kita semua tahu hanya berapa prosen uang
pajak yang masuk ke kas negara. Bukti untuk itu sangat kasat mata, kita lihat
disekeliling kita, mana ada pajabat pajak yang hidupnya tidak berlebih, mulai
dari tingkat paling rendah apalagi yang pegang posisi.
Jadi percuma dibuat undang-undang yang bagus, kalau hanya
dimanfaatkan oleh oknum pajak untuk memperkaya diri sendiri. Saya masih
skeptis.
Perekonomian suatu negara tanpa ditunjang penghasilan pajak adalah
mustahil. Pajak biasanya terbesar diperoleh dari dunia bisnis/industri, di
Indonesia undang-undang perpajakan yang spesifik mendukung dunia
bisnis/industri belum bagus, apalagi perundangan pajak khusus untuk bisnis TL,
sudah begitu tingkah laku aparat pajak di lapangan bukannya membangun dunia
usaha, tetapi malah menghancurkan..sampai kapan kondisi seperti ini?
Apa yang harus kita pahami dari ketentuan baru di atas, adalah
kecenderungan dan pergeseran dalam persepsi otoritas pajak terhadap sistem
pajak, terhadap otoritas pajak dan sekaligus terhadap pembayar pajaknya.
Otoritas pajak kita kini tengah mencoba memahami bahwa sistem pajak yang baik
dan ideal adalah sistem pajak yang terbangun oleh hubungan sinergi antara
dirinya sebagai otoritas dan pembayar pajak sebagai mitra dalam menggalang dana
untuk pembangunan kesejahteraan bangsa.
Dalam suatu sistem perpajakan yang bisa dikatakan andal, adil dan
mandiri, setiap hubungan antara ketiga pihak di dalamnya - yaitu sistem pajak
dan aturan perpajakan sendiri, otoritas pajak dan pembayar pajak, haruslah
merupakan hubungan yang saling membangun dan saling mempengaruhi secara
positif.
Jika kita cermati ketiga aktivitas pendukung pemeriksaan di atas,
maka di sana kita bisa melihat bahwa tujuan akhir'dari setiap aktivitas itu
adalah terbangunnya ketaatan sukarela dari golongan pembayar pajak. Ketaatan
inilah yang dianggap sebagai bentuk hubungan positif di antara ketiga pihak
yang hidup di bawah sistem pajak. Inilah bentuk hubungan yang dianggap bisa
membantu tercapainya tujuan keberadaan sistem pajak, yaitu kesejahteraan bangsa
dan rakyat Indonesia.
Maka dalam menyikapi dan mempersepsi kecenderungan serta
pergeseran paradigma otoritas pajak di atas, setiap pihak yang terlibat di
dalam sistem perpajakan harus bisa memegang beberapa prinsip yang bisa menjamin
tercapainya peningkatan dalam ketaatan sukarela.
Pertama, otoritas pajak harus bisa memposisikan diri sebagai unsur
pencari "nafkah" buat negara, dan pada saat yang sama juga harus
memposisikan diri sebagai aparat negara, dari sebuah negara yang bercita-cita
mensejahterakan rakyatnya.
Kedua, jika otoritas pajak'memang berkeinginan besar untuk
menjadikan masyarakat pembayar pajak sebagai mitranya, maka pada saat yang sama
berbagai perilaku dan kebijakan yang diambihiya haruslah juga mencerminkan
"fenomena" kemitraan itu.
Ketiga, masyarakat pembayar pajak sendiri yang akan dimitrakan
oleh otoritasnya, harus mencoba untuk membuka diri dan tangannya tanpa penuh
prasangka. Mereka harus mencoba untuk menjadi mitra yang aktif dalam
menciptakan sistem pajak yang lebih baik dengan berbagai masukan, diskusi dan
kritik yang membangun.
Ketiga prinsip di atas harus dipegang setiap pihak dengan porsi
yang sama dan seimbang. Jika tidak, maka unsur represif dari pemeriksaan pajak
justru akan makin menguat dan makin melemahkan ketaatan sukarela yang menjadi
cita-cita.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uarian-uraian pada bagian terdahulu dapat diambil suatu
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hidup dimasa sekarang
harus berani dan tegas, dimana kita mempunyai peran yang sangat penting di
dalam negara kita. Dalam kehidupan kita harus adil, makmur, dan sejahtera.
Dimana kita bisa saling memberikan kesempatan berpendapat didalam bemusyawarah
asalkan dengan diberikan kebebasan masyarakat juga harus bertanggung jawab.
2. Dengan kita ikut serta
memberikan pendapat secara langsung masyarakat akan mengerti yang terjadi
dinegaranya. Jadi masyarakat harus menjujung tinggi nilai-nilai moral persatuan,
solidaritas, asas kekeluargaan, dan gotong royong. Dengan keikut sertaan
masyarakat dalam memajukan bangsa. Maka negara kita akan baik.
Saran-saran
Dalam makalah ini penulis menyadari banyak kesalahan dan
kekurangan sehingga membuat makalah ini kurang sempurna, maka penulis meminta
saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Susanto. 1981. Mengenal Filsafah Sejarah .Yogayakarta: Hanindita.
Topan.
Sutrisno PH.2000. Keuangan Negara, BPFE- UGM, Yogyakarta.
Notonagoro. 2000. Pancasila: Analisa Konsepsional Aplikatif. Jakarta : Senar Grafika
Undang-Undang Perpajakan RI No 10 tahun 1994.
Undang-Undang Perpajakan RI No 17 tahun 2000.
Sutrisno PH.2000. Keuangan Negara, BPFE- UGM, Yogyakarta.
Notonagoro. 2000. Pancasila: Analisa Konsepsional Aplikatif. Jakarta : Senar Grafika
Undang-Undang Perpajakan RI No 10 tahun 1994.
Undang-Undang Perpajakan RI No 17 tahun 2000.
PAJAK SEBAGAI SUMBER UTAMA
PENERIMAAN NEGARA
(Materi Diskusi)
Oleh: Muh
Abdul Halim, SE
PERGURUAN TINGGI
MUHAMMADIYAH SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
JAKARTA
Januari 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar