PERDAGANGAN BEBAS KOMODITAS PERTANIAN
INDONESIA-CHINA
DALAM
RANGKA AFTA DAN CAFTA
Abstract
Walaupun
perdagangan bebas ASEAN-China (CAFTA atau ACFTA) mulai berlaku tanggal 1
Oktober 2010, tetapi Indonesia, selaku negara Asean, mulai dibanjiri oleh
produk-produk impor dari China. Semua produk China,
termasuk produk-produk pertanian mulai masuk ke Indonesia. Produk-produk pertanian China seperti jeruk, apel, pisang, per, dan
jenis buah-buahan lain banyak sekali dijual di Indonesia
mulai dari pasar tradisional, kaki lima
sampai pasar modern seperti Carefour,
Giant dan lain-lain. Sementara buah-buahan lokal sudah banyak sekali.
Menurut
teori perdagangan internasional, perdagangan antara negara yang tanpa hambatan
berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesialisasi
produksi komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing negara itu. Namun,
dalam kenyataan, paling tidak dari penelitian empiris dengan semakin terbukanya
suatu perekonomian tidak serta-merta menciptakan kemakmuran bagi
negara-negara yang terlibat. Banyak hasil-hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa liberalisme perdagangan dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung
dari sisi mana kita melihat. Dengan melakukan simulasi dari beberapa scenario,
Hutabarat dkk (2008) mendapatkan
bahwa kebijakan yang mengarah ke perdagangan yang semakin terbuka, yakni dengan
penurunan out of quota tariff di
negara-negara kawasan Asia dan Eropa akan menurunkan tingkat kesejahteraan
masyarakat Indonesia, tetapi penurunan out of quota tariff di kawasan
Amerika akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun,
skenario kebijakan-kebijakan ini semuanya memberikan peningkatan surplus
produsen padi, jagung, oil seeds, roots and tuber di Indonesia.
Dalam
perkembangan terakhir ini, banyak negara mencoba mencari alternative ke arah
liberalisme melalui Perdagangan Bebas Kawasan/PBK (Regional Free Trade/RFT),
melalui mekanisme Kesepakatan Perdagangan Preferensi/KPP atau Kesepakatan
Perdagangan Wilayah/KPW (Regional TradeAgreement/RTA), Kawasan
Perdagangan Bebas/KPB (Free Trade Area/FTA) dan sebagainya. Sampai bulan
Oktober 2004, di markas OPD telah te4rdaftar sebanyak 300 kawasan perdagangan
terbatas/KPT atau preferential trade area/PTA dari seluruh dunia.
Sebanyak 176 buah diantaranya terbentuk setelah tahun 1995, saat OPD terbentuk
(Sutherland 2004). Dari sejumlah KPT itu, 150 di antaranya telah berlangsung
ditambah 70 buah yang lain dan sedang berjalan meskipun belum didaftarkan ke
markas OPD. Menurut catatan OPD hamper setiap negara saat ini turut dalam
satu kelompok perdagangan bebas kawasan dan bahkan ada satu negara yang
mengikuti 20 kelompok perdagangan terbatas.
Dengan
perkembangan seperti ini, Indonesia sangatlah membutuhkan informasi dan data
yang dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan setuju
tidaknya melakukan perdagang bebas terbatas dengan negara atau kelompok negara
memang layak diikuti, Indonesia juga membutuhkan informasi dan data tentang
komoditas pertanian apa yang sebaiknya diikutsertakan dalam program
liberalisasi terbatas dan apa yang tidak diikutsertakan serta bagaimana
scenario penurunan hambatan perdagangannya. Sementara itu, Indonesia dan
bersama negara-negara tetangganya di Asia Tenggara telah hampir 15 tahun berada
dalam kelompok AFTA (Asian Free Trade Area, kawasan perdagangan bebas Asia),
yang telah menerapkan program penurunan tariff sejak tahun 2002. AFTA sendiri
menggunakan mekanisme penurunan tariff istimewa secara efektif dan bersama
atau Common Effevtive Preferential
Tariffs/CEPT, dimana produk-produk yang diikutsertakan dimasukkan kedalam
tiga katagori yang berbeda, yakni fast track atau jalur cepat,
sementara. Tingkat tariff rata-rata bagi produk-produk yang termasuk
daftar inklusif mencapai sekitar 2.5 persen pad atahun 2004. Indonesia sendiri telah memasukkan
lebih dari 7.000 produknya (termasuk produk-produk pertanian yang belum
diproses) ke dalam daftar inklusif. Pada tahun 2008, atau jadwal akhir AFTA
bagi negara-negara pendiri ASEAN, tingkat tariff sudah mencapai 0-5 persen untuk semua produk,
termasuk produk-produk yang sebelumnya masuk dalam daftar pengecualian.
Keikutsertaan di AFTA adalah pengalaman pertama Indonesia mengikuti
kelompok perdagangan terbatas, kemudian diikuti Indonesia-China FTA pada tahun
2004, sebagai pengalaman kedua. Dari pengalaman-pengalaman ini mungkin dapat
diperoleh pelajaran berharga dalam menghadapi tawaran perdagangan terbatas
berikutnya.
PEMBAHASAN- Ragam Pola Kesepakatan Perdagangan Terbatas/KPT
Di
wilayah Asia negara seperti Jepang telah
semakin intensif menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai
negara lain di kawasan yang sama maupun di luar kawasannya. Saat
ini Jepang telah menjalin dan sedang mengkaji kerjasama dengan sekitar 13
negara atau kelompok negara melalui kerjasama kemitraan ekonomi/KKE atau economic
partnership agreement/EPA sebagai cikal-bakal untuk kesepatakan
perdagangan bebas (Tabel 1). Dalam memprakarsai,mengikuti dan
memanfaatkan strategi KPTnya, Jepang memiliki beberapa motif (Urata 2005) : (i)
memperoleh akses yang lebih besar ke pasar luar negeri sebagai motif yang
paling utama melalui persaingan dengan pemasok-pemasok lain, (ii) melakukan
pengembangan usaha di negara mitra melalui investasi langsung atau
foreignpdirect investment/FDI yang juga akan mengalami liberalisasi dan
fasilitasi, (iii) membantu reformasi struktural di dalam negeri untuk
menggairahkan ekonomi yang mandeg saat ini, (iv) untuk membantu peningkatan
pertumbuhan ekonomi di Asia dan (v) sebagai suatu alat untuk melaksankan
kebijakan kawasan agar perusahaan-perusahaan Jepang melakukan uasahanya di
kawasan ini secara bebas dan aman.
Hal yang sama
dilakukan Korea Selatan dengan Chile (2004), dengan ASEAN (2006) tanpa Thailand
karena masalah beras yang tidak termasuk, dengan China. Menurut Urata (2006),
keikutsertaan Jepang baru dalam berbagai KPT sampai setahu lalu masih bersifat
pasif, karena (i) Jepang baru memulai perundaingan tenantng KPT setelah Jepang
mengusulkan pembentukan Japan-ASEAN FTA dan (ii) prakarsa
KPT dengan ASEAN oleh Jepang dipicu oleh KPT China dengan ASEAN. Di
wilayah ASEAN yang paling aktif dalam upaya ke arah ini adalah Singapura dengan
kebiijakannya memulai kerjasama perdagangan bilateral dengan mitra yang sangat
beragam misalnya dengan Selandia Baru (2001), Japan (2002), Australia (2003),
Amerika Serikat (2004), Korea (2006), Kanada, Eropa dan akan menyusul dengan
Chile dan Meksiko. Menurut beberapa penulis kecnderungan perundaingan
pembentukan KPT yang baru ini kemungkinan akan semakin berkembang di Asia Timur
.
Tabel 1. FTA/EPA yang diikuti dan
dirundingkan Jepang
Tahap saat ini
|
|
Japan-Singapore Economic Partnership Agreement for a New
Age Partnership
|
Efektif November, 2002
|
Japan-Mexico Economic Partnership Agreement
|
Efektif November, 2004
|
Japan-Philippines EPA |
Disetujui November, 2004
|
Japan-Malaysia EPA
|
Disetujui Mei, 2005
|
Japan-Thailand EPA
|
Disetujui Agustus, 2005
|
Japan-Korea EPA
|
Negosiasi mulai Desember, 2003
|
Japan-ASEAN Comprehensive Economic
|
|
Partnership (CEP)
|
Negosiasi mulai April, 2005
|
Japan-Indonesia EPA
|
Negosiasi mulai July, 2005
|
Japan-Chile EPA
|
Mulai kerjasama penelitian bersama antara ahli-ahli
industri pemerintah Januari, 2005
|
Japan-India EPA
|
Mulai kerjasama penelitian bersana antara ahli-ahli
industi pemerintah Juli, 2005
|
Japan-Australia EPA
|
Setuju memulai kerjasama penelitian April, 2005
|
Japan-Switzerland EPA
|
Setuju memulai kerjasama penelitian April, 2005
|
Japan-China-Korea FTA
|
Saat ini melakukan kerjasama penelitian November, 2000
|
ASEAN+3
|
Setuju melakukan pertemuan puncak November, 2004
|
Indonesia
sendiri saat ini telah turut-serta dalam beberapa kawasan perdagangan bebas,
antara lain: (i) di lingkungan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara/PNAT [the
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)] yang disebut AFTA (ASEAN
Free Trade Area) atau Kawasan Perdagangan Bebas/KPB ASEAN,
(ii) perjanjian perdagangan bebas bilateral/PPBB dan kawasan atau
regional/PPBL atau PPBR [Bilateral and Regional Free Trade Agreements (BFTAs
and RFTAs)] ASEAN dengan China atau ASEAN-China FTA, (iii) PPBB Indonesia
dengan China (Indonesia-China FTA), dan akan muncul perjanjian-perjanjian bebas
kawasan yang lain seperti Indonesia-Korea FTA, Indonesia-Japan FTA,
Indonesia-India FTA, Indonesia-Pakistan FTA, Indonesia-Australia-New Zealand
FTA dan mingkin juga Indonesia-USA FTA atau Indonesia-EU FTA. Negara-negara
bakal mitra tadi sudah mengambil prakarsa dengan mendekati pihak Indonesia.
Ada yang melakukannya secara sangat perlahan-lahan tetapi juga ada yang
melakukan secara intensif, seperti Korea, Jepang dan Amerika Serikat dan
tampak, pihak bakal mitra Indonesialah yang pertama mengambil prakarsa
sementara Indonesia hanya bersifat menunggu dan baru kemudian mengkajinya
setelah perjanjian ditandatangani.
Sejalan
dengan kemunculan KPT yang semakin berkembang, literatur telah mencatat
berbagai analisis tentang dampak dan potensi dampak KPT berupa prakiraan
sebelum kesepakatan diberlakukan (ex ante analysis) atau perhitungan
setelah beberapa saat kesepakatan berjalan (ex-post analysis) dan bahkan
secara teoritis konseptual. Viner (1950) yang diulas dalam Kerangka Pemikiran
telah mengembangkan pendapatnya tentang dua sisi dampak KPT yakni melalui peluang
penciptaan perdagangan dan pengalihan perdagangan. Dua konsep ini kemudian
mengundang dimensi baru pembahasan tentnag KPT yakni, pengaruh mi-dimangkung
dan batu landasan atau batu sandungan ke perdagangan bebas. Sampai saat
ini, seiring dengan perjalanan waktu dampak KPT dapat menguntungkan atau dapat
merugikan negara-negara yang terlibat.
Dari tinjauan
kritis terhadap dokumen yang disepakati dalam ASEAN-China FTA, tampaknya adalah
ia merupakan salah satu model kerjasama AFTAs dengan negara berkembang (NB).
Namun, model kerja sama itu akan berbeda dengan negara maju (NM). Kerjasama
ASEAn dengan NM juga semakin gencar, seperti dengan Jepang dan lain-lain.
Dalam hal ini Indonesia
sedang melangkah ke arena persaingan bebas dan amat liberal di AFTA. Itu akan
memberikan peluang kita untuk merebut pasar, namun dapat juga menjadi ancaman
buat Indonesia.
Khusus tentang pertanian, Indonesia
sebaiknya dapat meningkat terus daya saing untuk produk-produk
perkenbunan dan perikanan. Juga dangan diabaikan untuk ditingkatkan
produktivitas dan efisiensi di usaha tani pangan dan pasca panen untuk produk
pangan. Itu tampaknya belum tertata dengan baik yang bersinergi dengan
liberalisasi perdagangan dengan program kerja departemen teknis.
Seharusnya
liberalisasi perdagangan itu dibahas secara detil dengan departemen teknis,
yang melibatkan banyak pihak, tidak cukup hanya para birokrat. Departemen
teknis seperti Deptan, harus pula memperkuat riset dan tenaga (jumlah dan
kualitas) yang ikut dalam negosiasi AFTA. Dokumentasi FTA di Deptan perlu juga
ditata dengan baik, tidak tercecer dan terorganisir dengan rapi, walau ada
penggantian pejabat/petugas.
- Tinjauan kritis terhadap aturan dan ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian perdagangan bebas Indonesi-China dan kerjasama AFTA.
ASEAN
dibentuk pada pertengahan 1967, dengan tujuan utamanya adalah ”is to
accelerate economic growth through joint endeavors, under the aegis of the
Foreign Ministers”. Khusus tentang perdagangan bebas, AFTA yang diputuskan pada
pertemuan KTT ASEAN-6 di Singapura, Januari 1992. Itu merupakan program
pengurangan tariff secara bertahap, serta penghapusan hambatan tariff pada
tahun 2008. Selanjutnya sejumlah hambatan non-tariff dihilangkan, dilakukan
juga harmonisasi kepabeanan, penilaian dan prosedurnya, dan membangun
standarisasi sertifikasi produk. Dengan tambahan itulah, maka kemudian
dinamakan AFTA Plus.
Tingkat
kemajuan ekonomi diantara anggota ASEAN adalah amat beragam, juga tingkat
kemakmuran (GDP/kapita). Negara yang GDP per kapita di atas USD 3.000 adalah Singapura, Brunei,
Malaysia.
Sedangkan negara anggota yang GDP/kapita rendah (kurang dari USD 500) adalah Laos, Kamboja,
Myanmar.
Sedangkan Indonesia, Filipina, Thailand
berada diantara ekstrim tersebut.
Struktur dan
perubahan struktur ekonomi diantara negara-negara ASEAN juga besar. Pada
tahun 2003, peran sektor pertanian Indonesia hanya 16,6%, bandingkan dengan
Kamboja mencapai 34,5%, Myanmar sebesar 57,2%, Laos sebesar 48,6%. Peran sektor
pertanian pada tahun yang sama untuk Malaysia hanya 9,7%, Singapura
tidak sampai 1%. Rincian struktur ekonomi dan perubahannya dapat dilihat
dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Struktur ekonomi dan
perubahan di ASEAN : 1985 dan 2008
Pertanian (%)
|
Non-Pertanian (Industri+Jasa) (%)
|
|
Indonesia
:
19852008 |
23,2 |
76,8 |
Malaysia
:
19852008 |
19,9 |
80,1 |
Filipina :
19852008 |
24,6 |
75,4 |
Singapura :
19852008 |
0,2 |
99,8 |
Thailand
:
19852008 |
15,8 |
84,2 |
Kamboja :
19852003 |
50,4 |
49,6 |
Laos
PDR:
19852008 |
55,7 |
44,3 |
Myanmar
:
19852008 |
48,2 |
51,8 |
Vietnam
:
19852008 |
40,2 |
59,8 |
Dirancang
pula Common Effective Preferential Tariff (CEPT). CEPT itu adalah mekanisme
perdagangan barang di wilayah ASEAN dengan kandungan produksinya mencapai
40%, maka tingkat tariff untuk produk itu dikurangi menjadi 0-5%
sampai tahun 2002/2003. Sejumlah negara ASEAN yang baru bergabung diberikan
waktu yang lebih lama untuk liberalisasi. Untuk Vietnam 2006, Laos
dan Myanmar 2008, dan Kamboja 2010.
Pengurangan
tingkat tariff di AFTA mengikuti dua jalur (track) yaitu JAlur Normal (Normal Track =NT) dan Jalur CEpat ( Fast Track =
FT). Pada FT, tarif sebagian besar dikurangi menjadi 0-5% sampai 2000,
sedangkan unutk NT diturunkan pada tingkatan yang sama sampai 2002.
Negara
anggota juga memperoleh pengecualian dari penurunan tariff menurut ketentuan
CEPT diatas. Pengecualian tersebut dimungkinkan dalam persetujuan AFTA
yang diperjelas dalam a Protocol Regardingn the Impelemtation of the CEPT
Scheme Temporary Exclusion List. Ada
3 kelompok produk yang mendapatkan pengecualiannya yaitu : (i)
Pengecualian temperor (temporary exclusions), (ii) Produk
pertanian sensitive (Sensitive Agriculture Products), dan (iii)
Pengecualian umum (general eceptions).
Sebagian dari
produk pertanian yang dikecualikan dalam penurunan tarif, sehingga waktu
liberalisasi perdagangan menjadi lebih lama yaitu 2010. Yang masuk dalam
Pengecualian Umum itu adalah yang terkait dengan keamanan nasional, masalah
moral publik, perlindungan manusia, hewan dan tumbuhan, barang-barang seni,
bersejarah, dan bernilai aerkeologis. Adapun rincian besarnya jumlah pos tarif
masing-masing negara anggota ASEAN dengan rincian Inclusion List, Temporary
Exclusion List, General Exclusion List dan Sensitive List tertera dalam
Tabel 3.
Sebagian besar – sebanyak 55.680 atau
85% dan total pos tarif yang jumlahnya 65.529 di ASEAN adalah masuk dalam
katagori Inclusion List. Sedangkan Sensitive List jumlahnya tidak
sampai 1% dari total pos tarif di ASEAN. Indonesia mencatat hanya 4 pos tarif
yang masuk dalam sensitive list itu, bandingkan dengan Malaysia sebanyak
83, dan Filipina dan Kamboja masing-masing 50, dan Laos sebanyak 88 pos tarif.
Khusus untuk
produk pertanian di AFTA, Indonesia aalah salah satu negara kompetitor untuk
sejumlah produk pertanian, seperti karet, kopi, CPO, gula, kopra dengan
negara Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina. Demikian juga untuk sejumlah
produk pangan, Indonesia mengimpor dari negara ASEAN, terutama dari
Vietnam dan Thailand, itu juga sebagai kompetitor kita dalam produksi pangan
yang sama, terutama beras dan gula. Kinerja ekspor dan impor Indoenesia selama
liberalisasi ini akan dibahas dalam bab tersendiri.
- ACFTA (ASEAN China Free Trade Area)
Pada awalnya,
Negara ASEAN melihat FTA yan dirancang pada 1992 sebagai suatu
arena integrasi ekonomi di dalam Negara ASEAN itu sendiri (Soesastro 2005).
Karena yang terkait dengan multilateral sudah terangkum di OPD. Namun, pada
2001, pada KTT ASEAN-China yang diselenggarakan di Brunai, Negara China
dating dengan proposal ASEAN-China FTA dalam 10 tahun. Selanjutnya di Phnom Penh pada 2002, para pemimpin negara ASEAN
damn China
menandatangani CEC (Comprehensive Economic Cooperation) yang juga masih
berada di dalam FTA. Munculnya, proposal dari China
ini, karena pada waktu itu, China
mengalami kesulitan masuk ke WTO (Soesastro 2005).
Dalam
ASEAN-China Framework Agreement on CEC itu terdiri dari 3 elemen yaitu :
Liberalisme, Fasilitas, dan Kerjasama Ekonomi. Disamping itu, ditambah dengan
mekanisme dalam implementasi perjanjian tersebut, termasuk di dalamnya tentang
perdagangan barang, jasa dan investasi. DIrancang pula tentang perlakuan khusus
dan fleksibilitas buat Negara ASEAN yang baru, untuk CLMV (Camboja, Laos, Myanmar
dan Vietnam).
Tabel 3. AFTA : Common Effective Preferential Tariff (CEPT) List untuk 2008
Inclusion
List
|
Temporary
Exclusion List
|
General
Exception List
|
Sensitive
List
|
Total
|
|
Brunai
Indonesia |
6,284
7,190 |
0
21 |
202
68 |
6
4 |
6,492
7,283 |
Malaysia
PhilippinesSingapore Thailand |
9,654
5,6225,821 9,104 |
218
60 0 |
53
1638 0 |
83
500 7 |
10,008
5,6945,859 9,111 |
ASEAN-6
TotalPercentage Cambodia Laos |
43,675 3,115 1,673 |
245 3,523 1,716 |
377 134 74 |
150 50 88 |
44,447 6,822 3,551 |
Myanmar
Vietnam |
2,984
4,233 |
2,419
757 |
48
196 |
21
51 |
5,472
5,237 |
New Members
TotalPercentage ASEAN TOTAL PERCENTAGE |
12,00 55,680 84.74 |
8,415 8,660 13.40 |
452 829 1.28 |
210 360 0.55 |
21,082 65,529 100 |
Sumber
: ASEAN Secretariat (2008)
Sebelum Early
Harvet Program, ketentuan pengurangan tariff dan penghapusan tariff dilakukan
dalam 2 track yaitu : track normal dan track sensitive. Produk yang masuk dalam
NT, tingkat applied tariff produk tersebut harus dikurangi atau dihapus
sesuai dengan skedul, bertahap dari tahun 2005 sampai 2010 unutk ASEAN-6.
Akan tetapi untuk Negara CLMV sampai dengan 2015.
Dalam ACFTA,
diperkenalkan Early Harvest Program (EHP) seperti yang tercantum dalam
Framework Agreement, Yaitu tahap pertama dari 3 tahap penurunan tingkat tariff,
dikenal EHP. Tahap pertama tariff turun menjadi 0-10%, dan tahap terkahir 2006,
semua tariff telah 0%. lihat Tabel 4.
Produk
yang masuk di dalamnya adalah produk dalam Chapter 01 samapai Chapter 08
pada tingkat HS 8/9 digit. Itu hampir semuanya produk pertanian dan perikanan,
seperti binatang hidup, daging, ikan, susu, produk binatang lainnya, tumbuhan,
sayuran kecuali jagung manis, buah-buahan dan kacang. Tingkat tariff EHP menjadi
0% mulai 1 Januari 2006.
Table 4 Tingkat penurunan tariff itu
EHP dengan 3 tahap penurunannya(X) |
Semua tariff turun per 1 Januari 2004 yaitu menjadi:
|
Semua tariff turun pada 1 Januari 2005 menjadi :
|
Turun lagi pada 1 Januari 2006
0% |
X > 15%
|
10%
|
5%
|
0%
|
5% < X < 15%
|
5%
|
0%
|
0%
|
X < 15%
|
0%
|
0%
|
0%
|
Indonesia
telah meratifikasi EHP melalui keputussan menteri keuangan. Indonesia telah
mengeluarkan 2 keputusan yaitu SK Menkeu no. 355/KMK.01/2004 tentang penetapan
tariff bea masuk dalam kerangka EHP ASEAN-CHINA, dan no.356/KMK.01/2004 tentang
penetapan tariff bea masuk dalam kerangka EHP Indonesia-China. Menurut
ketentuan itu, maka sejak 2006, Indonesia menetapkan tariff bea masuk untuk
produk impor dari China mennjadi 0%, yaitu kopi (HS 0901), minyak kepala dll
(HS 1513), lemak dan minyak (HS 1516), margarine dan sejenis (HS 1517), coklat
(HS 1806), sabun (3401), karet (HS 4016), gelas (HS 7011), tempat duduk (HS
9401), dan perabot (HS 9403).
Tahap II dari
ACFTA adalah penurunan tariff menurut Normal Track yang dikelompokkan dalam 5
kelompok tariff. Dalam normal Track itu, ada 4 tahapan tingkat penurunannya,
seperti yang tertuang dalam Tabel berikut :
Table 5. Normal Track dengan 4 periode
waktu dan tingkat penurunan tariff, pada 5 kelompok tariff.
(X) |
Semua tariff turun per 1 Juli 2005 yaitu menjadi :
|
Semua tariff turun pada 2007 menjadi :
|
Turun lagi pada 2009 akan menjadi (5%-0%)
|
Pada 2010 semua tariff menjadi 0%
|
X>20%
|
20%
|
12%
|
5%
|
0%
|
15%
|
15%
|
8%
|
5%
|
0%
|
10%
|
10%
|
5%
|
0%
|
0%
|
5%
|
5%
|
5%
|
0%
|
0%
|
X<5 p="">
5>
|
5%
|
5%
|
0%
|
0%
|
Masih dalam
tahap II, dikenal pula Sensitive Track. Sensitive track itu dapat digolongkan
menjadi dua yaitu SENSITIVE LIST dan HIGHLY SENSITIVE LILST.
Antara ASEAN-6 dengan China,
itu ditetapkan palinng banyak/ maksimum jumlah 400 post tariff dengan HS 6
digit, dan 10% untuk total nilai impor berdasarkan data 2001. Sensitive list
itu tidak boleh melebihi dari 40% dari jumlah pos tariff dalam Sensitive
Track, atau 100 pos tariff dengan HS6-digit yang terendah.
Untuk Negara
CLMV, maksimum jumlah pos tariff adalah 500. Perlu dicatat bahwa jumlah pos
tariff untuk ASEAN-6 berkisar dari 5.600 (Filipina) dan 10.400 (Malaysia).
Jumlah pos tariff untuk itu diperlihatkan dalam table berikut. Indonesia
menetapkan 350 masuk sensitive, dan 50 untuk highly sensitive.
Disamping Indonesia,
Camboja juga mencatat banyak produk yang masuk dalam sensitive dan highly
sensitive yaitu masing-masing 350 dan 150. Sedangkan China menetapkan hanya 161 dan 100
pos tariff unutk masing-masing sensitive dan highly sensitive.
Table 6. ASEAN China FTA : Jumlah Pos Trif untuk
Sensitive dan Highly Sensitive List (HS-6 digit)
Sensitive
|
Highly Sensitive
|
|
Brunei
|
66
|
34
|
Camboja
|
350
|
150
|
Indonesia
|
349
|
50
|
Lao PR
|
88
|
30
|
Malaysia
|
272
|
96
|
Myanmar
|
271
|
0
|
Filipina
|
267
|
77
|
Singapura
|
1
|
1
|
Thailand
|
242
|
100
|
Vietnam
|
ta
|
Ta
|
China
|
161
|
100
|
Applied
tariff untuk produk yang masuk dalam Sensitive List harus
diturunkan, yaitu menjadi 20% paling lambat 1 Januari 2012, dan itu diturunkan
lagi sehingga menjadi 0-5% paling lambat 1 Januari 2018. Khususnya untuk CLMV,
targetnya masing-masing Negara itu adalah menjadi 1 Januari 2015 dan 1 Januari
2020. Khususnya tentang Sensitive track ini akan ditinjau ulang (review) pada
2008.
Dalam ACFTA
juga tercakup tentang ROO (rule of origin)3, lihat dalam
Annex 3. ROO disebutkan sebagai berikut. Suatu produk dapat diperlakukan
sebagai produk asal yaitu apabila : (i) tidak kurang dari 40% berisi dengan
produk original; (ii) jika nilai material, sebagian atau dihasilkan tidak lebih
dari 60% dari nilai FOB Negara penghasil. Kemusian ditambah lagi dengan adanya
Cumulative ROO. Yaitu apabila produk akhir tidak lebih dari 40%. Perlu
ditambahkan bahwa ROO ACFTA adalah sama dengan ROO AFTA, karena itu diadopsi
secara eksplisit dari GATT 1994.
- Kinerja perdagangan komoditas pertanian Indonesia-China dan kerjasama AFTA sebelum dan setelah dicapainya kesepakatan.
- Keragaan Ekspor Komoditas Pertanian Indonesia sebelum dan setelah FTA
Pertumbuhan
perekonomian China berkembang dengan sangat pesat pasca diperbaharuinya sisitem
politik perdagangan yang liberal, selama lebih dari 25 tahun China mengalami
pertumbuhan yang stagnan (sebelum tahun 1980). China menjadi pemimpin perekonomian
dunia dengan pangsa perdagangan yang sangat tinggi selama periode 1985-2000.
Disisi lain selain keberhasilan di bidang perekonomian, China menjadi Investasi Asinng Langsung (FDI) China yang pesat memberikan keuntungan tersendiri
bagi negara-negara lingkup ASEAN termasuk didalamnya Indonesia.
Penguasaan
teknologi di segala bidang, menjadikan China
menjadi Negara eksportir yang sangat kuat untuk produk-produk yang berbasis
teknologi (texhnology – based product) dan sedangkan untuk produk yang
bersifat non resource based, China menempati urutan 3 tertinggi
di dunia. Imran (2004) mengemukakan beberapa persamaan antara China dan Negara-negara ASEAN
diantaranya memiliki kekayaan alam yang tidak terbatas dan saat ini sama-sama berkepentingan
untuk meningkatkan kinerja ekspornya. Berkenaan dengan hal tersebut berbagai
perjanjian kerjasama perdagangan telah disepakati demikian halnya denngan Indonesia,
data-data berikut ini akan menguraikan kinerja perdagangan Indonesia-China dari
sisi ekspor, impor dan performa komoditas-komoditas pertanian unggulan.
Dengan
mengurutkan data nnilai ekspor yang dikeluarkan oleh BPS tahun 2006
berhasil dipilih komoditas pertanian utama yang menjadi komoditas andalan
ekspor Indonesia-China. Produk perkebunan merupakan andalan utama ekspor
Indonesia, tempat teratas diduduki oleh produk minyak sawit lainnya, karet,
minyak sayur, minyak sawit, minyak inti sawit, karet lembaran, dan coklat,
sedangkan untuk produk tanaman pangan, sejalan dengan maraknya pengembangan
bahan bakar yang berbasis tanaman atau dikenal dengan nama bio energy,
permintaan akan gaplek dalam bentuk chips dan kering meningkat dengan sangat
tajam.
Data
pada Tabel 7 menunjukkan kinerja ekspor komoditi pertanian utama Indonesia-China.
Sebelum ditandatanganinya kesepakatan perdagangan bilateral Indonesia-China,
komoditi yang mengalami pertumbuhan ekspor cukup pesat adalah produk karet
(SBR) sebesar 54,95 persen pertahun dan produk karet lainnya seperti SIR 3 CV
(26,62%/tahun)., SIR 20 (26,62%/tahun). Selain karet, kelapa sawit merupakan
komoditi ekspor unggulan seperti minyak inti sawit (46,27%/tahun), produk
minyak inti sawit lainnya 950,45%/tahun). Selain komoditi perkebunan, minyak
sayur merupakan produk ekspor yang cukup menjanjikan dengan laju pertumbuhan
35,26 persen pertahunnya. Pasca perjanjian perdagangan pertumbuhan laju ekspor
yang mengalami peningkatan cukup tinggi adalah minyak dan lemak dari sayuran,
minyak sawit, serta seluruh produk karet. Menurut pengamatan di Propinsi
Sumatera Selatan, permintaan karet mentah baik dalam bentuk SIR 20 atau karet
lembaran dari China mengalami peningkatan yang cukup tajam hamper menyaingi
eksportir utama karet Indonesia, Amerika Serikat, bahkan diperkirakan hingga 5
tahun kedepan China akan menjadi daerah tujuan karet Indonesia dengan laju
permintaan mencapai 61,20 persen pertahunnya. Selain produk karet, selaras
dengan permintaan akan bahan bakar berbasis tanaman pertumbuhan ekspor gaplek
dalam bentuk chips mengalami peningkatan jika sebelumnya FTA cenderung menurun
dengan laju pertumbuhan 13,74 persen pertahun, pasca FTA terjadi perbaikan
permintaan meskipun dengan laju yang masih negative.
Kesadaran
akan tingkat kesehatan yang lebih baik bagi sebagian besar penduduk China
selaras dengan pencapaian tingkat pendidikan yang lebih tinggi menngakibatkan
permintaan akan minyak dan lemak dari kacang-kacangan meningkat sangat tinggi
pasca perjanjian FTA. Selama periode 1997-2003 permintaan akan produk ini
meningkat sebesar 35,26 persen pertahunnya, pasca FTA menjadi 149,32 persen
pertahun.
Table 7.
Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi Pertanian Utama Indonesia
– China
(persen/tahun)
hs
|
sitc
|
Description
|
1997-2005
|
1997-2003
(sebelum FTA) |
2004-2006
(setelah FTA) |
|
1
|
151190
|
42229000
|
Minyak
Sawit lainnya
|
20,78
|
12,21
|
13,01
|
2
|
400122
|
23125160
|
Karet
SIR 20
|
25,25
|
26,62
|
64,76
|
3
|
151620
|
43122100
|
Minyak
dan lemak dari sayuran (kacang-kacangan)
|
1,94
|
35,26
|
149,32
|
4
|
151110
|
42221000
|
Minyak
sawit
|
8,22
|
-4,80
|
115,11
|
5
|
400121
|
23121000
|
Karet
lembaran (smoked sheets)
|
34,49
|
15,20
|
61,29
|
6
|
151321
|
42241000
|
Minyak
inti sawit (Crude Oil of Palm Kernel)
|
43,89
|
46,27
|
31,18
|
7
|
151311
|
42231000
|
Minyak
Copra (Crude Oil of Copra)
|
30,30
|
29,30
|
38,73
|
8
|
180100
|
07211000
|
Biji
coklat, pecah dan setengah, mentah atau roasted
|
11,94
|
-12,64
|
28,52
|
9
|
400219
|
23211910
|
Karet-Polybutadiene-styrene
(SBR)
|
35,23
|
54,95
|
20,29
|
10
|
151329
|
42249000
|
Minyak
Inti Sawit lainnya
|
40,98
|
50,45
|
-16,84
|
11
|
71410
|
05481100
|
Gaplek
iris dan kering (manioc)
|
8,44
|
-13,41
|
-4,86
|
12
|
400122
|
23125110
|
SIR
3CV
|
36,34
|
26,62
|
-58,19
|
13
|
151790
|
09109910
|
Other
Edible Mixture of Vegetable Origin
|
32,47
|
-4,20
|
-64,26
|
14
|
400211
|
23211110
|
Polybutadiene-styrene
Latex
|
16,47
|
21,96
|
-1,71
|
15
|
151710
|
09109000
|
Margarine
curah
|
10,88
|
-9,55
|
-88,28
|
16
|
151319
|
42239000
|
Minyak
Copra lainnya
|
-2,59
|
-23,89
|
-13,86
|
17
|
400599
|
62119990
|
Karet
Campuran Lainnya
|
36,37
|
0,00
|
129,49
|
Sumber : BPS 1997-2008
Didalam
perjanjian perdagangan bilateral Indonesia-China juga disepakati kesepakatan
tariff yang dikenal dengan “Early Harvest Package” untuk beberapa komoditi
pertanian, adapun performa nilai ekspor komoditi pertanian yang masuk dalam
katagori EHP dapat dilihat pada Table 8 beriku ini
Table 8. Nilai Ekspor Komoditi
Pertanian dalam kerangka Early Harvest Package Tahun 2007-2008
Jenis
Produk
|
2007
( $ 000)
|
2008
($ 000)
|
|
90111
|
Coffee
not roasted, - Not decaffeinated
|
608,48
|
2822,63
|
90112
|
Coffee,
not roasted, - Decaffeinated
|
31,72
|
|
151311
|
Coconut
(copra) oil and its fraction – Crude oil
|
19640,08
|
58649,26
|
151319
|
Coconut
(copra) oil and itf fractions - other
|
7521,65
|
4977,62
|
151321
|
Palm
kernel or babassu oil fractions thereof – Crude oil
|
48756,64
|
83446,93
|
151329
|
Palm
kernel or babassu oil fractions thereof - Other
|
19568,75
|
25704,57
|
151620
|
Vegetable
fats and oils their fractions
|
229,99
|
202,99
|
151710
|
Margarine,
excluding liquid margarine
|
3195,98
|
|
151790
|
Other
|
25049,03
|
1744,39
|
401691
|
Other
- Floor coverings and mats
|
16
|
|
4011693
|
Other
– gaskets, washers and other seals
|
64,50
|
30,97
|
401699
|
Other
|
3627,38
|
|
TOTAL
|
128278,479
|
177611,081
|
Jika
dibandingkan produk-produk unggulan ekspor Indonesia dengan komoditi yang
masuk dalam EHP, hanya minyak kopra, minyak inti sawit, minyak dan lemak sayur
serta margarine. Sedangkan untuk komoditi karet lainnya tidak masuk dalam
kerangka EHP demikian halnya dengan kakao, dan gaplek. Perbaikan terhadap
usulan EHP hendaknya dapat ditinjau kembali dan seharusnya bersifat dinamis,
para negosiator perdagangan Indonesia dapat mempertimbangkan unutk memasukkan
komoditi unggulan pertanian lainnya dalam kerangka EHP mengingat dimasa yang
akan dating Indonesia dengan ketersediaan sumber daya lahan yang
masih berlimpah khususnya di wilayah timur Indonesia dapat dikembangkan sebagai
daerah penghasil komoditi bahan baku bio energy. Perhatian pemerintah akan
berkelanjutan produk-produk perkebunan nampaknya harus semakin ditingkatkan,
selama ini tanaman kelapa di propinsi sentra produksi seperti Sulawesi Utara
belun banyak mendapatkan perhatian, masih banyak tanaman berusia tua tanpa
pernah dibongkar dan diganti dengan tanaman baru. Kebijakan pemerintah yang pro
pasar harusnya bias menjadi stimulus untuk meningkatkan produksi unggulan di
tiap-tiap propinsi.
Hasil
kunjungan di lapangan mendukung data keragaan ekspor seperti yang telah
diuraikan diatas, Propinsi Sulawesi Selatan merupakan propinsi penghasil kakao
terbesar di Indonesia.
Komoditi kakao sendiri memberikan kontribusi ekpor yang cukup tinggi dengan
laju pertumbuhan yang meningkat dengan sangat pesat, jika selama periode
1997-2003 cenderung menurun, pasca FTA meningkat cukup tinggi dengan laju
pertumbuhan selama tiga tahun terakhir mencapai 28,52 persen pertahun.
Pelabuhan Makasar telah siap menjadi pelabuhan internasional dengan dukungan
prasarana yang telah dibangun. Pelabuhan ini menjadi pintu masuk produk-produk
perkebunan yang banyak didatangi dari wilayah timur Indonesia. Kontinuitas produk
menjadi kendala tersendiri, seperti wawancara dengan eksportir kakao di
Makasar, pola panen dan paasca panen masih menjadi kendala, karenamasih
lemahnya pengetahuan masyarakat dalam berbudidaya kakao, disamping itu
tersedianya pasar untuk kualitas kakao asalan menyebabkan upaya pemerintah dan
swasta unutk meningkatkan kualitas menjadi terkendala.
- Kinerja Impor Indonesia dan China sebelum dan setelah FTA (kerangka EHP)
Terdapat dua
puluh komoditi utama yang diimpor oleh Indonesia
dari China yang mempunyai
arti sangat penting bagi perdagangan kita yang ditunjukkan oleh pangsa yang besar
dari seluruh pertanian Indonesia.
Sub sektor hortikultura menempati urutan tertinggi dari total nilai impor Indonesia dari China. Komoditas bawang putih
sebagai komoditas tertinggi sekitar 25,46% kemudian komoditas buah-buahan
terutama buah pir, apel, danjeruk juga termasuk penyumbang devisa bagi
pemerintah China dari Indonesia.
Sedangkan komoditas lain merupakan bahan olahan dari karet, gula dan lain-lain.
Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia
yang besar akan produk dari China.
Oleh sebab itu kondisi ini perlu dicermati dengan melihat bagaimana
perkembangannya sebelum dan sesudah disepakatinnya kesepakatan kerjasama
perdagangan bebas antara Indonesia
dan China.
Sebelum
disepakatinya perdagangan bebas antara Indonesia-China dalam bentuk Early
harvest Package (EHP), sebagian besar dari ke dua puluh komoditas impor
kita mennunjukkan peningkatan setiap tahunnya, tetapi setelah diberlakukannya
EHP pada 1 Januari 2004 maka barang impor dari China
membanjiri Indonesia
dengan harga murah sehingga membuat barang lokal kalah bersaing dengan barang
impor yang begitu melimpah di pasaran.
PENUTUPCAFTA adalah salah satu model kerjasama AFTA dengan negara sedang berkembang (NSB). Namun, model kerja sama itu akan berbeda dengan NM. Kerjassama ASEAN dengan NM juga semakin gencar, seperti dengan Jepang, Amerika Serikat, Australia, Uni Eropa dan lain-lain.
Indonesia
sedang melangkah ke arena persaingan bebas dan amat liberal di AFTA. Kinerja
perdagangan dalam kerangka bilateral maupun regional menunjukkan perkembangan
yang menjanjikan. Laju pertumbuhan ekspor pasca perjanjian bilateral
Indonesia-China menunjukkan peningkatan yang signifikan untuk ekspor komoditas unggulan
perkebunan seperti karet, kako, minyak kepala sawit, minyak kopra, gaplek dan
minyak serta lemak sayur (kacang-kacangan). Kesepakatan tarif dalam
kerangka Early Harvest Package
memberikan keuntungan yang bersifat win-win
solution bagi kedua negara, untuk ini Indonesia lebih diuntungkan mengingat
sebagian dari komoditas ekspor kita sudah masuk dalam kerangka EHP, sedangkan
dari sisi impor, komoditas pertanian yang dominan diimpor dari China masih
tidak termasuk dalam kerangka EHP. Secara lebih spesifik, jika dikaji lebih
dalam nampaknya Indonesia
belum mendapatkan manfaat yang berlebih dari kerangka EHP. Sebelum EHP
bilateral total nilai ekspor produk pangan dan pertanian mencapai USD 2 trilyun
atau sebesar 13% total ekspor ke China dan tumbuh rata-rata sebesar 11%/Th.
Sejak diimplementasikan EHP tahun 2004, total nilai ekspor pertanian telah
mencpai USD 4 trilyun atau sebesar 20% total ekspor ke China.
Hasil
simulasi menunjukkan bahwa dampak penurunan tarif terhadap produksi, ekspor
bersih, PDB dan kesejahteraan menunjukkan hasil yang positif. Dengan demikian
jika prasarana dan sarana yangmendukung terciptanya kondisi liberalisasi
perdagangan di Indonesia
dapat bersifat lebih kondusif, tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya dampak
negatif akibat liberalisasi perdagangan.
Semangat
liberalisasi perdagangan yang ditunjukkan meningkatkannya jumlah impor
produk pertanian dari negara-negara maju akan memberikan peluang kita
untuk merebut pasar, namun dapat juga menjadi ancaman buat Indoensia.
Khusus tentang pertanian, Indonesia
sebaiknya dapat meningkat terus daya saing untuk produk-produk
perkebunan dan perikanan. Juga jangan diabaikan untuk ditingkatkan
produktivitas dan efisiensi di usaha tani pangan dan pasca panen untuk
produk pangan. Itu tampaknya belum tertata dengan baik yang bersinergi
dengan liberalisasi perdagangan dengan program kerja departemen teknis.
Seharusnya
liberalisasi perdagangan itu dibahas secara detail dengan departemen
teknis, yang melibatkan banyak pihak, tidak cukup hanya para birokrat.
Departemen teknis seperti Deptan, harus pula memperkuat riset dan tenaga
(jumlah dan kualitas) yang ikut dalam negosiasi AFTA. Dokumentasi FTA di
Deptan perlu juga ditata dengan baik, tidak tercecer dan terorganisir dengan
rapi, walau ada penggantian pejabat/petugas.
DAFTAR PUSTAKABasri, F.2005. “ Perkembangan Terbaru Teori Perdagangan Internasional”, Jurnal Ekonomi Bisnis Indonesia, Jakarta.
Husin, Imron.(2008). “The Emergence of China : Some Economic Chalenges to Indonesia”, Jakarta.
Posisi Produk Pertanian dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).2008. “Modul Training Agricultural Internasioanl Trade Policy”, Jakarta.
ASEAN Secretariat, lihat http://www.aseansec.org.
Jurnal Ekonomi 81: trade-diverting customs unions and welfare improvement : A clarification
Lloyd, PJ and D.Maclaren, 2007. The Case for Free Trade and the Role od RTAs Seminar on Regionalism and the WTO. Lihat di http://www.wto.org
Soesastro, H, 2008. “ Indonesia’s Role in ASEAN and Its Impact on US-Indonesia Economic Relationship”, Indonesia Quartely,” 33 (4)
WTO (2007) : The Legal Text: the Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade negotiations, WTO Cambridge.
WRO (2007): Report by the Chairman of the Trade Negotiations Committee. WTO news item.
Hutabarat, dkk.2008. “ Analisis Perubahan dan Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Regional”, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar