Rabu, 30 Oktober 2013

KARYA ILMIAH 4



PAJAK SEBAGAI SUMBER UTAMA
PENERIMAAN NEGARA
(Materi Diskusi)




Oleh: Muh Abdul Halim, SE





PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
JAKARTA
Januari 2005


PENDAHULUAN

I.            LATAR BELAKANG
Hukum pajak juga disebut hukum fiscal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan kepada masyarakat melalui kas Negara.
Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak ,merumuskan dalam peraturan-peraturan mi.
Batasan dan definisi pajak menurut Prof.DR Pja Adriani Pajak adalah iuran kepada kas negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang kepada yang wakib membayaraya menurut peraturan perundangan dengan tidak mendapat prestasi secara langsung yang gunanya untuk membiayai pengeluaran umum terhubung dengan tugas negara untuk menyelanggarakan pemerintahan
Didalam hukum pajak diatur mengenai:
a.     Siapa-siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak.
b.    Objek-objek apa saja yang menjadi objek pajak.
c.     Kewajiban WP terhadap Pemerintah.
d.    Timbul dan hapusnya utang pajak.
e.     Cara penagihan pajak.
f.     Cara mengajukan keberatan dan banding.
Sistematika hukum pajak  
1.    Hukum pajak formal memuat ketentuan yang mendukung ketentuan hukum pajak material (UU KUP 16).
2.    Hukum pajak Material memuat:
a.   subjek pajak
b.  wajib pajak
c.   objek pajak
d.    tarif pajak
UU pajak yang memuat hukum pajak Material dan formal adalah:
a.     UUPBB
b.    UU pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD)
c.     UU Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)



















Bab I
PENGERTIAN PAJAK
Pengertian pajak secara umum
Pajak adalah. Pajak adalah iuran wajib yang dibayar oleh rakyat kepada Negara yang digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan Negara yang tidak memperoleh kontraprestrasi langsung dari Negara dan salah satu sumber penghasilan terbesar di Negara kita.
1.    Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat (2) sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan Undang-undang.
2.    Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan.Bangsa mantpu membiayai Pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagj beban pembangunan antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
3.    Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan Undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.
4.    Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan) dan Tarip Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, mematiami serta mematuhinya.
5.    Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai Undang-undang, yaitu:
a. Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
b.  Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
c. Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen dan royalty, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen dan royalty yang bersangkutan.
d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutari oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun (MPS-Akhir).
6. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur:
a.    Semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam Undang-undang ini.
b.    Ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak. Tarif untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
a.    Sederhana,  artinya bagi  Wajib  Pajak mudah untuk menghitung,  bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.
b.    Keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.
c.    Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35% (tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
d.    Mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak.
Pajak adalah biaya yang dibayar oleh individu atau bisnis kepada pemerintah Cara pengumpulan pajak dan bagaimana penggunaan uang pajak tersebut adalah bahan pembicaraan panas dalam politik dan ekonomi. Bidang ekonomi yang mempelajari pajak adalah keuangan umum.

Penerimaan Paiak di Indonesia
Target penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas.
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari:
      Paiak Penefaasilan (PPh) Rp. 198,22 triliun
   Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp. 126,76 triliun
      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp. 15.67 triliun
      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5.06 triliun
      Penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk Rp. 17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam lima tahun teiakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040 triliun.

Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diainandemen oleh :
1.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.
2.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. dan
3.    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004. pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang iatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
1.  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.

Pajak Pertambahan Nilai
Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada saat penjualan barang atau jasa. Dalam bahasa Inggris, pajak ini disebut "value added tax" (VAT) atau "goods and services tax" (GST). PPN termasuk jenis pajak tak langsung, yang artinya bahwa pajak tersebut dipungut dari pihak lain yang bukan penanggung pajak, atau dengan kata lain, dikumpulkan dari penjual dan bukan pembeli.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN; yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu UU No. 11/1994 dan UU No.18/2000.






Bab II
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak atas penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perseorangan maupun badan yang terhutang selama satu tahun pajak.
Pasal 2
Ayat(l)
Pengertian Subyek Pajak mencakup, baik orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi maupun badan.
Huruf  a
1)    Orang pribadi atau perseorangan adalah Subyek Pajak, baik apabila mereka bertempat tinggal di Indonesia maupun apabila mereka bertempat tinggal di luar Indonesia.
Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak pada saat lahir di Indonesia, atau bila seseorang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka ia menjadi Subyek Pajak pada saat pertama kali berada di Indonesia. Jumlah 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tersebut tidaklah harus berturut-turut.
Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi Subyek Pajak di Indonesia apabila mereka dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek Pajak di Indonesia pada saat tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
2) Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti, yaitu menggantikan yang berhak.
Bagi warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak pada saat timbulnya warisan dimaksud (sejak saat meninggalnya pewaris), dan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada mereka yang berhak (ahli waris).
Warisan baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang belum terbagi itu memberikan penghasilan.
Huruf b
Badan-badan seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga merupakan Subyek Pajak pada saat didirikannya badan usaha atau organisasi tersebut, atau pada waktu memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia.
Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak setelah penyelesaian likuidasi, dan bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, tidak lagi menjadi Subyek Pajak Indonesia pada saat terputusnya hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu sejak tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Perlu diperhatikan, bahwa setiap unit tertentu dari badan pemerintah yang melakukan kegiatan usaha secara teratur di bidang sosial ekonomi merupakan Subyek Pajak sebagai badan usaha milik negara.
Sudah barang tentu, badan usaha milik negara akan benar-benar dikenakan pajak, apabila terdapat Obyek Pajak, yaitu mendapatkan penghasilan. Demikian pula halnya dengan badan usaha milik daerah.
Suatu badan di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak di Indonesia, sejak adanya bentuk usaha tetap itu.
Bentuk usaha tetap di Indonesia dari badan atau perusahaan luar negeri digolongkan sebagai Subyek Pajak dalam negeri.
Pada prinsipnya Subyek Pajak dalam negeri akan dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya di manapun diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Penghasilan dari bentuk usaha tetap sebagai Wajib Pajak dalam negeri dirumuskan tersendiri dalam Pasal 5. Yang dapat mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia bukan saja setiap badan, tetapi juga setiap perusahaan termasuk perusahaan perseorangan di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah wujud tertentu atau sesuatu yang kurang lebih mempunyai sifat tetap, yang dijadikan pusat kegiatan sebagian atau seluruh usaha di Indonesia dari suatu badan atau perusahaan yang didirikan, bertempat kedudukan atau berada di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan menjalankan usaha secara teratur ialah melakukan kegiatan usaha yang menunjukkan adanya maksud untuk dilakukan terus-menerus. Misalnya dalam hal pemberian jasa-jasa (furnishing of services), yang di dalamnya termasuk pemberian jasa konsultasi, (consultancy services), apabila diberikan satu kali oleh seorang asing yang datang di Indonesia sebagai turis, karena kebetulan diminta oleh seorang temannya di Indonesia, maka pemberian jasa semacam itu belum termasuk kegiatan usaha yang dilakukan secara teratur, dan oleh karena itu belum dapat dianggap adanya bentuk usaha tetap di Indonesia.
Namun apabila tuns tersebut datang lagi ke Indonesia untuk memberikan jasa konsultasi atas nama suatu perusahaan luar negeri karena misalnya direkomendasikan oleh temannya tersebut di atas, kepada suatu perusahaan di Indonesia, maka telah terdapat suatu petunjuk tentang adanya maksud untuk memberikan jasa konsultasi di Indonesia secara terus-menerus dan oleh karena itu dalam hal ini telah terdapat bentuk usaha tetap di Indonesia.
Perusahaan asuransi luar negeri mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila perusahaan tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia, melalui karyawannya atau perwakilan lain, yang bukan merupakan agen yang mempunyai kedudukan bebas (independent).
Sebuah perusahaan luar negeri tidak dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila dalam melakukan kegiatannya di Indonesia, dipergunakan perantara atau broker atau agen lain yang sifatnya bebas, asalkan perantara atau agen tersebut bertindak dalam rangka perusahaannya sendiri.
Oleh karena itu, bila agen tersebut bertindak sepenuhnya atau hampir sepenuhnya atas nama perusahaan luar negeri itu, maka perantara atau agen tersebut tidak memenuhi syarat sebagai agen yang mempunyai kedudukan yang bebas, dengan perkataan lain, perantara atau agen tersebut merupakan bentuk usaha tetap dari perusahaan luar negeri tersebut. Ayat (4) Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Subyek Pajak yang benar-benar memperoleh penghasilan  dan  oleh karena itu berkewajiban untuk membayar pajak, disebut dalam undang-undang ini sebagai Wajib Pajak.
Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah seseorang atau suatu badan yang telah memenuhi syarat-syarat kewajiban subyektif dan obyektif.
Perbedaan yang penting dari kewajiban Wajib Pajak dalam negeri dibandingkan dengan kewajiban Wajib Pajak luar negeri adalah bahwa Wajib Pajak dalam negeri, setelah tahun pajak berakhir, berkewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak melaporkan tentang semua penghasilan yang diterima atau diperoleh, penghitungan penghasilan kena pajak, dan pajak yang terhutang. Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak juga melaporkan tentang semua pelunasan atas pajak yang terhutang. Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan itu telah diisi dengan benar dan pajak yang terhutang telah dilunasi sebagaimana mestinya, maka kepada Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak hanya perlu dikeluarkan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar dan/atau tidak lengkap, sehingga pajak yang kurang dibayar perlu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak, ditambah dengan sanksi administrasi yang berkenaan. Sedangkan atas Wajib Pajak luar negeri tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

PPRT; kebijakan Privatisasi. Stabilkan Makro Ekonomi
Koordinator Presidium Pemantau Reformasi Total (PPRT) sekaligus pengamat BUMN, Mumtaz Malik menilai, program privatisasi yang dilakukan oleh Kantor Kementrian BUMN berdampak positif pada proses transparansi pengelolaan kekayaan negara. Karena itu, pemerintahan baru nanti harus meneruskannya. Di negara-negara maju, dana penyelenggaraannya didapat dari penerimaan pajak. Kini di Indonesia, penerimaan pajak telah menjadi tulang punggung anggaran negara. Dan penerimaan pajak dari BUMN kini memberikan kontribusi yang relatif besar akibat adanya privatisasi BUMN.
Ia menambahkan, selama ini banyak pihak termasuk dirinya yang telah melihat sisi gelap program privatisasi BUMN. Namun setelah mengkaji data dan fakta secara lebih mendalam, ia memahami bahwa cara-cara Menneg BUMN " dapat dipertanggungjawabkan secara proporsional dan profesional.
Buktinya, pada tahun 2003, negara menerima kontribusi dari program tersebut berupa penerimaan pajak dengan nilai Rp 50 triliun. Nilai sebesar itu tidak pernah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru selama tiga dekade. Paling besar selama lebih dari 30 tahun, pemerintahah Orba hanya dapat menyetor ke kas negara sekitar Rp 14 triliun. Itu terjadi pada 1999. Sebelum itu tidak pernah terjadi, kata Mumtaz.
Ia menambahkan, secara nasional penerimaan negara dari pajak pada tiga tahun terakhir pemerintahan pasca reformasi mencapai Rp 751 triliun. Angka tersebut dicapai oleh pemerintahan  Orba selama 30 tahun.
"Kita bisa membayangkan sesungguhnya berapa nilai kekayaan negara yang dimanipulasi dan tidak dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Apalagi pengelolaan negara pada masa orde baru seolah-olah negara ini hanya milik segelintir penguasa," ujar dia.
Program privatisasi juga dapat menjadi benteng untuk mencegah terjadinya KKN. Karena pengelolaan BUMN akan dilakukan oleh publik secara transparan sehingga BUMN tak dapat lagi menjadi kepanjangan tangan para avonturir (petualang) politik dan lumbung dana bagi penguasa politik.
Sejarah telah membuktikan hal itu. Khususnya dalam hal penerimaan pajak dan akuntabilitas        publik  t     yang        tidak        bisa        dipertanggung jawabkan.
Mumtaz memang tidak menepis adanya kritik-kritik tajam atas kebijakan privatisasi yang diambil Menneg BUMN Laksamana Sukardi. Namun ia mengllimbau agar kritik tersebut tidak hanya dilandasi pada kepentingan kelompok tertentu untuk mendiskreditkan kinerja baik pemerintahan pasca reformasi.
Menurut Mumtaz, kritik-kritik tajam atas privatisasi BUMN banyak yang berasal dari para pembuat kebijakan pengelolaan BUMN masa lalu yang telah menikmati manisnya uang rakyat tanpa pertanggungjawaban.
"Jadi, saya melihat sesungguhnya program privatisasi ini justra bisa menjadi implementasi dari Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 33 ayat 3 UUD 45 . Bahwa Kedaulatan negara berada di tangan rakyat dan kekayaan negara dipergunakan sebesar-besamya untuk kepentingan rakyat. Tetapi saya tetap mengingatkan Menteri BUMN agar proses implementasi itu jangan sampai melenceng dari roh pemberdayaan rakyat. Karena kalau kemudian melenceng, maka hal itu akan menjadi bumerang bagi pemerintahan pasca reformasi," tambahnya.
Harus Diteruskan Mumtaz juga menghimbau kepada pemerintahan yang akan terbentuk pasca Pemilu 2004 agar meneruskan program privatisasi yang selaras dengan implementasi Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 33 ayat 3 UUD 45.
"Siapa pun presidennya dan siapa pun yang mendapat mandat rakyat harus meneruskan program pengelolaan kekayaan negara, baik itu yang dikelola BUMN maupun yang dikelola lembaga negara lainnya seperti BUMD, agar publik dan rakyat dilibatkan sebagai stake holder. Sehingga konrrol publik atas kekayaan yang mereka miliki selalu berfungsi. Itu sama dengan menegakkan dan mengukuhkan terselenggaranya pemerintahan yang menjujung asas good corporate governance," katanya.
la juga mengingatkan agar pemerintahan mendatang belajar dari sejarah. Jangan sampai mengulangi kesalahan masa lalu yang telah diperbuat rezim-rezim sebelumnya, sehingga pengelolaan BUMN tertutup dan menjadikannya sebagai sapi perahan para penguasa. Tennasuk para petualang politik.
"Jangan lagi terulang kasus Pertamina dengan UU No 8 tahun 1971 yang jelas-jelas mengabaikan konstitusi Pasal 33 ayat 3, sehingga Pertamina tidak menjadi milik rakyat tetapi milik pemerintah dengan adanya kendali dari Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP).
Pajak dan Bisnis Teknologi Informasi
Saat ini sedang ramai-ramainya orang membicarakan tentang RUU Pajak. Banyak yang menentang terutama kalangan bisnis, tapi ada juga yang setuju.
Sebenarnya tujuan pajak itu sendiri baik, agar uang pajak yang masuk ke negara dapat dikelola untuk menjalankan dan memajukan ekonomi negara, yang akhirnya tercipta pemerataan kesejahteraan rakyatnya. Tetapi dalam prakteknya kita semua tahu, hanya segelintir orang saja yang menikmati.
Lalu bagaimana dengan bisnis teknologi informasi di Indonesia?
Kita boleh iri dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, India dan Cina, dimana pemerintahannya benar-benar mendukung terhadap industri (khususnya TI) yang bisa menghasilkan devisa dan menciptakan lapangan kerja. Pemerintah di negara-negara tersebut memberikan insentif pajak besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan TI yang mau berkembang.
Di Indonesia? Banyak kita dengar perusahaan-perusahaan TI yang baru tumbuh, karena kurang pahamnya terhadap aturan pajak malah dijadikan ajang pemerasan oleh oknum pajak.
boleh dikata semua undang2 di negeri tercinta ini menjadikan beban buat kita2 termasuk tentang pajak dilain pihak peraahkah terpikir/ dirancang sesuatu yang rnerupakan imbal balik langsung kepada wajib pajak ("terutama pekerja perorangan") katakanlah kalo diluaran sana "reward" misal per tahun yang merupan deviden dari pengelolaan pajak barang kali gitu. Contoh lain jamsostek kalo diluaran social security, mestinya dari sini kita dapet perlindungan jika pada saatnya jadi pengangguran misal di berikan informasi/ tawarkan tempat/ peluang kerja dll.
Komentar pakar politik
Saat ini bisnis komputer tanpa diganggu pajak saja sudah susah, apalagi ditambah masalah pajak.. wah memang enak jadi koruptor kalau tidak tertangkap
Menurut saya hampir semua orang kalau ditanya pasti tidak rela membayar pajak. Apalagi di Indonesia, kita semua tahu hanya berapa prosen uang pajak yang masuk ke kas negara. Bukti untuk itu sangat kasat mata, kita lihat disekeliling kita, mana ada pajabat pajak yang hidupnya tidak berlebih, mulai dari tingkat paling rendah apalagi yang pegang posisi.
Jadi percuma dibuat undang-undang yang bagus, kalau hanya dimanfaatkan oleh oknum pajak untuk memperkaya diri sendiri. Saya masih skeptis.
Perekonomian suatu negara tanpa ditunjang penghasilan pajak adalah mustahil. Pajak biasanya terbesar diperoleh dari dunia bisnis/industri, di Indonesia undang-undang perpajakan yang spesifik mendukung dunia bisnis/industri belum bagus, apalagi perundangan pajak khusus untuk bisnis TL, sudah begitu tingkah laku aparat pajak di lapangan bukannya membangun dunia usaha, tetapi malah menghancurkan..sampai kapan kondisi seperti ini?
Apa yang harus kita pahami dari ketentuan baru di atas, adalah kecenderungan dan pergeseran dalam persepsi otoritas pajak terhadap sistem pajak, terhadap otoritas pajak dan sekaligus terhadap pembayar pajaknya. Otoritas pajak kita kini tengah mencoba memahami bahwa sistem pajak yang baik dan ideal adalah sistem pajak yang terbangun oleh hubungan sinergi antara dirinya sebagai otoritas dan pembayar pajak sebagai mitra dalam menggalang dana untuk pembangunan kesejahteraan bangsa.
Dalam suatu sistem perpajakan yang bisa dikatakan andal, adil dan mandiri, setiap hubungan antara ketiga pihak di dalamnya - yaitu sistem pajak dan aturan perpajakan sendiri, otoritas pajak dan pembayar pajak, haruslah merupakan hubungan yang saling membangun dan saling mempengaruhi secara positif.
Jika kita cermati ketiga aktivitas pendukung pemeriksaan di atas, maka di sana kita bisa melihat bahwa tujuan akhir'dari setiap aktivitas itu adalah terbangunnya ketaatan sukarela dari golongan pembayar pajak. Ketaatan inilah yang dianggap sebagai bentuk hubungan positif di antara ketiga pihak yang hidup di bawah sistem pajak. Inilah bentuk hubungan yang dianggap bisa membantu tercapainya tujuan keberadaan sistem pajak, yaitu kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia.
Maka dalam menyikapi dan mempersepsi kecenderungan serta pergeseran paradigma otoritas pajak di atas, setiap pihak yang terlibat di dalam sistem perpajakan harus bisa memegang beberapa prinsip yang bisa menjamin tercapainya peningkatan dalam ketaatan sukarela.
Pertama, otoritas pajak harus bisa memposisikan diri sebagai unsur pencari "nafkah" buat negara, dan pada saat yang sama juga harus memposisikan diri sebagai aparat negara, dari sebuah negara yang bercita-cita mensejahterakan rakyatnya.
Kedua, jika otoritas pajak'memang berkeinginan besar untuk menjadikan masyarakat pembayar pajak sebagai mitranya, maka pada saat yang sama berbagai perilaku dan kebijakan yang diambihiya haruslah juga mencerminkan "fenomena" kemitraan itu.
Ketiga, masyarakat pembayar pajak sendiri yang akan dimitrakan oleh otoritasnya, harus mencoba untuk membuka diri dan tangannya tanpa penuh prasangka. Mereka harus mencoba untuk menjadi mitra yang aktif dalam menciptakan sistem pajak yang lebih baik dengan berbagai masukan, diskusi dan kritik yang membangun.
Ketiga prinsip di atas harus dipegang setiap pihak dengan porsi yang sama dan seimbang. Jika tidak, maka unsur represif dari pemeriksaan pajak justru akan makin menguat dan makin melemahkan ketaatan sukarela yang menjadi cita-cita.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uarian-uraian pada bagian terdahulu dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.    Hidup dimasa sekarang harus berani dan tegas, dimana kita mempunyai peran yang sangat penting di dalam negara kita. Dalam kehidupan kita harus adil, makmur, dan sejahtera. Dimana kita bisa saling memberikan kesempatan berpendapat didalam bemusyawarah asalkan dengan diberikan kebebasan masyarakat juga harus bertanggung jawab.
2.    Dengan kita ikut serta memberikan pendapat secara langsung masyarakat akan mengerti yang terjadi dinegaranya. Jadi masyarakat harus menjujung tinggi nilai-nilai moral persatuan, solidaritas, asas kekeluargaan, dan gotong royong. Dengan keikut sertaan masyarakat dalam memajukan bangsa. Maka negara kita akan baik.

Saran-saran
Dalam makalah ini penulis menyadari banyak kesalahan dan kekurangan sehingga membuat makalah ini kurang sempurna, maka penulis meminta saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.







DAFTAR PUSTAKA

Susanto. 1981. Mengenal Filsafah Sejarah .Yogayakarta: Hanindita. Topan.
 Sutrisno PH.2000. Keuangan Negara, BPFE- UGM, Yogyakarta.
 Notonagoro. 2000. Pancasila: Analisa Konsepsional Aplikatif. Jakarta : Senar Grafika
Undang-Undang Perpajakan RI No 10 tahun 1994.
Undang-Undang Perpajakan RI No 17 tahun 2000. 





















PAJAK SEBAGAI SUMBER UTAMA
PENERIMAAN NEGARA
(Materi Diskusi)




Oleh: Muh Abdul Halim, SE





PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
JAKARTA
Januari 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar