Jumat, 18 Oktober 2013

KARYA ILMIAH 10



PERDAGANGAN BEBAS  KOMODITAS PERTANIAN
INDONESIA-CHINA
DALAM RANGKA AFTA DAN CAFTA
Oleh: Muh Abdul Halim, SE, MSi

Abstract

      Walaupun perdagangan bebas ASEAN-China (CAFTA atau ACFTA) mulai berlaku tanggal 1 Oktober 2010, tetapi Indonesia, selaku negara Asean, mulai dibanjiri oleh produk-produk impor dari China. Semua produk China, termasuk produk-produk pertanian mulai masuk ke Indonesia. Produk-produk pertanian China seperti jeruk, apel, pisang, per, dan jenis buah-buahan lain banyak sekali dijual di Indonesia mulai dari pasar tradisional, kaki lima sampai pasar modern seperti Carefour, Giant dan lain-lain. Sementara buah-buahan lokal sudah banyak sekali.
       Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antara negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing  negara itu. Namun, dalam kenyataan, paling tidak dari penelitian empiris dengan semakin terbukanya suatu perekonomian tidak serta-merta menciptakan kemakmuran bagi   negara-negara yang terlibat. Banyak hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa liberalisme perdagangan dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung dari sisi mana kita melihat. Dengan melakukan simulasi dari beberapa scenario, Hutabarat dkk (2008)  mendapatkan  bahwa kebijakan yang mengarah ke perdagangan yang semakin terbuka, yakni dengan penurunan out of quota tariff di negara-negara kawasan Asia dan Eropa akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, tetapi penurunan out of quota tariff di kawasan Amerika akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, skenario  kebijakan-kebijakan ini semuanya memberikan peningkatan surplus produsen padi, jagung, oil seeds, roots and tuber  di Indonesia.
      Dalam perkembangan terakhir ini, banyak negara mencoba mencari alternative ke arah liberalisme melalui Perdagangan Bebas Kawasan/PBK (Regional Free Trade/RFT), melalui mekanisme Kesepakatan Perdagangan Preferensi/KPP atau Kesepakatan Perdagangan Wilayah/KPW (Regional TradeAgreement/RTA), Kawasan Perdagangan  Bebas/KPB (Free Trade Area/FTA) dan sebagainya. Sampai bulan Oktober 2004, di markas OPD telah te4rdaftar sebanyak 300 kawasan perdagangan terbatas/KPT atau  preferential trade area/PTA dari seluruh dunia. Sebanyak 176 buah diantaranya terbentuk setelah tahun 1995, saat OPD terbentuk (Sutherland 2004). Dari sejumlah KPT itu, 150 di antaranya telah berlangsung ditambah 70 buah yang lain dan sedang berjalan meskipun belum didaftarkan ke markas OPD. Menurut  catatan OPD hamper setiap negara saat ini turut dalam satu kelompok perdagangan bebas kawasan dan bahkan ada satu negara yang mengikuti 20 kelompok perdagangan terbatas.
      Dengan perkembangan seperti ini, Indonesia sangatlah membutuhkan informasi dan data yang dapat dipakai sebagai pertimbangan  dalam mengambil keputusan setuju tidaknya melakukan perdagang bebas terbatas dengan negara atau kelompok negara memang layak diikuti, Indonesia juga membutuhkan informasi dan data tentang komoditas pertanian apa yang sebaiknya diikutsertakan dalam program liberalisasi  terbatas dan apa yang tidak diikutsertakan serta bagaimana scenario penurunan hambatan perdagangannya. Sementara itu, Indonesia dan bersama negara-negara tetangganya di Asia Tenggara telah hampir 15 tahun berada dalam kelompok AFTA (Asian Free Trade Area, kawasan perdagangan bebas Asia), yang telah menerapkan program penurunan tariff sejak tahun 2002. AFTA sendiri menggunakan mekanisme penurunan tariff istimewa secara efektif dan bersama atau  Common Effevtive Preferential Tariffs/CEPT, dimana produk-produk yang diikutsertakan dimasukkan kedalam tiga katagori yang berbeda, yakni fast track atau jalur cepat, sementara. Tingkat tariff rata-rata bagi produk-produk yang termasuk  daftar inklusif mencapai sekitar 2.5 persen pad atahun 2004. Indonesia sendiri telah memasukkan lebih dari 7.000 produknya (termasuk produk-produk pertanian yang belum diproses) ke dalam daftar inklusif. Pada tahun 2008, atau jadwal akhir AFTA bagi negara-negara  pendiri ASEAN, tingkat tariff  sudah mencapai 0-5 persen untuk semua produk, termasuk produk-produk yang sebelumnya masuk dalam daftar pengecualian. Keikutsertaan di AFTA adalah pengalaman pertama  Indonesia mengikuti kelompok perdagangan terbatas, kemudian diikuti Indonesia-China FTA pada tahun 2004, sebagai pengalaman kedua. Dari pengalaman-pengalaman ini mungkin dapat diperoleh pelajaran  berharga dalam menghadapi tawaran perdagangan terbatas berikutnya.
PEMBAHASAN
    1. Ragam Pola Kesepakatan Perdagangan  Terbatas/KPT
      Di wilayah  Asia negara seperti Jepang telah semakin intensif menjalin kerjasama perdagangan dengan  berbagai negara  lain di kawasan  yang sama maupun di luar kawasannya. Saat ini Jepang telah menjalin dan sedang mengkaji kerjasama dengan sekitar 13 negara atau kelompok negara melalui kerjasama kemitraan ekonomi/KKE atau economic partnership agreement/EPA  sebagai cikal-bakal untuk kesepatakan perdagangan bebas (Tabel 1). Dalam memprakarsai,mengikuti dan memanfaatkan strategi KPTnya, Jepang memiliki beberapa motif (Urata 2005) : (i) memperoleh akses  yang lebih besar ke pasar luar negeri sebagai motif yang paling utama melalui persaingan dengan pemasok-pemasok lain, (ii) melakukan pengembangan  usaha di negara mitra melalui investasi langsung  atau foreignpdirect investment/FDI yang juga akan mengalami liberalisasi dan fasilitasi, (iii) membantu reformasi struktural di dalam negeri  untuk menggairahkan ekonomi yang mandeg saat ini, (iv) untuk membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi di Asia dan (v) sebagai suatu alat untuk melaksankan kebijakan kawasan agar perusahaan-perusahaan Jepang melakukan uasahanya di kawasan ini secara bebas dan aman.
      Hal yang sama dilakukan Korea Selatan dengan Chile (2004), dengan ASEAN (2006) tanpa Thailand karena masalah beras yang tidak termasuk, dengan China. Menurut Urata (2006), keikutsertaan Jepang baru dalam berbagai KPT sampai setahu lalu masih bersifat pasif, karena (i) Jepang baru memulai perundaingan tenantng KPT setelah Jepang mengusulkan pembentukan Japan-ASEAN FTA  dan (ii)  prakarsa KPT  dengan ASEAN oleh Jepang dipicu oleh KPT China dengan ASEAN. Di wilayah ASEAN yang paling aktif dalam upaya ke arah ini adalah Singapura dengan kebiijakannya memulai kerjasama perdagangan bilateral dengan mitra yang sangat beragam misalnya dengan Selandia Baru (2001), Japan (2002), Australia (2003), Amerika Serikat (2004), Korea (2006), Kanada, Eropa dan akan menyusul dengan Chile dan Meksiko. Menurut beberapa penulis kecnderungan perundaingan pembentukan KPT yang baru ini kemungkinan akan semakin berkembang di Asia Timur .
      Tabel 1. FTA/EPA yang diikuti dan dirundingkan Jepang
Nama
Tahap saat ini
Japan-Singapore Economic Partnership Agreement for a New Age Partnership
Efektif November, 2002
Japan-Mexico Economic Partnership Agreement
Efektif November, 2004

Japan-Philippines EPA
Disetujui November, 2004
Japan-Malaysia EPA
Disetujui Mei, 2005
Japan-Thailand EPA
Disetujui Agustus, 2005
Japan-Korea EPA
Negosiasi mulai Desember, 2003
Japan-ASEAN Comprehensive Economic

Partnership (CEP)
Negosiasi mulai April, 2005
Japan-Indonesia  EPA
Negosiasi mulai July, 2005
Japan-Chile EPA
Mulai kerjasama penelitian bersama antara ahli-ahli industri pemerintah Januari, 2005
Japan-India EPA
Mulai kerjasama penelitian bersana antara ahli-ahli industi pemerintah Juli, 2005
Japan-Australia EPA
Setuju memulai kerjasama penelitian April, 2005
Japan-Switzerland EPA
Setuju memulai kerjasama penelitian April, 2005
Japan-China-Korea FTA
Saat ini melakukan kerjasama penelitian November, 2000
ASEAN+3
Setuju melakukan pertemuan puncak November, 2004
Sumber : Tsukamoto 2005
      Indonesia sendiri saat ini telah turut-serta dalam beberapa kawasan perdagangan bebas, antara lain: (i) di lingkungan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara/PNAT [the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)] yang disebut AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau Kawasan Perdagangan Bebas/KPB ASEAN, (ii)  perjanjian perdagangan bebas bilateral/PPBB dan kawasan atau regional/PPBL atau PPBR [Bilateral and Regional Free Trade Agreements (BFTAs and RFTAs)] ASEAN dengan China atau ASEAN-China FTA, (iii) PPBB Indonesia dengan China (Indonesia-China FTA), dan akan muncul perjanjian-perjanjian bebas kawasan yang lain seperti Indonesia-Korea FTA, Indonesia-Japan FTA, Indonesia-India FTA, Indonesia-Pakistan FTA, Indonesia-Australia-New Zealand FTA dan mingkin juga Indonesia-USA FTA atau Indonesia-EU FTA. Negara-negara bakal mitra tadi sudah mengambil prakarsa dengan mendekati pihak Indonesia. Ada yang melakukannya secara sangat perlahan-lahan tetapi juga ada yang melakukan secara intensif, seperti Korea, Jepang dan Amerika Serikat dan tampak, pihak bakal mitra Indonesialah yang pertama mengambil prakarsa sementara Indonesia hanya bersifat menunggu dan baru kemudian mengkajinya setelah perjanjian ditandatangani.
      Sejalan dengan kemunculan KPT yang semakin berkembang, literatur telah mencatat berbagai analisis tentang dampak dan potensi dampak KPT berupa prakiraan  sebelum kesepakatan diberlakukan (ex ante analysis) atau perhitungan setelah  beberapa saat kesepakatan berjalan (ex-post analysis) dan bahkan secara teoritis konseptual. Viner (1950) yang diulas dalam Kerangka Pemikiran telah mengembangkan pendapatnya tentang dua sisi dampak KPT yakni melalui peluang penciptaan perdagangan dan pengalihan perdagangan. Dua konsep ini kemudian mengundang dimensi baru pembahasan tentnag KPT yakni, pengaruh mi-dimangkung dan batu landasan atau batu sandungan  ke perdagangan bebas. Sampai saat ini, seiring dengan perjalanan waktu dampak KPT dapat menguntungkan atau dapat merugikan negara-negara yang terlibat.
      Dari tinjauan kritis terhadap dokumen yang disepakati dalam ASEAN-China FTA, tampaknya adalah ia merupakan salah satu model kerjasama AFTAs dengan negara berkembang (NB). Namun, model kerja sama itu akan berbeda dengan negara maju (NM). Kerjasama ASEAn dengan NM juga semakin gencar, seperti dengan Jepang dan  lain-lain. Dalam hal ini Indonesia sedang melangkah ke arena persaingan bebas dan amat liberal di AFTA. Itu akan memberikan peluang kita untuk merebut pasar, namun dapat juga menjadi ancaman buat Indonesia. Khusus tentang  pertanian, Indonesia sebaiknya dapat meningkat terus  daya  saing untuk produk-produk perkenbunan dan perikanan. Juga dangan diabaikan untuk ditingkatkan produktivitas dan efisiensi di usaha tani pangan dan pasca panen untuk produk pangan. Itu tampaknya belum tertata dengan baik yang bersinergi dengan liberalisasi perdagangan dengan program kerja departemen teknis.
      Seharusnya liberalisasi perdagangan itu dibahas secara detil dengan departemen teknis, yang melibatkan banyak pihak, tidak cukup hanya para birokrat. Departemen teknis seperti Deptan, harus pula memperkuat riset dan tenaga (jumlah dan kualitas) yang ikut dalam negosiasi AFTA. Dokumentasi FTA di Deptan perlu juga ditata dengan baik, tidak tercecer dan terorganisir dengan rapi, walau ada penggantian pejabat/petugas. 
    1. Tinjauan kritis terhadap aturan dan ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian perdagangan bebas Indonesi-China dan kerjasama AFTA.
      ASEAN dibentuk pada pertengahan 1967, dengan tujuan utamanya adalah ”is to accelerate economic growth through joint endeavors, under the aegis of the Foreign Ministers”. Khusus tentang perdagangan bebas, AFTA yang diputuskan pada pertemuan KTT ASEAN-6 di Singapura,  Januari 1992. Itu merupakan program pengurangan tariff secara bertahap, serta penghapusan hambatan tariff pada tahun 2008. Selanjutnya sejumlah hambatan non-tariff dihilangkan, dilakukan juga harmonisasi kepabeanan, penilaian dan prosedurnya, dan membangun standarisasi sertifikasi produk. Dengan tambahan itulah, maka kemudian dinamakan AFTA Plus.
      Tingkat kemajuan ekonomi diantara anggota ASEAN adalah amat beragam, juga tingkat kemakmuran (GDP/kapita). Negara yang GDP per kapita di atas USD 3.000 adalah Singapura, Brunei, Malaysia. Sedangkan negara anggota yang GDP/kapita rendah (kurang dari USD 500) adalah Laos, Kamboja, Myanmar. Sedangkan Indonesia, Filipina, Thailand berada diantara  ekstrim tersebut.
      Struktur dan perubahan struktur ekonomi diantara negara-negara ASEAN juga besar. Pada tahun 2003, peran sektor pertanian Indonesia hanya 16,6%, bandingkan dengan Kamboja mencapai 34,5%, Myanmar sebesar 57,2%, Laos sebesar 48,6%. Peran sektor pertanian pada tahun yang sama untuk Malaysia hanya 9,7%, Singapura tidak sampai  1%. Rincian struktur ekonomi dan perubahannya dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah ini.
      Tabel 2. Struktur ekonomi dan perubahan di ASEAN : 1985 dan 2008
Persen thdp GDP
Pertanian (%)
Non-Pertanian (Industri+Jasa) (%)
Indonesia :
1985
2008

23,2
16,6

76,8
83,4
Malaysia :
1985
2008

19,9
9,7

80,1
90,3
Filipina :
1985
2008

24,6
14,5

75,4
85,5
Singapura :
1985
2008

0,2
0,1

99,8
99,9
Thailand :
1985
2008

15,8
9,8

84,2
90,2
Kamboja :
1985
2003

50,4
34,5

49,6
65,5
Laos PDR:
1985
2008

55,7
48,6

44,3
51,4
Myanmar :
1985
2008

48,2
57,2

51,8
42,8
Vietnam :
1985
2008

40,2
21,8

59,8
78,2
      Sumber : World Development Indicators (2008)
      Dirancang pula Common Effective Preferential Tariff (CEPT). CEPT itu adalah mekanisme perdagangan barang di wilayah ASEAN dengan kandungan produksinya mencapai 40%,  maka tingkat tariff untuk produk itu dikurangi menjadi 0-5%  sampai tahun 2002/2003. Sejumlah negara ASEAN yang baru bergabung diberikan waktu yang lebih  lama untuk liberalisasi. Untuk Vietnam 2006, Laos dan Myanmar 2008, dan Kamboja 2010.
      Pengurangan tingkat tariff di AFTA mengikuti dua jalur (track) yaitu JAlur Normal (Normal Track =NT) dan Jalur CEpat ( Fast Track = FT). Pada FT, tarif sebagian besar dikurangi menjadi 0-5% sampai 2000, sedangkan unutk NT diturunkan pada tingkatan yang sama sampai 2002.
      Negara anggota juga memperoleh pengecualian dari penurunan tariff menurut ketentuan CEPT diatas. Pengecualian tersebut dimungkinkan dalam  persetujuan AFTA yang diperjelas dalam a Protocol Regardingn the Impelemtation of the CEPT Scheme Temporary Exclusion List. Ada 3 kelompok produk yang mendapatkan pengecualiannya yaitu : (i) Pengecualian  temperor (temporary exclusions), (ii) Produk pertanian sensitive (Sensitive Agriculture Products), dan (iii) Pengecualian umum (general eceptions).
      Sebagian dari produk pertanian yang dikecualikan dalam penurunan tarif, sehingga waktu liberalisasi perdagangan menjadi lebih lama yaitu 2010. Yang masuk dalam Pengecualian Umum itu adalah yang terkait dengan keamanan nasional, masalah moral publik, perlindungan manusia, hewan dan tumbuhan, barang-barang seni, bersejarah, dan bernilai aerkeologis. Adapun rincian besarnya jumlah pos tarif masing-masing negara anggota ASEAN dengan rincian Inclusion List, Temporary Exclusion List, General Exclusion List dan Sensitive List tertera dalam Tabel 3.
      Sebagian besar – sebanyak 55.680 atau 85% dan total pos tarif yang jumlahnya 65.529 di ASEAN adalah masuk dalam katagori Inclusion List. Sedangkan Sensitive List jumlahnya tidak sampai 1% dari total pos tarif di ASEAN. Indonesia mencatat hanya 4 pos tarif yang masuk dalam sensitive list itu, bandingkan dengan Malaysia sebanyak 83, dan Filipina dan Kamboja masing-masing 50, dan Laos sebanyak 88 pos tarif.
      Khusus untuk produk pertanian di AFTA, Indonesia aalah salah satu negara kompetitor untuk sejumlah produk pertanian, seperti  karet, kopi, CPO, gula, kopra dengan negara Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina. Demikian juga untuk sejumlah produk pangan, Indonesia mengimpor  dari negara ASEAN, terutama dari Vietnam dan Thailand, itu juga sebagai kompetitor kita dalam produksi pangan yang sama, terutama beras dan gula. Kinerja ekspor dan impor Indoenesia selama liberalisasi ini akan dibahas dalam bab tersendiri. 
    1. ACFTA (ASEAN China Free Trade Area)
      Pada awalnya, Negara ASEAN  melihat FTA yan dirancang pada 1992 sebagai  suatu arena integrasi ekonomi di dalam Negara ASEAN itu sendiri (Soesastro 2005). Karena yang terkait dengan multilateral sudah terangkum di OPD. Namun, pada 2001, pada KTT ASEAN-China yang diselenggarakan di Brunai, Negara China dating dengan proposal ASEAN-China FTA dalam 10 tahun. Selanjutnya di Phnom Penh pada 2002, para pemimpin negara  ASEAN damn China menandatangani CEC (Comprehensive Economic Cooperation) yang juga masih berada di dalam FTA. Munculnya, proposal dari China  ini, karena pada waktu itu, China mengalami kesulitan masuk ke WTO (Soesastro 2005).
      Dalam ASEAN-China Framework Agreement on CEC itu terdiri dari 3 elemen yaitu : Liberalisme, Fasilitas, dan Kerjasama Ekonomi. Disamping itu, ditambah dengan mekanisme dalam implementasi perjanjian tersebut, termasuk di dalamnya tentang perdagangan barang, jasa dan investasi. DIrancang pula tentang perlakuan khusus dan fleksibilitas buat Negara ASEAN yang baru, untuk CLMV (Camboja, Laos, Myanmar dan Vietnam).



Tabel 3. AFTA : Common Effective Preferential Tariff (CEPT) List untuk 2008
Negara
Inclusion List
Temporary Exclusion List
General Exception List
Sensitive List
Total
Brunai 
Indonesia
6,284 
7,190
0 
21
202 
68
6 
4
6,492 
7,283
Malaysia 
Philippines
Singapore
Thailand
9,654 
5,622
5,821
9,104
218 
6
0
0
53 
16
38
0
83 
50
0
7
10,008 
5,694
5,859
9,111
ASEAN-6
Total
Percentage
Cambodia
Laos

43,675 
98.26
3,115
1,673

245 
0.55
3,523
1,716

377 
0.85
134
74

150 
0.34
50
88

44,447 
100
6,822
3,551
Myanmar 
Vietnam
2,984 
4,233
2,419 
757
48 
196
21 
51
5,472 
5,237
New Members
Total
Percentage
ASEAN
TOTAL
PERCENTAGE

12,00 
56.94

55,680
84.74

8,415 
39.92

8,660
13.40

452 
2.14

829
1.28

210 
1.0

360
0.55

21,082 
100

65,529
100
Sumber : ASEAN Secretariat (2008)
      Sebelum Early Harvet Program, ketentuan pengurangan tariff dan penghapusan tariff dilakukan dalam 2 track yaitu : track normal dan track sensitive. Produk yang masuk dalam NT, tingkat applied tariff produk tersebut harus dikurangi atau dihapus sesuai  dengan skedul, bertahap dari tahun 2005 sampai 2010 unutk ASEAN-6. Akan tetapi untuk Negara CLMV sampai dengan 2015.
      Dalam ACFTA, diperkenalkan Early Harvest Program (EHP) seperti yang tercantum dalam Framework Agreement, Yaitu tahap pertama dari 3 tahap penurunan tingkat tariff, dikenal EHP. Tahap pertama tariff turun menjadi 0-10%, dan tahap terkahir 2006, semua tariff telah 0%. lihat Tabel 4.
      Produk  yang masuk di dalamnya adalah produk dalam Chapter 01 samapai Chapter 08  pada tingkat HS 8/9 digit. Itu hampir semuanya produk pertanian dan perikanan, seperti binatang hidup, daging, ikan, susu, produk binatang lainnya, tumbuhan, sayuran kecuali jagung manis, buah-buahan dan kacang. Tingkat tariff EHP menjadi 0% mulai 1 Januari 2006. 
      Table 4 Tingkat penurunan tariff itu EHP dengan 3 tahap penurunannya
Tingkat tariff MFN sebelumnya
(X)
Semua tariff turun per 1 Januari 2004 yaitu menjadi:
Semua tariff turun pada 1 Januari 2005 menjadi :
Turun lagi pada 1 Januari 2006
0%
X > 15%
10%
5%
0%
5% < X < 15%
5%
0%
0%
X < 15%
0%
0%
0%

      Indonesia telah meratifikasi EHP melalui keputussan menteri keuangan. Indonesia telah mengeluarkan 2 keputusan yaitu SK Menkeu no. 355/KMK.01/2004 tentang penetapan tariff bea masuk dalam kerangka EHP ASEAN-CHINA, dan no.356/KMK.01/2004 tentang penetapan tariff bea masuk dalam  kerangka EHP Indonesia-China. Menurut ketentuan itu, maka sejak 2006, Indonesia menetapkan tariff bea masuk untuk produk impor dari China mennjadi 0%, yaitu kopi (HS 0901), minyak kepala dll (HS 1513), lemak dan minyak (HS 1516), margarine dan sejenis (HS 1517), coklat (HS 1806), sabun (3401), karet (HS 4016), gelas (HS 7011), tempat duduk (HS 9401), dan perabot (HS 9403).
      Tahap II dari ACFTA adalah penurunan tariff menurut Normal Track yang dikelompokkan dalam 5 kelompok tariff. Dalam normal Track itu, ada 4 tahapan tingkat penurunannya, seperti yang tertuang dalam Tabel berikut :

Table 5.  Normal Track dengan 4 periode waktu dan tingkat penurunan tariff, pada 5 kelompok tariff.  
Tingkat tariff MFN sebelumnya
(X)
Semua tariff turun per 1 Juli 2005 yaitu menjadi :
Semua tariff turun pada 2007 menjadi :
Turun lagi pada 2009 akan menjadi (5%-0%)
Pada 2010 semua tariff menjadi 0%
X>20%
20%
12%
5%
0%
15%
15%
8%
5%
0%
10%
10%
5%
0%
0%
5%
5%
5%
0%
0%
X<5 p="">
5%
5%
0%
0%

      Masih dalam tahap II, dikenal pula Sensitive Track. Sensitive track itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu SENSITIVE LIST dan HIGHLY SENSITIVE LILST. Antara ASEAN-6 dengan China, itu ditetapkan palinng banyak/ maksimum jumlah 400 post tariff dengan HS 6 digit, dan 10% untuk total nilai impor berdasarkan data 2001. Sensitive list itu tidak boleh melebihi dari 40% dari jumlah pos tariff  dalam  Sensitive Track, atau 100 pos tariff dengan HS6-digit yang terendah.
      Untuk Negara CLMV, maksimum jumlah pos tariff adalah 500. Perlu dicatat bahwa jumlah pos tariff untuk ASEAN-6 berkisar dari 5.600 (Filipina) dan 10.400 (Malaysia). Jumlah pos tariff untuk itu diperlihatkan dalam table berikut. Indonesia menetapkan 350 masuk sensitive, dan 50 untuk highly sensitive. Disamping Indonesia, Camboja juga mencatat banyak produk yang masuk dalam sensitive dan highly sensitive yaitu masing-masing 350 dan 150. Sedangkan China menetapkan hanya 161 dan 100 pos tariff unutk masing-masing sensitive dan highly sensitive. 
Table 6.  ASEAN China FTA : Jumlah Pos Trif untuk Sensitive dan Highly Sensitive List (HS-6 digit) 
Negara
Sensitive
Highly Sensitive
Brunei
66
34
Camboja
350
150
Indonesia
349
50
Lao PR
88
30
Malaysia
272
96
Myanmar
271
0
Filipina
267
77
Singapura
1
1
Thailand
242
100
Vietnam
ta
Ta
China
161
100

      Applied tariff untuk produk yang masuk dalam Sensitive List harus diturunkan, yaitu menjadi 20% paling lambat 1 Januari 2012, dan itu diturunkan lagi sehingga menjadi 0-5% paling lambat 1 Januari 2018. Khususnya untuk CLMV, targetnya masing-masing Negara itu adalah menjadi 1 Januari 2015 dan 1 Januari 2020. Khususnya tentang Sensitive track ini akan ditinjau ulang (review) pada 2008.
      Dalam ACFTA juga tercakup tentang ROO (rule of origin)3, lihat dalam Annex 3. ROO disebutkan sebagai berikut. Suatu produk dapat diperlakukan sebagai produk asal yaitu apabila : (i) tidak kurang dari 40% berisi dengan produk original; (ii) jika nilai material, sebagian atau dihasilkan tidak lebih dari 60% dari nilai FOB Negara penghasil. Kemusian ditambah lagi dengan adanya Cumulative ROO. Yaitu apabila produk akhir tidak lebih dari 40%. Perlu ditambahkan bahwa ROO ACFTA adalah sama dengan ROO AFTA, karena itu diadopsi secara eksplisit dari GATT 1994.
    1. Kinerja perdagangan komoditas pertanian Indonesia-China dan kerjasama AFTA sebelum dan setelah dicapainya kesepakatan.

      1. Keragaan Ekspor Komoditas Pertanian Indonesia sebelum dan setelah FTA
      Pertumbuhan perekonomian China berkembang dengan sangat pesat pasca diperbaharuinya sisitem politik perdagangan yang liberal, selama lebih dari 25 tahun China mengalami pertumbuhan yang stagnan (sebelum tahun 1980). China menjadi pemimpin perekonomian dunia dengan pangsa perdagangan yang sangat tinggi selama periode 1985-2000. Disisi lain selain keberhasilan di bidang perekonomian, China menjadi Investasi Asinng Langsung (FDI) China yang pesat memberikan keuntungan tersendiri bagi negara-negara lingkup ASEAN termasuk didalamnya Indonesia.
      Penguasaan teknologi di segala bidang, menjadikan China menjadi Negara eksportir yang sangat kuat untuk produk-produk yang berbasis teknologi (texhnology – based product) dan sedangkan untuk produk yang bersifat non resource based, China menempati urutan 3 tertinggi di dunia. Imran (2004) mengemukakan beberapa persamaan antara China dan Negara-negara ASEAN diantaranya memiliki kekayaan alam yang tidak terbatas dan saat ini sama-sama berkepentingan untuk meningkatkan kinerja ekspornya. Berkenaan dengan hal tersebut berbagai perjanjian kerjasama perdagangan telah disepakati demikian halnya denngan Indonesia, data-data berikut ini akan menguraikan kinerja perdagangan Indonesia-China dari sisi ekspor, impor dan performa komoditas-komoditas pertanian unggulan.
      Dengan mengurutkan data nnilai ekspor yang dikeluarkan  oleh BPS tahun 2006 berhasil dipilih komoditas pertanian utama yang menjadi komoditas andalan ekspor Indonesia-China. Produk perkebunan merupakan andalan utama ekspor Indonesia, tempat teratas diduduki oleh produk minyak sawit lainnya, karet, minyak sayur, minyak sawit, minyak inti sawit, karet lembaran, dan coklat, sedangkan untuk produk tanaman pangan, sejalan dengan maraknya pengembangan bahan bakar yang berbasis tanaman atau dikenal dengan nama bio energy, permintaan akan gaplek dalam bentuk chips dan kering meningkat dengan sangat tajam.
      Data pada Tabel 7 menunjukkan kinerja ekspor komoditi pertanian utama Indonesia-China. Sebelum ditandatanganinya kesepakatan perdagangan bilateral Indonesia-China, komoditi yang mengalami pertumbuhan ekspor cukup pesat adalah produk karet (SBR) sebesar 54,95 persen pertahun dan produk karet lainnya seperti SIR 3 CV (26,62%/tahun)., SIR 20 (26,62%/tahun). Selain karet, kelapa sawit merupakan komoditi ekspor unggulan seperti minyak inti sawit (46,27%/tahun), produk minyak inti sawit lainnya 950,45%/tahun). Selain komoditi perkebunan, minyak sayur merupakan produk ekspor yang cukup menjanjikan dengan laju pertumbuhan 35,26 persen pertahunnya. Pasca perjanjian perdagangan pertumbuhan laju ekspor yang mengalami peningkatan cukup tinggi adalah minyak dan lemak dari sayuran, minyak sawit, serta seluruh produk karet. Menurut  pengamatan di Propinsi Sumatera Selatan, permintaan karet mentah baik dalam bentuk SIR 20 atau karet lembaran dari China mengalami peningkatan yang cukup tajam hamper menyaingi eksportir utama karet Indonesia, Amerika Serikat, bahkan diperkirakan hingga 5 tahun kedepan China akan menjadi daerah tujuan karet Indonesia dengan laju permintaan mencapai 61,20 persen pertahunnya. Selain produk karet, selaras dengan permintaan akan bahan bakar berbasis tanaman pertumbuhan ekspor gaplek dalam bentuk chips mengalami peningkatan jika sebelumnya FTA cenderung menurun dengan laju pertumbuhan 13,74 persen pertahun, pasca FTA terjadi perbaikan permintaan meskipun dengan laju yang masih negative.
      Kesadaran akan tingkat kesehatan yang lebih baik bagi sebagian besar penduduk China selaras dengan pencapaian tingkat pendidikan yang lebih tinggi menngakibatkan permintaan akan minyak dan lemak dari kacang-kacangan meningkat sangat tinggi pasca perjanjian FTA. Selama periode 1997-2003 permintaan akan produk ini meningkat sebesar 35,26 persen pertahunnya, pasca FTA menjadi 149,32 persen pertahun.

      
      Table 7. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi Pertanian Utama Indonesia – China (persen/tahun)
No
hs
sitc
Description
1997-2005
1997-2003
(sebelum FTA)
2004-2006
(setelah FTA)
1
151190
42229000
Minyak Sawit lainnya
20,78
12,21
13,01
2
400122
23125160
Karet SIR 20
25,25
26,62
64,76
3
151620
43122100
Minyak dan lemak dari sayuran (kacang-kacangan)
1,94
35,26
149,32
4
151110
42221000
Minyak sawit
8,22
-4,80
115,11
5
400121
23121000
Karet lembaran (smoked sheets)
34,49
15,20
61,29
6
151321
42241000
Minyak inti sawit (Crude Oil of Palm Kernel)
43,89
46,27
31,18
7
151311
42231000
Minyak Copra (Crude Oil of Copra)
30,30
29,30
38,73
8
180100
07211000
Biji coklat, pecah dan setengah, mentah atau roasted
11,94
-12,64
28,52
9
400219
23211910
Karet-Polybutadiene-styrene (SBR)
35,23
54,95
20,29
10
151329
42249000
Minyak Inti Sawit lainnya
40,98
50,45
-16,84
11
71410
05481100
Gaplek iris dan kering (manioc)
8,44
-13,41
-4,86
12
400122
23125110
SIR 3CV
36,34
26,62
-58,19
13
151790
09109910
Other Edible Mixture of Vegetable Origin
32,47
-4,20
-64,26
14
400211
23211110
Polybutadiene-styrene Latex
16,47
21,96
-1,71
15
151710
09109000
Margarine curah
10,88
-9,55
-88,28
16
151319
42239000
Minyak Copra lainnya
-2,59
-23,89
-13,86
17
400599
62119990
Karet Campuran Lainnya
36,37
0,00
129,49

      Sumber : BPS 1997-2008




      
      Didalam perjanjian perdagangan bilateral Indonesia-China juga disepakati kesepakatan tariff yang dikenal dengan “Early Harvest Package” untuk beberapa komoditi pertanian, adapun performa nilai ekspor komoditi pertanian yang masuk dalam katagori EHP dapat dilihat pada Table 8 beriku ini  
Table 8.   Nilai Ekspor Komoditi Pertanian dalam kerangka Early Harvest Package Tahun 2007-2008
Kode
Jenis Produk
2007 ( $ 000)
2008 ($ 000)
90111
Coffee not roasted, - Not decaffeinated
608,48
2822,63
90112
Coffee, not roasted, -  Decaffeinated

31,72
151311
Coconut (copra) oil and its fraction – Crude oil
19640,08
58649,26
151319
Coconut (copra) oil and itf fractions - other
7521,65
4977,62
151321
Palm kernel or babassu oil fractions thereof – Crude oil
48756,64
83446,93
151329
Palm kernel or babassu oil fractions thereof - Other
19568,75
25704,57
151620
Vegetable fats and oils their fractions
229,99
202,99
151710
Margarine, excluding liquid margarine
3195,98

151790
Other
25049,03
1744,39
401691
Other - Floor coverings and mats
16

4011693
Other – gaskets, washers and other seals
64,50
30,97
401699
Other
3627,38

TOTAL
128278,479
177611,081
      Sumber : WTS Data base
      Jika dibandingkan produk-produk unggulan ekspor Indonesia dengan komoditi yang masuk dalam EHP, hanya minyak kopra, minyak inti sawit, minyak dan lemak sayur serta margarine. Sedangkan untuk komoditi karet lainnya tidak masuk dalam kerangka EHP demikian halnya dengan kakao, dan gaplek. Perbaikan terhadap usulan EHP hendaknya dapat ditinjau kembali dan seharusnya bersifat dinamis, para negosiator perdagangan Indonesia dapat mempertimbangkan unutk memasukkan komoditi unggulan pertanian lainnya dalam kerangka EHP mengingat dimasa yang akan dating Indonesia dengan ketersediaan  sumber daya  lahan yang masih berlimpah khususnya di wilayah timur Indonesia dapat dikembangkan sebagai daerah penghasil komoditi bahan baku bio energy. Perhatian pemerintah akan berkelanjutan produk-produk perkebunan nampaknya harus semakin ditingkatkan, selama ini tanaman kelapa di propinsi sentra produksi seperti Sulawesi Utara belun banyak mendapatkan perhatian, masih banyak tanaman berusia tua tanpa pernah dibongkar dan diganti dengan tanaman baru. Kebijakan pemerintah yang pro pasar harusnya bias menjadi stimulus untuk meningkatkan produksi unggulan di tiap-tiap propinsi. 
      Hasil kunjungan di lapangan mendukung data keragaan ekspor seperti yang telah diuraikan diatas, Propinsi Sulawesi Selatan merupakan propinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia. Komoditi kakao sendiri memberikan kontribusi ekpor yang cukup tinggi dengan laju pertumbuhan yang meningkat dengan sangat pesat, jika selama periode 1997-2003 cenderung menurun, pasca FTA meningkat cukup tinggi  dengan laju pertumbuhan selama tiga tahun terakhir mencapai 28,52 persen pertahun. Pelabuhan Makasar telah siap menjadi pelabuhan internasional dengan dukungan prasarana yang telah dibangun. Pelabuhan ini menjadi pintu masuk produk-produk perkebunan yang banyak didatangi dari wilayah timur Indonesia. Kontinuitas produk menjadi kendala tersendiri, seperti wawancara dengan eksportir kakao di Makasar, pola panen dan paasca panen masih menjadi kendala, karenamasih lemahnya pengetahuan masyarakat dalam berbudidaya kakao, disamping itu tersedianya pasar untuk kualitas kakao asalan menyebabkan upaya pemerintah dan swasta unutk meningkatkan kualitas menjadi terkendala. 
      1. Kinerja Impor Indonesia dan China sebelum dan setelah FTA (kerangka EHP)
       Terdapat dua puluh komoditi utama yang diimpor oleh Indonesia dari China yang mempunyai arti sangat penting bagi perdagangan kita yang ditunjukkan oleh pangsa yang besar dari seluruh pertanian Indonesia. Sub sektor hortikultura menempati urutan tertinggi dari total nilai impor Indonesia dari China. Komoditas bawang putih sebagai komoditas tertinggi sekitar 25,46% kemudian komoditas buah-buahan terutama buah pir, apel, danjeruk juga termasuk penyumbang devisa bagi pemerintah China dari Indonesia. Sedangkan komoditas lain merupakan bahan olahan dari karet, gula dan lain-lain. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang besar akan produk dari China. Oleh sebab itu kondisi ini perlu dicermati dengan melihat bagaimana perkembangannya sebelum dan sesudah disepakatinnya kesepakatan kerjasama perdagangan bebas antara Indonesia dan China.
     Sebelum disepakatinya perdagangan bebas antara Indonesia-China dalam bentuk Early harvest Package (EHP), sebagian besar dari ke dua puluh komoditas impor kita mennunjukkan peningkatan setiap tahunnya, tetapi setelah diberlakukannya EHP pada 1 Januari 2004 maka barang impor dari China membanjiri Indonesia dengan harga murah sehingga membuat barang lokal kalah bersaing dengan barang impor yang begitu melimpah di pasaran.

PENUTUP
      CAFTA adalah salah satu model kerjasama AFTA dengan negara sedang berkembang (NSB). Namun, model kerja sama itu akan berbeda dengan NM. Kerjassama ASEAN dengan NM  juga semakin gencar, seperti dengan Jepang, Amerika Serikat, Australia, Uni Eropa dan lain-lain.
      Indonesia sedang melangkah ke arena persaingan bebas dan amat liberal di AFTA. Kinerja perdagangan dalam kerangka bilateral maupun regional menunjukkan perkembangan yang menjanjikan. Laju pertumbuhan ekspor pasca perjanjian bilateral Indonesia-China menunjukkan peningkatan yang signifikan untuk ekspor komoditas unggulan perkebunan seperti karet, kako, minyak kepala sawit, minyak kopra, gaplek dan minyak serta lemak sayur (kacang-kacangan). Kesepakatan tarif dalam kerangka  Early Harvest Package memberikan keuntungan yang bersifat win-win solution bagi kedua negara, untuk ini Indonesia lebih diuntungkan mengingat sebagian dari komoditas ekspor kita sudah masuk dalam kerangka EHP, sedangkan dari sisi impor, komoditas pertanian yang dominan diimpor dari China masih tidak termasuk dalam kerangka EHP. Secara lebih spesifik, jika dikaji lebih dalam nampaknya Indonesia belum mendapatkan manfaat yang berlebih  dari kerangka EHP. Sebelum EHP bilateral total nilai ekspor produk pangan dan pertanian mencapai USD 2 trilyun atau sebesar 13% total ekspor ke China dan tumbuh rata-rata sebesar 11%/Th. Sejak diimplementasikan EHP tahun 2004, total nilai ekspor pertanian telah mencpai USD 4 trilyun atau sebesar 20% total ekspor ke China.
      Hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak penurunan tarif terhadap produksi, ekspor bersih, PDB dan kesejahteraan menunjukkan hasil yang positif. Dengan demikian jika  prasarana dan sarana yangmendukung terciptanya kondisi liberalisasi perdagangan  di Indonesia dapat bersifat lebih kondusif, tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya dampak negatif akibat liberalisasi perdagangan.
      Semangat liberalisasi  perdagangan yang ditunjukkan meningkatkannya jumlah impor produk pertanian dari negara-negara maju akan memberikan  peluang kita untuk  merebut pasar, namun dapat juga menjadi ancaman buat Indoensia. Khusus tentang  pertanian, Indonesia  sebaiknya dapat meningkat terus daya saing  untuk  produk-produk perkebunan dan perikanan. Juga jangan diabaikan untuk ditingkatkan produktivitas dan efisiensi  di usaha tani pangan dan pasca panen untuk produk pangan. Itu tampaknya belum tertata  dengan baik yang bersinergi dengan liberalisasi perdagangan dengan program kerja departemen teknis.
      Seharusnya liberalisasi  perdagangan itu dibahas secara detail dengan departemen teknis, yang melibatkan banyak pihak, tidak cukup hanya para birokrat. Departemen teknis seperti Deptan, harus pula memperkuat riset dan tenaga (jumlah dan kualitas) yang ikut  dalam negosiasi AFTA. Dokumentasi FTA di Deptan perlu juga ditata dengan baik, tidak tercecer dan terorganisir dengan rapi, walau ada penggantian pejabat/petugas.




















DAFTAR PUSTAKA
Basri, F.2005. “ Perkembangan Terbaru Teori Perdagangan Internasional”, Jurnal Ekonomi Bisnis Indonesia, Jakarta.
Husin, Imron.(2008). “The Emergence of China : Some Economic Chalenges to Indonesia”, Jakarta.
Posisi Produk Pertanian dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).2008. “Modul Training Agricultural Internasioanl Trade Policy”, Jakarta.
ASEAN Secretariat, lihat http://www.aseansec.org.
Jurnal Ekonomi 81: trade-diverting customs unions and welfare improvement : A clarification
Lloyd, PJ and D.Maclaren, 2007. The Case for Free Trade and the Role od RTAs Seminar on Regionalism and the WTO. Lihat di http://www.wto.org
Soesastro, H, 2008. “ Indonesia’s Role in ASEAN and Its Impact on US-Indonesia Economic Relationship”, Indonesia Quartely,” 33 (4)
WTO (2007) :  The Legal Text: the Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade negotiations, WTO Cambridge.
WRO (2007): Report by the Chairman of the Trade Negotiations Committee. WTO news item.
Hutabarat, dkk.2008. “ Analisis Perubahan dan Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Regional”, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar