DESENTRALISASI
FISKAL DAN MANAJEMEN EKONOMI
MAKRO
(Materi
Diskusi)
Oleh
: Muh. Abdul Halim, SE
PERGURUAN
TINGGI MUHAMMADIYAH
SEKOLAH
TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
JAKARTA
JUNI
2007
|
BAB
I
Pendahuluan
Pelaksanaan
desentralisasi fiskal yang dimulai pada tahun 2001 merupakan tantangan baru
dalam manajemen ekonomi makro Indonesia.
Beberapa negara, seperti India,Brasil, Rusia, dan Cina, pernah menghadapi
masalah stabilitas ekonomi makro yangpelik dan berkepanjangan akibat kurang
tepat mengelola pelaksanaan desentralisasi fiskal. Salah satu akar permasalahan
ini adalah perbedaan orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.1 Pemerintah daerah lebih menghadapi masalah
keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan
ekonomi (economic constraints) yang menjadi perhatian pemerintah pusat.
Selain itu pemerintah daerah (Pemda) lebih menaruh perhatian pada masalah
alokasi dari pada stabilisasi, yang dianggap sebagai beban pemerintah pusat.
Kekhawatiran
Indonesia akan mengalami masalah ekonomi makro akibat pelaksanaan
desentralisasi fiskal disampaikan IMF dalam proses penyusunan Letter of
Intent pada akhir tahun 2000.2 Timbulnya kekhawatiran tersebut
bisa jadi tidak terlepas dari hasil diskusi yang berlangsung pada Konperensi
Desentralisasi Fiskal yang diadakan IMF pada akhir November 2000. Salah satu
makalah mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia3 yang disajikan
dalam konperensi tersebut menyatakan bahwa dorongan pelaksanaan desentralisasi
di Indonesia
lebih karena keinginan masyarakat unruk mendapatkan otonomi atas sumber daya
alam, politik, dan hukum di wilayahnya masing-masing. Dorongan ini berbeda
dengan di banyak negara, khususnya negara maju, yaitu desentralisasi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat memperoleh pelayanan umum yang lebih baik dari
pemerintah.
Dalam
rangka mengantisipasi kekhawatiran IMF tersebut, pada bagian awal tulisan ini
disampaikan deskripsi pengaruh desentralisasi fiskal terhadap manajemen ekonomi
makro dan pengalaman pelaksanaan desentralisasi di Spanyol yang merupakan
kompilasi gagasan beberapa tulisan ekonom IMF. Pada bagian selanjutnya akan
diulas beberapa titik kemungkinan terjadinya gangguan ekonomi makro dalam
pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Di bagian akhir tulisan
disampaikan beberapa gagasan guna mengupayakan pelaksanaan desentralisasi
fiskal yang kondusif dengan langkah-langkah manajemen ekonomi makro.
BAB
II
Pengaruh
Desentralisasi Fiskal Terhadap Manajemen Ekonomi
Makro
4
Secara
umum perubahan kewenangan pengeluaran maupun penerimaan anggaran, sebagai
akibat dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuan
pemerintah pusat melakukan kebijakan ekonomi makro melalui anggaran negara. Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat pada
sejumlah pajak atau pengendalian atas sejumlah anggaran belanja akan banyak
mengurangi ruang geraknya, seperti menaikkan pajak atau mengurangi belanja guna
mengatasi melonjaknya permintaan dalam negeri. Kasus ini menjadi penring
apabila kewenangan pemerintah pusat atas anggaran belanja hanya terbatas pada
anggaran yang jumlahnya sudah pasti, seperti pembayaran bunga hutang dalam
negeri dan pembayaran yang bersifat rutin lainnya.
Jika
demikian halnya maka desentralisasi keuangan akan menyebabkan operasi keuangan
oleh pemerintah daerah akan memiliki efek ekonomi makro yang penting.
Selanjutnya jika tidak diikuti dengan koordinasi maka dapat terjadi efek yang
berlawanan dengan upaya pemerintah pusat menjaga stabilisasi. Anggaran belanja
Pemda yang meningkat dapat mendorong permintaan domestik, dan mempengaruhi
keseimbangan anggaran bila efek multiplier dari pengeluaran daerah jauh
melebihi multiplier rata-rata pendapatannya. Sebagai contoh bila
anggaran belanja Pemda terbatas jumlahnya karena sempitnya kewenangan yang
dimilikinya untuk mengenakan pajak dan memperoleh pinjaman, maka perubahan
komposisi belanja yang lebih banyak kepada pekerjaan umum dan subsidi akan
mendorong permintaan total naik meskipun pemerintah pusat mencoba menahannya.
Stabilitas
ekonomi makro tidak hanya terpengaruh oleh tingkat desentralisasi namun juga
tahapan pelaksanaan desentralisasi. Pola tahapan desentralisasi pada umumnya
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dan kelembagaan daripada ekonomi.
Pada banyak negara, desentralisasi kewenangan pengeluaran lebih dulu
dilaksanakan untuk mengakomodasi tekanan politik dan perlunya efisiensi. Pada
beberapa negara yang sedang melakukan transisi ke perekonomian pasar (seperti negara-negara
Eropa Timur) dan sedang mengalami kesulitan keuangan, pemerintah pusat umumnya
mudah melimpahkan kewenangan pengeluaran tanpa kewenangan pendapatan yang
mencukupi. Sebaliknya pada beberapa negara Amerika Latin, pengalihan anggaran
pendapatan pemerintah pusat ke Pemda dilaksanakan
seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sebelum kewenangan
pengeluaran Pemda dirumuskan dengan jelas.
Pola-pola
tersebut tidak mendorong terjadinya disiplin anggaran. Ketidakseimbangan vertikal yang condong pada
pemerintah pusat cenderung meningkatkan transfer pusat ke daerah, atau
menutup defisit dan akumulasi hutangbeberapa waktu kemudian. Namun bila
ketidakseimbangan itu condong pada Pemda, maka cenderung mendorong pengeluaran
yang berlebihan untuk fungsi yang menjadi bebannya, seperti kenaikan gaji yang
berlebihan. Hal ini akan menyulitkan Pemda mengatur kembali anggaranriya jika
kemudian diberikan tambahan fungsi.
Jadi,
sebaiknya disiplin fiskal pada semua tingkat pemerintahan diupayakan dengan
menyamakan pendapatan dengan tanggung jawab pengeluaran terlebih dahulu.
Keseimbangan vertikal ini tentunya perlu diikuti dengan rancangan mekanisme
dana. perimbangan untuk mengatasi ketidak seimbangan horisontal yang menjadi
masalah umum di negara berkembang. Disain hubungan fiskal antar tingkat
pemerintahan hendaknya memperhitungkan kenyataan bahwa peningkatan
desentralisasi kewenangan pengeluaran, baik karena pertimbangan efisiensi
maupun politik, cenderung lebih cepat daripada, tingkat devolusi5
kewenangan pendapatan yang konsisten dengan pembebanan pajak yang optimal.
Pada
umumnya atas dasar pertimbangan efisiensi dan administrasi, beberapa pajak
besar tetap dikuasai pemerintah pusat, seperti PPh perusahaan, PPN, dan bea
masuk dan impor. Sedangkan PPh perseorangan dan pajak tertentu, dapat dibagi
antara pemerintah pusat dan Pemda. Bagi Pemda sudah semestinya diberikan pajak
bumi dan bangunan. Namun demikian prinsip pembebanan pendapatan semacam ini
tidak akan mengarah pada keseimbangan vertikal. Untuk itu diperlukan disain transfer
antar tingkat pemerintahan yang mengarah pula pada keseimbangan vertikal. Sistem transfer yang stabil dan transparan
diperlukan untuk mencapai keseimbangan ini. Penyusunan sistem transfer bukanlah
hal yang mudah karena harus memberikan insentif untuk pengumpulan pajak di satu
sisi dan mendorong pembiayaan yang efektif di sisi lain.
Mekanisme
tranfer dan bagi hasil yang didasarkan pada formula memang dapat menjadi
kendala bagi pemerintah pusat melakukan manajemen ekonomi makro yang aktif.
Upaya meningkatkan tarif pajak dan memperbaiki administrasi pengumpulan pajak
yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit anggaran atau mengerem permintaan agregat yang berlebihan, secara
otomatis akan meningkatkan bagian pendapatan Pemda. Hal ini dapat dihindari
apabila ada mekanisme yang memungkinkan tambahan penerimaan pajak tersebut
disimpan, misalnya dengan menetapkan tarif pajak yang tetap untuk bagi-hasil
pajak kepada Pemda. Ada
beberapa kemungkinan desentralisasi keuangan mencetuskan problem fiskal yang
bersifat struktural, antara lain penugasan pengumpulan pajak-pajak besar pada
Pemda, bagi hasil dari pajak-pajak besar, dan pembayaran hutang Pemda.
Penjelasan tentang keriga masalah tersebut sebagai berikut: 6
1.
Penugasan
Pengumpulan Pajak Berbasis Luas
Pada
sejumlah negara, seperti Brasil, India, dan Rusia, pengumpulan pajak-pajak
berbasis luas ditugaskan pada Pemda untuk selanjutnya digunakan sendiri. Di
Brasil, pengumpulan PPN dilakukan oleh negara bagian. Sementara di India pajak
penjualan dipungut oleh negara bagian. Pemerintah daerah di Rusia mengumpulkan pajak
penghasilan perorangan dan beberapa cukai.
Bila
basis pajak yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah luas dan dinamis,
sedangkan tanggung jawab pengeluaran pemerintah pusat tidak mudah ditekan
(seperti pembayaran hutang, pembayaran gaji dan pensiun, dan pengadaan
infrastruktur nasional), maka kesulitan ekonomi makro sering tidak
terhindarkan. Brasil, India, dan Rusia telah mengalami
kesulitan ekonomi makro karena penyerahan wewenang pajak yang tidak tepat
kepada Pemda. Hal yang sama mungkin terjadi di Cina. Pemerintah pusat, di
Brasil dan India,
tidak dapat meningkatkan penerimaan pajak karena tidak lagi mengendalikan basis
pajak yang penting. Pada situasi semacam ini, pemerintah pusat dipaksa bertumpu
pada basis pajak yang kurang efisien dan kurang produktif.
2.
Bagi
Hasil Basis Pajak
Di
samping beberapa basis pajak yang sepenuhnya diserahkan kepada Pemda, ada juga
basis pajak yang dibagi-hasilkan. Bentuk bagi hasil ini paling tidak ada dua
macam. Tingkat pemerintahan yang berbeda dengan basis pajak yang sama, atau
suatu tingkat pemerintahan mengumpulkan pajak dari basis tertentu dan berbagi
pendapatannya dengan tingkat pemerintahan yang lain.
Contoh
yang pertama berlaku pada pajak penghasilan perorangan di Amerika Serikat.
Pajak ini dipungut oleh pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.
Pemerintahan kota
memungut sekian persen di atas tingkat pajak penghasilan negara bagian (piggy-back
tax system).
Bila
dua tingkat pemerintahan memungut pajak dengan basis yang sama, masing-masing
cenderung mempertahankan kebebasannya bertindak meskipun dengan meningkatkan
ketergantungannya pada basis pajak tersebut sehingga membatasi tingkat
pemerintahan yang lain mengenakan pajak pada basis tersebut. Pada tingkat
Pemda, terbentuknya batas tarif pajak efektif pada basis pajak tertentu akan
didorong oleh persaingan pajak dan mobilitas basis pajak. Tipe bagi-hasil pajak
yang kedua lebih umum dikenal. Beberapa
negara seperti Argentina,
Brasil, Kolombia, Pakistan, dan Rusia menggunakan
jenis ini.
Pemerintah
pusat di Argentina
mengumpulkan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, cukai, pajak
perdagangan luar negeri, dan pajak bahan bakar minyak, pajak aset perorangan,
dan pajak penghasilan perusahaan. Sebagian dari pajak ini, seperti pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, cukai, dan pajak aset dikenakan perlakuan
bagi hasil dengan Pemda. Pada tahun 1993, pendapatan pemerintah pusat sebelum
dibagikan mencapai 81 persen dari penerimaan pajak. Sesudah pembagian-hasil
pendapatan dan transfer menjadi maka pendapatan pemerintah pusat
berkurang menjadi 54 persen.
Pengalaman
Argentina
mengajarkan potensi problem yang timbul dengan jenis bagi-hasil ini. Ketika ada
kebutuhan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ekonomi makro, pemerintah pusat Argentina
melakukan pembaruan pajak-pajak besar dan reformasi administrasi. Kebijakan ini
telah meningkatkan dengan tajam proporsi pajak terhadap PDB. Namun demikian
peningkatan penerimaan pajak tidak mengurangi defisit anggaran karena haras
dibagi dengan Pemda, yang segera menggunakan tambahan pendapatan ini. Kebijakan
Pemda ini didasari pandangan bahwa stabilitas ekonomi merupakan barang publik
tingkat nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu
pemerintah pusat Argentina
telah mencoba mengurangi pengeluarannya melalui privatisasi, pengurangan
pegawai, dan cara-cara lain. Namun pada waktu yang sama, sebagian karena
peningkatan pendapatan, pemerintah daerah meningkatkan jumlah pegawai dan
pengeluaran lainnya.
Pada
akhirnya sangat marjinal manfaat yang diperoleh dari upaya pemerintah tersebut.
Rumusan bagi hasil pajak di Argentina
telah menimbulkan dua dampak negatif yaitu memaksa pemerintah pusatnya bekerja
keras untuk mengurangi defisit fiskal dan mengurangi efisiensi belanja negara.
Rumusan bagi-hasil pajak meskipun hanya terbatas pada pajak tertentu juga
mempunyai implikasi efisiensi yang penting pada sisi penerimaan. Pemerintah
pusat yang merasa perlu untuk meningkatkan penerimaan pajaknya tapi juga harus
membagi penerimaan tersebut dengan Pemda akan terdorong untuk lebih fokus pada
pajak yang seluruhnya untuk pemerintah pusat. Hal ini akan mendistorsi struktur
pajak, dan menyebabkan bobot pajak yang tidak dibagi menjadi lebih besar
meskipun mungkin kurang efisien. Ada
sisi lain dari masalah ini.
Pemerintah
pusat dalam situasi tersebut di atas akan cenderung memberikan pengecualian
pembayaran pajak pada jenis pajak yang memberikan penerimaan kecil. Hal ini
terjadi di Pakistan
yang menyangkut pajak penjualan. Pemerintah pusat memiliki wewenang penuh atas
jenis pajak ini, tapi harus mengalihkan 80 persen penerimaan pajak tersebut
kepada pemerintah daerah. Hal yang sebaliknya mungkin saja terjadi bagi daerah
yang harus menyerahkan sebagian besar penerimaan pajaknya kepada pemerintah
pusat. Masalah ini terjadi di Cina dan beberapa provinsi di Argentina. Pada
kasus ini hilangnya pendapatan sebagai masalah stabilisasi bergabung dengan
masalah efisiensi. Problem yang rimbul pada kasus ini akan kurang sen us
apabila bagi-hasil pajak ditetapkan pada seluruh penerimaan pajak daripada satu
atau dua jenis pajak.
3.
Pinjaman Pemda
Ada
banyak pengalaman berbagai negara dalam masalah pinjaman daerah. Sebagai contoh
adalah Argentina.
Semua tingkat pemerintahan disana dapat melakukan pmjaman dalam negeri maupun
luar negeri. Pada tahun 1994, pemerintah provinsi di Argentina membiayai defisitnya
dengan pinjaman luar negeri sekitar 0,7 persen PDB. Selain itu di di Brasil,
dengan diijinkannya Pemda dapat melakukan pinjaman, maka sebagai akibatnya Sao
Paulo dilaporkan mempunyai hutang sekitar USD 40 miliar.7 Beberapa
Pemda di beberapa negara seperti Pakistan, Meksiko, dan Italia dilaporkan
mengalami problem keuangan akibat pinjaman yang membengkak. Ada beberapa alasan timbulnya masalah yang
rumit tersebut. Pada beberapa kasus, masalah ini terjadi karena tidak serasinya
antara pembebanan pendapatan dengan pembebanan pengeluaran. Beberapa penyebab
lain yang potensial:
1.
Tidak adanya sistem manajemen anggaran
belanja yang baik pada tingkat daerah guna memantau dan mencatat kewajiban dan
komitmen hutang.
2.
Kurangnya insentif bagi Pemda untuk tidak
meminjam. Pinjaman sering memberikan manfaat segera bagi yang sedang berkuasa
sementara biayanya dibayar oleh rejim berikutnya.
3.
Adapula asumsi bahwa pemerintah pusat
akhirnya yang akan membayar hutang. Sepanjang pinjaman tersebut kepada
pemerintah dan Pemda tetap yakin pemerintah pusat akan turut campur, maka
pelaksanaan anggaran akan longgar dan pinjaman akan berlebihan.
4.
Kelemahan sistem anggaran Pemda dalam
mempersiapkan proyeksi pendapatan dan pengeluaran.
5.
Adanya berbagai peluang untuk mendapatkan
pinjaman. Pinjaman dapat berasal dari pemerintah pusat, bank sentral, bank
nasional maupun bank asing, bank daerah, lembaga pembiayaan, pasar modal, dana
pensiun, dan lainnya. Sepanjang kemungkinan pinjaman ada dan keyakinan bahwa
pemerintah pusat akan menghormati kewajiban hutang pemerintah daerah, serta ada
pula insentif bagi Pemda untuk belanja lebih besar, maka desentralisasi tetap
dapat mengakibatkan instabilitas.
BAB
III
Pelajaran
dari Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Spanyol8
Desentralisasi
di Spanyol didasarkan pada alasan politis yang berakar pada pengalaman sejarah.
Spanyol terdiri dari wilayah-wilayah yang heterogen, baik dari segi budaya,
bahasa, dan sejarahnya. Sepeninggal Jenderal Franco yang memerintah Spanyol
secara otokratis selama 36 tahun (1939 - 1975), transisi kepada kehidupan
demokratis yang damai hanya dapat dicapai dengan memberikan kewenangan politik
pada beberapa wilayah.
Atas
dasar pertimbangan politik, maka dirancang proses desentralisasi yang bersifat
asimetris. Ada
dua asimetris yang menjadi ciri evolusi desentralisasi di Spanyol. Pertama
adanya keragaman kewenangan fiscal antar daerah. Ada dua wilayah yang diijinkan tetap
menjalankan perangkat fiskal setempat. Kedua wilayah ini dapat mengumpulkan
pajak, dan mengeluarkan beberapa peraturan tertentu serta wajib memberikan
kontribusi kepada pemerintah pusat untuk biaya kegiatan pertahanan dan hubungan
luar negeri. Wilayah-wilayah lain mendapatkan dana transfer dari pemerintah
pusat dan kewenangan yang terbatas dalam pengumpulan pajak. Asimetri yang kedua
pada sisi pengeluaran, yaitu diadakannya pembedaan pemberian otonomi penuh (selfgovernment)
kepada suatu wilayah. Ada
wilayah yang segera memperoleh otonomi penuh, khususnya di bidang pendidikan
dan kesehatan, karena faktor historis disebut fast broad track (FBT).
Sementara ada pula wilayah yang harus menunggu lima tahun untuk mencapai otonomi penuh
disebut slow narrow track (SNT).
Proses
desentralisasi di Spanyol dilaksanakan secara tergesa-gesa karena tuntutan
politik dari beberapa wilayah yang memiliki kekhasan sejarah nasional. Ada tiga wilayah yang
pada tahun 1977 diprioritaskan untuk pelaksanaan desentralisasi administrasi.
Pembedaan ketiga wilayah ini tidak menimbulkan masalah politik antarwilayah
karena proses desentralisasi selanjutnya dilaksanakan secara bertahap, luwes,
sukarela, dan umum. Status otonomi penuh (self-government) dapat dicapai
oleh setiap wilayah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.
Hal
menarik yang dapat dipelajari dari desentralisasi fiskal di Spanyol adalah
meletakkan penyelesaian problem kewenangan pengeluaran lebih dahulu daripada problem kewenangan pendapatan. Desentralisasi
pengeluaran dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
1.
pengalihan kewenangan perumusan kebijakan
dan fungsi pelaksanaan kepada tiap tingkat pemerintahan;
2.
pengalihan kewenangan unit administrasi,
tennasuk pegawai dan aset sesuai dengan pembagian wewenang yang baru; dan
3.
perhitungan sumber daya keuangan daerah
sebagai dasar penetapan kewenangan pendapatan.
Kejelasan dan konsensus
tentang pelaksanaan ketiga tahapan ini penting untuk menghindari tumpang-tindih
kebijakan antar tingkat pemerintahan dan konflik antar wilayah, serta
tercapainya transparansi dan akuntabilitas.
Pelajaran lain yang menarik adalah pada upaya koordinasi ekonomi
makro dan pinjaman daerah. Koordinasi kebijakan fiskal diperlukan untuk menjaga
disiplin fiskal pada tingkat nasional dan menetralkan efek negatif dari
gangguan eksternal. Pada waktu dimulainya desentralisasi fiskal, pemerintah
Spanyol sedang berupaya mengurangi defisit anggaran hingga ketingkat yang aman
dalam jangka panjang. Untuk itu dibentuk suatu dewan yang bertugas
mengkoordinasikan kebijakan pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Di
samping dalam rangka menciptakan disiplin fiskal, pengendalian pinjaman Pemda
dilaksanakan untuk menjaga tingkat solvency suatu wilayah guna mencegah
perlunya bantuan keuangan dari wilayah lain. Selain itu dengan adanya
pengendalian pinjaman memungkinkan Pemda memiliki acuan merencanakan kombinasi
besarnya pendapatan dan pinjaman yang diperlukan. Penentuan besarnya pinjaman
pemerintah daerah oleh pemerintah pusat dihitung atas dasar upaya menciptakan
keseimbangan beban antar generasi.
Untuk
mencapai sasaran tersebut, maka disusun aturan pinjaman daerah antara lain
sebagai berikut:
1.
Pemda dapat melakukan pinjaman jangka
pendek hanya untuk tujuan pengelolaan kas.
2.
Pinjaman jangka panjang hanya dapat
digunakan untuk pembiayaan investasi.
3.
Jumlah pembayaran hutang tidak boleh
melebihi 25 persen dari pendapatan tahun anggaran berjalan.
Sebagai
hasil koordinasi pinjaman Pemda, maka defisit Pemda sebagai persentase PDB
turun dari 1,1 persen tahun 1993 menjadi 0,2 persen tahun 1999.
BAB
IV
Beberapa
Masalah Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Sebagai
negara yang baru memulai pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka pengalaman
negara lain merupakan informasi berharga yang perlu kita simak. Mengacu
deskripsi pengalaman beberapa negara seperti yang diuraikan di atas, berikut
ini disampaikan uraian beberapa masalah pelaksanaan desentralisasi fiskal yang
mungkin timbul di Indonesia.
Informasi yang digunakan dalam uraian ini terbatas hingga triwulan pertama
tahun 2001, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal.9
Pada
awal pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, Pemda belum diberikan
kewenangan untuk mengumpulkan pajak yang berbasis luas. Pengumpulan pajak PPh,
PPN, PBB, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, serta Cukai masih merupakan wewenang pemerintah
pusat. Pemda kabupaten/kota, berdasarkan UU Nomor 34 tahun 2000, dapat
mengadakan pajak baru dengan memenuhi kriteria tertentu. Sedangkan pemerintah
provinsi sudah ditetapkan jenis pajaknya.
Dari
hasil pengumpulan pajak tersebut baru kemudian sebagian dibagikan kepada
pemerintah daerah. Pembagian tersebut melalui penyediaan dana perimbangan yang
penggunaaanya ditentukan oleh pemerintah daerah. Ada tiga komponen dana perimbangan yaitu dana
alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi khusus (DAK).
Penyediaan DAU telah ditentukan sebesar 25 persen dari penerimaan dalam negeri.
Sedangkan penyediaan DBH ditetapkan secara proporsional terhadap penerimaan
pajak tertentu dan sumber daya alam. Rumusan porsi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tersebut dapat dilihat pada tabel 1 terlampir. DAK dalam
tahun anggaran 2001 berasal dari dana reboisasi.
Untuk
tahun 2001, sebagaimana diatur dalam UU nomor 35 tahun 2000 tentang APBN 2001,
disediakan dana perimbangan sebesar Rp 81,7 triliun, dengan rincian sebagaimana
pada tabel 2. Realisasi dana tersebut mungkin berbeda karena perkembangan
ekonomi yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan, misalnya
terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak dan
tingkat inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa penyediaan dana perimbangan terkait
langsung dengan hasil pelaksanaan manajemen ekonomi makro. Sebagai contoh
tercapainya stabilitas ekonomi, seperti tercermin dari inflasi yang rendah, merupakan
kondisi yang kondusif untuk meningkatnya penerimaan pajak, yang pada giliran
selanjutnya menaikkan dana perimbangan.
Dengan
demikian perlu kiranya dipahami bahwa penciptaan stabilitas ekonomi merupakan
tanggungjawab semua tingkat pemerintahan. Dengan kata. lain pelaksanaan
desentralisasi fiskal perlu diikuti dengan peningkatan peran serta pemerintah
daerah dalam manajemen ekonomi makro. Mengenai bentuk peran serta tersebut
dapat berangkat dari upaya bersama mengatasi tiga potensi penyebab gangguan
manajemen ekonomi makro dari pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagaimana
telah dijelaskan pada uraian bagian II di atas.
Masalah
yang pertama, yaitu yang disebabkan oleh adanya pembagian kewenangan
pengumpulan pajak berbasis luas, belum akan terjadi karena pemerintah pusat
masih berwenang penuh dalam masalah tersebut. Masalah kedua, yaitu dari bagi
hasil pajak mungkin saja, terjadi konflik dalam manajemen ekonomi makro
khususnya dalam periode 2001-2004. Dalam periode ini pemerintah pusat akan
berupaya meningkatkan penerimaan pajak sebagaimana tercantum dalam perkiraan
penerimaan pajak dari 12,3 persen pada tahun 2001 menjadi 16,0 persen pada
tahun 2004.10 Proyeksi penerimaan pajak ini disusun dengan asumsi
tingkat inflasi yang menurun dari 6-8 persen menjadi 3-5 persen. Asumsi ini mengindikasikan
perlunya pola penggunaan anggaran belanja yang tidak konsumtif dan lebih banyak
berupa investasi guna mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu penggunaan
dana perimbangan dalam periode 2001-2004 perlu diarahkan pada kegiatan yang tidak
bersifat mendorong peningkatan permintaan agregat berlebihan. Arahan ini
menjadi penting karena porsi anggaran pembangunan pemerintah pusat cenderung
menurun dalam periode tersebut.11 Sementara besarnya dana
perimbangan akan sedikit meningkat sesuai dengan proyeksi penerimaan negara
(lihat gambar Perkiraan Anggaran Negara).12 Pemantauan pelaksanaan
operasi keuangan pemerintah daerah perlu dilakukan, karena dampaknya terhadap
perekonomian cenderung meningkat.
Pemantauan
ini juga diperlukan dalam rangka mencegah berkembangnya masalah yang timbul
dari pinjaman daerah, sebagai potensi masalah ketiga. Masalah ini tidak
terlepas dari kondisi keuangan Pemda di Indonesia yang sangat tergantung kepada
transfer dari pemerintah pusat. Pada tingkat provinsi, sekitar 50 persen
penerimaan daerah merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Sedangkan pada
tingkat kabupaten dan kota,
dana transfer pemerintah pusat mencapai lebih dari 80 persen.13
Peta
kondisi keuangan tersebut menunjukkan besarnya peran dana perimbangan dalam
operasi keuangan pemerintah daerah. Dana perimbangan diharapkan dapat
menggantikan komponen anggaran yang lama, yaitu bagian daerah, dana alokasi
rutin, dan dana alokasi pembangunan. Alokasi DAU untuk tahun anggaran 2001
kepada Pemda tingkat I dan Pemda tingkat II telah ditetapkan dalam Keputusan
Presiden nomor 181 tahun 2000.
Selama
saru bulan pelaksanaan desentralisasi beberapa daerah, seperti provinsi
Sumatera Barat, Jambi, dan Bali mengeluh bahwa sebagian besar DAU telah
terpakai untuk membayar gaji pegawai, khususnya dengan adanya tambahan pegawai
pusat yang dialihkan ke daerah. Kondisi keuangan semacam ini diperkirakan
terjadi dalam dua tahun mendatang.14 Hal ini mengindikasikan porsi
anggaran rutin akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang, yang selama ini
telah mencapai sekitar 60 persen dari total anggaran Pemda. Jika perkiraan ini
yang terjadi maka anggaran pembangunan akan relatif kecil pada beberapa
wilayah, terutama yang tidak memperoleh pendapatan yang cukup besar dari Dana
Bagi Hasil.1 Sebagai akibatnya Pemda mungkin menghadapi kesulitan
dalam menyediakan dana pemeliharaan dan peningkatan pelayanan dasar.
Dengan
adanya indikasi penurunan porsi anggaran pembangunan dalam APBD beberapa tahun
mendatang, dapat mendorong Pemda untuk melakukan pinjaman daerah. Pinjaman
daerah, menurut PP nomor 107 tahun 2000, merupakan pelengkap dari sumber-sumber
penerimaan lain dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana. Dalam PP
tersebut sudah dirumuskan prosedur dan pagu pinjaman daerah, sehingga kecil
kemungkinan terjadi hutang Pemda yang berlebihan jika ketentuan ini dipatuhi.
Namun sebagaimana pengalaman negara lain, misalnya Pakistan, ketentuan pinjaman daerah
ini dapat saja tidak berjalan efektif. Beberapa penyebabnya telah disampaikan
pada bagian II butir 3, seperti belum adanya sistem manajemen anggaran belanja
yang efektif.
Pengendalian
pinjaman daerah memang perlu mendapatkan perhatian serius, karena dalam rangka
manajemen ekonomi makro pemerintah pusat dihadapkan pada rencana penurunan stock
hutang pemerintah. Seperti tercantum pada Kerangka Ekonomi Makro dalam PROPENAS
2000-2004, maka stok hutang pemerintah direncanakan menurun persentasenya
terhadap PDB dari 99,2 persen tahun 2000 menjadi 45,7 persen tahun 2004.16
Dengan target indikatif ini maka pagu pinjaman daerah diperkirakan relatif
kecil, bahkan mungkin ditiadakan.17
Disamping
ketiga masalah di atas yang berkaitan dengan sisi pendapatan operasi keuangan
pemerintah, gambaran terbatasnya sumber-sumber pendapatan dari luar daerah
diperkirakan mendorong timbulnya masalah yang dampaknya lebih luas yaitu
kecenderungan Pemda menggali sumber-sumber pendapatan internal. Berdasarkan UU
nomor 34 tahun 2000 Pemda kabupaten/kota diijinkan menerbitkan jenis pajak baru
selain dari yang telah ditetapkan dengan menggunakan Perda. Meskipun dalam
undangundang tersebut sudah ditentukan kriteria yang harus dipenuhi untuk
menerbitkan suatu jenis pajak baru, namun keleluasaan ini dapat dipastikan
mendorong jumlah pajak daerah akan bertambah.
Tabel
1
Dana
Perimbangan APBN 2001 (dalam miliar rupiah)
Klasifikasi
|
APBN 2001
|
Persen thd. PDB
|
I. Dana Bagi Hasil
|
20.259.2
|
1,4
|
1.
Sumber Daya Alam
|
11.708.0
|
0,8
|
a.
Kabupaten /Kota
|
9.203.4
|
0,6
|
i. Minyak bumi
|
4.611.5
|
0,3
|
ii. Gas alam
|
2.965.5
|
0,2
|
iii. Pertambangan umum
|
594.0
|
0,0
|
iv. Kehutanan
|
799.5
|
0,1
|
v. Perikanan
|
233.4
|
0,0
|
2.
Bagi Hasil PBB dan BPHTB
|
5.447.6
|
0,4
|
a.
Kabupaten / Kota
|
4.498.9
|
0,3
|
i. PBB
|
3.511.5
|
0,2
|
ii. BPHTB
|
987.4
|
0,1
|
b.
Propinsi
|
948.7
|
0,1
|
i. PBB
|
760.6
|
0,1
|
ii. BPHTB
|
188.1
|
0,0
|
3.
PPh Perseorangan
|
3.103.6
|
0,2
|
a.
Kabupaten/Kota
|
1.862.2
|
0,1
|
b.
Propinsi
|
1.241.4
|
0,1
|
II. Dana Alokasi Umum
|
60.516.7
|
4,2
|
a.
Kabupaten/Kota
|
54.465.0
|
3,8
|
b.
Propinsi
|
6.051.7
|
0,4
|
III. Dana Alokasi Khusus
|
900.6
|
0,1
|
1.
Dana Reboisasi
|
900.6
|
0,1
|
2.
Dana Non-Reboisasi
|
-
|
-
|
Jumlah
|
81.676.5
|
5,7
|
Sumber : Nota Keuangan dan Rancangan APBN tahun
anggaran 2001
Penambahan jumlah pajak ini dapat menjadi gangguan
dalam manajemen ekonomi makro jika jumlahnya tidak terkendali. Daya tarik Indonesia bagi
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dapat menjadi berkurang.
Harga komoditi ekspor dapat menjadi lebih mahal. Jumlah pajak daerah yang tak
terkendali akan menimbulkan 'high cost economy' bagi dunia usaha dan
pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah.
Upaya membangun kerjasama dalam manajemen ekonomi
makro akan menghadapi tantangan yang sangat berat mengingat motivasi
pelaksanaan desentralisasi hidonesia lebih karena tuntutan daerah untuk
mendapatkan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan pendapatan dari
sumber daya alam, pengambilan keputusan politik dan hukum, serta pemerintahan.
Selama beberapa dekade kewenangan tersebut dilaksanakan secara
sentralistik sehingga menimbulkan rasa tidak puas daerah.18 Hal ini
yang mungkin mendorong pengaturan pengalihan kewenangan menjadi mengemuka
daripada pengaturan yang berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada
masyarakat.
Kecenderungan
tersebut tercermin dari beberapa rumusan dalam dua undang undang yang menjadi
dasar pelaksanaan desentralisasi, yaitu UU no. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU PKPD). Dalam UU PKPD jelas
terlihat adanya akomodasi terhadap tuntutan daerah penghasil sumber daya alam
agar mendapatkan pendapatan yang lebih besar. Sementara itu dalam UU Pemda,
tuntutan kewenangan politik dan pemerintahan yang lebih besar diakomodasi
dengan pemberian kewenangan DPRD dalam pemilihan pimpinan daerah dan
dibatasinya bidang tugas pemerintahan pusat. Kedua undang-undang tersebut tidak
secara jelas
merumuskan
konsekuensi pengalihan kewenangan pendapatan yang lebih besar dengan
peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat.19 Penjabaran lebih
jauh kedua undang-undang tersebut dalam Peraturan Pemerintah nampak juga kurang
memberikan perhatian terhadap masalah penyediaan pelayanan umum. Hal ini
terbukti dari belum dikeluarkannya Pedoman Standar Pelayanan Umum (PSPM) hingga
Januari 2001.20 Padahal pedoman ini mengatur standar pelayanan minimal
yang harus dilakukan Pemda kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan otonomi.
Pemahaman tentang otonomi daerah yang tidak hanya berarti meningkatkan
pendapatan asli daerah namun juga perlunya peningkatan pelayanan kepada
masyarakat nampaknya perlu disebarluaskan.
Potensi
masalah desentralisasi fiskal di Indonesia juga dapat timbul dari ketentuan
yang seragam untuk
semua wilayah, baik
dari sisi pembebanan pendapatan maupun sisi pembebanan
pengeluaran. Beberapa wilayah yang mempunyai keunikan sejarah pemerintahan,
seperti Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, serta Sumatera Barat mungkin perlu mendapatkan perlakuan khusus,
berupa kewenangan pengeluaran yang lebih luas daripada wilayah lain. Untuk itu
referensi klasifikasi otonomi daerah nampaknya perlu disusun untuk mengetahui
sejauhmana posisi suatu daerah dibanding daerah lain dalam hal kewenangan
pemerintahannya.21
BAB
V
Penutup
Kekhawatiran
IMF akan dampak desentralisasi fiskal terhadap ekonomi makro Indonesia
memang beralasan. Beban berat yang timbul akibat pembayaran hutang pada APBN
dan pembayaran gaji pada APBD dalam jangka menengah menyebabkan ketatnya ruang
gerak operasi keuangan pemerintah. Kondisi ini dapat menimbulkan
ketidakselarasan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan upaya manajemen
ekonomi makro.
Ketidakselarasan
tersebut dapat timbul dari dorongan untuk melakukan pinjaman daerah akibat
terbatasnya anggaran pembangunan dalam APBD. Sementara pada sisi ekonomi makro
diharapkan pengurangan pinjaman cukup tajam dalam jangka menengah ini. Selain
itu juga mungkin timbul dari pola anggaran belanja Pemda yang berlebihan
sehubungan dengan upaya pemerintah pusat meningkatkan penerimaan dari pajak dan
melonjaknya penerimaan dana bagi hasil daerah pemilik sumber daya alam. Pola
anggaran semacam ini tidak mendukung terciptanya tingkat inflasi yang
diharapkan semakin rendah.
Ketatnya
mekanisme pinjaman daerah22 selanjutnya dapat mendorong Pemda
mengembangkan sumber pendapatan asli daerah, khususnya melalui penerbitan pajak
baru. Kecenderungan ini jika mengakibatkan jumlah pajak daerah berlebihan akan
mengganggu kegiatan pasar di dalam negeri. Desentralisasi dikhawatirkan
cenderung menjadi faktor 'market constraining' daripada 'market enhancing'. 23
Kondisi
anggaran pembangunan Pemda yang ketat dapat mengurangi alokasi dana untuk
penyediaan pelayanan dasar masyarakat. Jika kondisi ini berlangsung lama,
khususnya di daerah terpencil, akan menyebabkan kualitas hidup masyarakat
menurun. Pada giliran selanjutnya kesenjangan horisontal akan semakin lebar.
Untuk meminimalkan ekses negatif dari proses desentralisasi fiskal maka
disampaikan gagasan sebagai berikut :
1.
Semakin luas tingkat devolusi anggaran
pendapatan dan pengeluaran, maka semakin penting adanya dialog yang aktif
antara pemerintah pusat dan Pemda, serta keterlibatan Pemda dalam manajemen
ekonomi makro24. Rakorbangnas mungkin dapat diarahkan menjadi forum
dialog tersebut.
2. Pemda
didorong untuk melaksanakan disiplin anggaran yang ketat, melalui monitoring
dan supervisi yang komprehensif, transparan, dan efektif oleh pemerintah pusat.
Pembatasan hutang, sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 107 tahun 2000, perlu dilaksanakan secara tegas. Agar langkah ini
efektif, maka penyempuraaan formulasi dana perimbangan secara kontinyu
seyogyanya dilakukan agar hasilnya semakin mengarah pada penciptaan
keseimbangan vertikal maupun keseimbangan horisontal.
3. Pemantauan
akan kecukupan penyediaan pelayanan dasar di ringkat daerah hendaknya menjadi
perhatian khusus dalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Penurunan kapasitas penyediaan pelayanan ini mungkin terjadi pada beberapa
daerah dengan sumber pendapatan terbatas. Untuk itu perlu penajaman alokasi
anggaran pemerintah pusat ke daerah.
4. Bagi
daerah yang memiliki kelebihan anggaran baik di awal tahun anggaran maupun
dalam tahun anggaran disarankan untuk membentuk Cadangan Anggaran Pembangunan
(CAP) ketimbang menggunakannya. Dana ini akan berguna apabila dana dari
pemerintah pusat mengalami perlambatan atau pengurangan. Selain itu juga dapat
menjadi alternatif sumber pinjaman bagi daerah lain.
5. Kriteria
alokasi dana kontijensi dalam rangka desentralisasi fiskal sekitar Rp. 6
triliun pada tahun 2001 perlu disusun agar penggunaannya efektif dan
transparan. Keberhasilan pemerintah pusat mengalokasikan dana ini secara adil
akan meningkatkan kredibilitas pemerintah pusat dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal tahun-tahun yang akan datang.
Daftar
Pustaka
Dennis Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization:
What and Why ? World Bank, 1999.
Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 20,00 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun
2000-2004.
Julio Vinuela, Fiscal Decentralization in Spain, IMF,
2000
Vito Tanzi, Fiscal Federalism and
Decentralization : A Review of Some Efficiency andMacroeconomic Aspects, Annual
World Bank Conference on Development Economics 1995.
Vito Tanzi, On Fiscal Federalism : Issues To
Worry About, IMF, November 2000.
Teresa Ter-Minassian, Decentralization and
Macroeconomic Management, IMF Working Paper, 1997
Teresa Ter-Minassian dan Jon Craig, Control of
Sub National Borrowing, bab 7 dari buku Fiscal Federalism - in Theory
and Practice, editor Teresa Ter-Minassian, IMF, 1997
A. Premchand, Government Budgeting and
Expenditure Controls - Theory and Practice, International Monetary
Fund, Cetakan Keempat, Juli 1994.
Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, Indonesia:
Managing Decentralization, Fiscal Affairs Department-IMF, November 2000
World Bank. Managing Government Debt and its
Risks, 2000
Kompas, Sebagian Besar PAD untuk Biaya Rutin, 5
Januari 2001,
Kompas, Kaltim Sediakan Dana CAP Sekitar Rp.
1,2 Trilyun, 9 Januari 2000
Kompas, Soal Keberatan atas Desentralisasi
Pemerintah Sayangkan Mengapa Dulu IMFDiam, 9 Januari 2001
Kompas, AnggaranPNS Ball Kurang Rp. 100
Milyar, 9 Januari 2001
Kompas, Mendesak Standar Pelayanan Otonomi
Daerah, 11 Januari 2001
Kompas. Hadapi Otoda, Gubernur Tuntut Otonomi
Penuh, 12 Januari 2001
Kompas, Sebagian Besar DA U Sumbar untuk Gaji
Pegawai, 15 Januari 2001
Kompas, Pinjaman Pemda dan RUUBIJadi
PerhatianIMF, 6 Februari 2001
|
Keterangan
:
1.
A. Premchand, International Monetary Fund,
Cetakan Keempat, Juli 1994.
2.
Kompas, 9 Januari 2001
3.
Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, IMF,
November 2000
4.
Bagian ini bersumber dari tulisan Teresa
Ter-Minassian, IMF Working Paper, 1997)
5.
Devolusi adalah penyerahan kewenangan
pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada pemerintah daerah yang
telah memiliki kemandirian di bidang politik. (Definisi ini dikutip dari Dennis
Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization: What and Why? World Bank, 1999.
6.
Ulasan ini bersumber dari Vito Tanzi, IMF,
1995.
7.
Sebagai perbandingan stok hutang luar
negeri pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai sekitar
65,6 miliar USD (sumber : World Bank. Managing Government Debt and its Risks,
2000)
8.
Tulisan ini bersumber dari makalah Julio
Vinuela,, IMF, 2000
9.
Dengan demikian disadari bahwa • uraian
ini akan sedikit dengan fakta pelaksanaan desentralisasi flskal. Uraian yang
disampaikan merupakan perkiraan masalahyang mungkin timbul sejauh peraturan
yang ada.
10.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
11.
Berdasarkan proyeksi APBN dalam Propenas
2000-2004, pengeluaran pembangunan akan menurun (dalam persentase PDB) dari 4,9
persen menjadi 4,4 persen. Jika besarnya dana perimbangan diasumsikan sekitar
25 persen dari penerimaan negara dan hibah, maka porsi pengeluaran pemerintah
pusat dalam periode 2001-2004 akan turun.
12.
Dalam gambar tersebut data untuk tahun
2000 merupakan realisasi anggaran, data tahun 2001 merupakan APBN, sedangkan
periode 2002 -2003 bersumber dari perkiraan APBN dalam Nota Keuangan dan
Rancangan APBN tahun 2001.
13.
Penerimaan daerah yang berasal dari
pemerintah pusat meliputi Bagian Daerah dan DanaAlokasi. Porsi DanaAlokasi
mencapai sekitar 60 persen pada tingkat provinsi dan sekitar 80 persen pada
tingkat kabupaten/ kota.
14.
|
15.
Untuk daerah yang kaya akan sumber day a
alam seperti Kalimantan Timur, dana anggaran pembangunannya berlebih sehingga
dapat memiliki Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP), Kompas, 9 Januari 2000
16.
Republik Indonesia, Undang-undang Republik
Indonesia
Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun
2000-2004.\
17. Belajar
dari pengalaman Spanyol, maka koordinasi pinjaman Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sangatlah penting. Suatu dokumen perencanaan pinjaman yang
terpadu diperlukan sebagai Acuan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dokumen semacam ini disebut Local Government Financial Plan di Jepang yang
diajukan setiap tahun ke Parlemen bersamaan dengan pengajuan anggaran
Pemerintah Pusat. Indikasi larangan Pinjaman Luar Negeri dan Pinjaman Domestik,
serta obligasi Pemda disampaikan oleh Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001.
18. Menurut
Gubernur Z.B. Palaguna konsep otonomi sudah dikenal sejak UU nomor 5 tahun
1974, namun gagal dalam pelaksanaannya karena semua kewenangan tersentralistik.
Kompas, 12 Januari 2001.
19. Ehtisham
Ahmad dan All Mansoor, IMF, November 2000
20. Kompas,
11 Januari 2000.
21. Klasifikasi
otonomi daerah disusun dengan rincian persyaratan bagi suatu daerah untuk
tercatat pada kelas tertentu. Pengklasifikasian ini berfungsi sebagai instrumen
monitoring pemerintah pusat.
22. Indikasi
larangan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik, serta obligasi Pemda
disampaikan oleh Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001. Kompas, 6 Februari
2001.
23. Vito
Tanzi, IMF, November 2000
24. Teresa
Ter-Minassian dan Jon Craig, IMF, 1997
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar