PARADOKSISASI
EKONOMI INDONESIA: SEBAGAI NEGARA PENENTU TATA EKONOMI DUNIA BARU DALAM G - 20,
DAN MELUASNYA KEMISKINAN PENDUDUK
Oleh:
Muh Abdul Halim, SE, MSi
Abstract
Today, the world has changed from Pax Americana into Pax Consortis G – 20, where Indonesia becomes one of
determinator and director of world economic order and not just a seeker of
loans. Since G – 20 Summit
in November 16, 2008, Pax Americana
has finished, there are no more chances of Pax
Soviatica, Pax Sinica, Pax Japonica, and so on. Therefore, a gold chance of
G – 20 must be maximized by Indonesia
with utilizing Indonesia’s
position in G – 20 optimally to “disband” world economic order, including World
Bank or IMF’s stockholders structure whose schedule must finish in 2011. This is a challenge for Indonesia in geopolitics strategy
to make a “big” nation. G – 20 London in April 2, 2009 has publish a together
communiqué namely very important togetherness of G – 20 country’s leaders,
returning world economic toward positive ways by using fiscal stimulant and
macro-monetary policy, tighting financial institution regulation and
supervision, and giving funds to low-income countries. Beside that, to overcome
economic crisis and prevent that it isn’t repeated again in the future, all world
leaders have agreed to increase fund of US$ 850 billion via IMF, World Bank and
other multilateral development bank, reformation and strengthening of global
finance and economic system to return public convince and trust. All G – 20
leaders have also agreed, less-developed countries need to get representatives
in international finance institutions so that can achieve financial facilities
which can fasten financial reformation. It is necessary to put global economic
into a continuous growth frame, to open job vacancy, and to prevent
poverty.
Although Indonesia plays an important
enough role in G – 20, we prefer not to
be proud first. Because we must still try hard to fight some bad problems like backwards, inequality of
income, illiteracy, high mother’s and baby’s mortality rate, and a very important thing is how to prevent poverty. According to
Statistical Center Board (BPS) 2009, quantity of poverty in Indonesia is 31,7 million people
(13,5 percent of population). This quantity is still large enough. Indeed, a
really contradictive condition.
I. PENDAHULUAN
1.1 Peranan Indonesia dalam G - 20
G - 20 atau Kelompok 20
ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia
ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G - 20 dinamakan The Group of Twenty (G - 20 ) Finance
Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai
forum yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan
berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia. Pertemuan perdana
G-20 berlangsung di Berlin,
15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah menteri keuangan Jerman dan Kanada. Latar
belakang pembentukan forum ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998
dan pendapat yang muncul pada forum G-7 mengenai kurang efektifnya
pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar
keputusan-keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan
kepentingan-kepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil
itu. Kelompok ini menghimpun hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia
dan dua per tiga penduduk dunia. Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak
menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem
moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau,
dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang
terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan
internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat
diatasi oleh satu negara tertentu saja. G-20 tidak memiliki staf tetap. Kursi
ketua dirotasi di antara anggota-anggotanya dan dipegang oleh Troika yang
beranggotakan tiga anggota: ketua tahun berjalan, ketua tahun lalu, dan ketua
tahun berikut. Sistem ini dipilih untuk menjamin keberlangsungan kegiatan dan
pengelolaan. Ketua tahun berjalan membuka sekretariat tidak tetap yang buka
hanya selama masa tugasnya.
Sebagian besar anggota adalah
negara-negara dengan Keseimbangan Kemampuan Berbelanja
(PPP) terbesar dengan sedikit modifikasi. Belanda, Polandia, dan Spanyol, yang
termasuk big 20, diwakili oleh Uni Eropa.
Negara-negara anggota G – 20:
7.
RRC
19.
Uni Eropa (Netherlands, Spain,
Poland)
20. Britania
Raya
Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) G-20 diselenggarakan untuk merespon krisis finansial 2007–2010 dan sebagai
tanggapan terhadap anggapan bahwa negara berkembang tidak cukup dilibatkan
dalam diskusi dan pengaturan inti ekonomi global. KTT G-20 tingkat kepala
negara atau kepala pemerintahan diselenggarakan sebagai
tambahan Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G-20 yang tetap
diselenggarakan untuk mempersiapkan KTT dan menerapkan keputusannya. Setelah
KTT perdana di Washington, D.C. pada 2008, pemimpin G-20 bertemu dua kali dalam
setahun di London
dan Pittsburgh
pada 2009, Toronto
dan Seoul pada
2010.
Mulai 2011,
ketika Perancis
akan menjadi ketua dan tuan rumah G-20, KTT hanya akan diselenggarakan sekali
dalam setahun. Meksiko akan menjadi ketua dan tuan rumah pada 2012
Peranan Indonesia Dalam G - 20: Penentu Tata Ekonomi Dunia
Saat ini dunia tengah berubah dari
dominasi Pax Americana menjadi Pax Consortis G - 20 di mana Indonesia
menjadi salah satu penentu dan pengarah tata ekonomi dunia dan bukan sekedar
pencari kredit. Sejak KTT G20 pertama 16 November 2008 Pax Americana selesai, tidak ada lagi peluang Pax Soviatica, Pax Sinica, Pax Japonica atau lainnya. Oleh karena itu peluang emas G - 20
harus dimaksimalkan oleh Indonesia
dengan mendayagunakan secara optimal posisi Indonesia di G - 20 dalam merombak
tata ekonomi dunia, struktur pemegang saham Bank Dunia/IMF yang jadwalnya harus
selesai pada 2011. Inilah tantangan yang hanya bersifat Einmalig bagi Indonesia
dalam strategi geopolitik untuk menjadikan bangsa yang bermartabat. G - 20
London 2 April 2009 telah mengeluarkan komunike bersama yaitu pentingnya
kebersamaan pemimpin negara G - 20, mengembalikan ekonomi dunia ke arah positif
dengan cara kebijakan stimulus fiskal dan makro moneter, memperketat regulasi
dan supervisi lembaga keuangan dan menyediakan support fund untuk negara-negara
berpendapatan rendah. Selain itu, untuk mengatasi krisis dan mencegah agar
krisis ini tidak terulang kembali di masa depan, para pemimpin dunia setuju
untuk menambah USD 850 miliar melalui IMF, Bank Dunia, dan bank pembangunan
multilateral lain, reformasi dan penguatan keuangan global dan sistem ekonomi
untuk mengembalikan keyakinan dan kepercayaan publik. Para
pemimpin G-20 juga sepakat, negara emerging markets dan negara berkembang lain
perlu mendapatkan keterwakilan di lembaga keuangan internasional agar dapat
memperoleh fasilitas keuangan yang dapat mempercepat reformasi keuangan.
Sehingga perlu meletakkan ekonomi global dalam kerangka pertumbuhan yang
berkelanjutan, membuka lapangan kerja, dan memberantas kemiskinan.
Untuk mengembalikan kepercayan,
pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan pekerjaan, negara G - 20 telah
sepakat untuk memberikan paket stimulus sebesar 1,1 trilun dolar. Paket ini
terdiri atas tambahan sebesar 500 milyar dolar terhadap Special Drawing Rights (SDR) untuk IMF, yang dengan segera dapat
diakses oleh anggota IMF. Sebelumnya telah disetujui SDR tambahan sebesar 250
milyar dolar. Dengan demikian, fasilitas SDR yang tersedia di IMF meningkat
menjadi 750 milyar dolar. Selain itu, untuk mendukung pembiayaan perdagangan
dunia, disiapkan dana sebesar 250 milyar dolar dalam dua tahun. Sedangkan 100
milyar dolar disiapkan untuk meningkatkan program bantuan bagi bank pembangunan
regional (untuk institusi multinasional seperti ADB, misalnya). Negara-negara
maju yang terjerat krisis finansial telah melakukan segala upaya untuk meredam
dampak krisis ini. Secara umum, negara-negara tersebut mengandalikan stimulus
ekonomi untuk menetralisir dampak krisis. AS, misalnya, telah menganggarkan
lebih dari US$800 miliar untuk mengatasi krisis. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, China, India, Malaysia, Singapura,
Thailand, Korea Selatan, dan lain-lain. Oleh karena itu, Sidang tahunan ke 42
ADB di Bali dapat dijadikan momentum reappraisal dan repositioning Indonesia
sebagai penentu arah kebijakan Bank Dunia/IMF yang melekat pada posisi anggota
G - 20. Indonesia
berpeluang ikut menyusun arsitektur keuangan global baru, menggantikan tata
dunia lama warisan Perang Dunia II. Indonesia ikut menentukan
perombakan kebijakan IMF yang baru saja membuka loket Flexible Credit Line (FCL). Tiga Negara telah memanfaatkan FCL
yaitu Mexico, Polandia dan Colombia, sedangkan negara-negara yang segera
memanfaatkan adalah Brazil, Chile, Czech, Singapura dan Korea Selatan. Jika Indonesia tidak segera turut serta memanfaatkan
FCL tersebut karena masih trauma terhadap IMF (IMF phobia), maka Indonesia
akan kehilangan peluang einmalig
dalam merubah tatanan ekonomi dunia di G - 20 yang hanya datang seabad sekali.
Indonesia dalam G - 20
1. Posisi Indonesia
dalam G – 20
Dalam G – 20,
Menurut Presiden SBY Indonesia berada di tempat yang sangat strategis dalam menentukan
arah kebijakan perekonomian global. Hal ini dikarenakan Indonesia saat ini merupakan negara
dengan ekonomi nomor 16 terbesar di dunia. Sebagai bagian dari negara dengan
perekonomian terbesar di dunia, dan masih pula mencatat pertumbuhan ekonomi di
tengah turbulensi finansial global, Indonesia diharapkan akan segera
menjadi kekuatan ekonomi
yang kuat dan
penting didunia.
2. Peranan Indonesia dalam G – 20
Peran Indonesia dalam G - 20 (versi
Presiden SBY) adalah mengusahakan tercapainya sebuah tata dunia yang lebih baik
dan seimbang. Indonesia
memiliki keinginan untuk mewujudkan tata dunia yang lebih baik dan adil,
sehingga tidak ada lagi ketimpangan baik di bidang ekonomi, pembangunan, maupun
kesejahteraan. Indonesia
juga berperan dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang lewat
forum G - 20.
Dalam KTT G-20, Indonesia memang telah menggagas beberapa hal seperti:
- mengusulkan skema dana siaga global atau global support fund;
Dalam KTT G-20, Indonesia memang telah menggagas beberapa hal seperti:
- mengusulkan skema dana siaga global atau global support fund;
- mengusulkan reformasi sistem dan lembaga keuangan global seperti IMF
dan Bank Dunia;
- mengingatkan KTT agar tidak mengabaikan isu-isu penting lain seperti
perubahan iklim, efektivitas bantuan, dan keamanan energi; serta
-
memperjuangkan agar forum G - 20 menjadi lebih permanen dan dilembagakan.
Salah satu peranan Indonesia adalah usulan mengenai mekanisme support bagi pendanaan pembangunan di emerging markets yang berfundamental baik namun terkena imbas dari tidak berfungsinya pasar akibat dampak krisis keuangan. Sri Mulyani, sebagai wakil Indonesia menjelaskan langkah-langkah lain yang disepakati dalam pertemuan itu, yaitu pentingnya mengembalikan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan, upaya-upaya bersama mengatasi kelangkaan likuiditas internasional, reformasi arsitektur keuangan global yang lebih mencerminkan keterwakilan negara-negara berkembang, serta mekanisme pengawasan yang lebih baik bagi sektor keuangan
Dalam pertemuan G - 20 di Sao Paulo tersebut, anggota G - 20 mendukung usulan Indonesia mengenai pembentukan mekanisme dukungan pembangunan bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis keuangan global.
3. Apakah Keputusan G – 20 berdampak langsung bagi Indonesia?
Salah satu peranan Indonesia adalah usulan mengenai mekanisme support bagi pendanaan pembangunan di emerging markets yang berfundamental baik namun terkena imbas dari tidak berfungsinya pasar akibat dampak krisis keuangan. Sri Mulyani, sebagai wakil Indonesia menjelaskan langkah-langkah lain yang disepakati dalam pertemuan itu, yaitu pentingnya mengembalikan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan, upaya-upaya bersama mengatasi kelangkaan likuiditas internasional, reformasi arsitektur keuangan global yang lebih mencerminkan keterwakilan negara-negara berkembang, serta mekanisme pengawasan yang lebih baik bagi sektor keuangan
Dalam pertemuan G - 20 di Sao Paulo tersebut, anggota G - 20 mendukung usulan Indonesia mengenai pembentukan mekanisme dukungan pembangunan bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis keuangan global.
3. Apakah Keputusan G – 20 berdampak langsung bagi Indonesia?
Konsep ekonomi yang dianut oleh G – 20 adalah lebih
menekankan pada stimulus fiscal dan makro ekonomi. Oleh karena itu, dikarenakan
konsep yang demikian, maka tiap keputusan dari G -20 tidak akan banyak
menguntungkan Indonesia
atau mungkin malah sebaliknya. Dalam perekonomian Indonesia, antara makro ekonomi dan
mikro ekonomi, mikro ekonomi lah yang paling besar memberikan sumbangan devisa
Negara, data menyebutkan berkisar 56 %. Sekarang apabila terdapat keputusan G –
20 yang berkiblat pada makro ekonomi, maka Indonesia akan dirugikan, dan yang
diuntungkan hanya lah Negara – Negara maju, dikarenakan makro ekonomi hanya
cocok bagi Negara – Negara yang kuat ekonominya, sementara Indonesia masih
sering mengalami kesulitan likuiditas, investasi dan modal dalam perekonomian
sebagai negara berkembang. Tercatat bahwa sepanjang pemerintahan cabinet 2004 –
2009, makro ekonomi Indonesia Gagal Total. Tidak ada peningkatan ekonomi yang
signifikan, hanya utang luar negeri yang bertambah.
Oleh karena itu, setiap keputusan G20 tidak akan bermanfaat banyak bagi Indonesia selama tidak mengurangi utang – utang yang ada dan tidak memberikan kedaulatan ekonomi kepada Indonesia. Yang ada, hanyalah bahwa Indonesia hanya menjadi obyek untuk dikeruk tenaganya
Oleh karena itu, setiap keputusan G20 tidak akan bermanfaat banyak bagi Indonesia selama tidak mengurangi utang – utang yang ada dan tidak memberikan kedaulatan ekonomi kepada Indonesia. Yang ada, hanyalah bahwa Indonesia hanya menjadi obyek untuk dikeruk tenaganya
4. Apakah Keputusan G – 20
mengikat Indonesia?
Keputusan Internasional
apapun itu, apapun bentuknya, tidak akan berpengaruh pada Indonesia selama Indonesia tidak meratifikasinya.
Oleh karena itu, apabila Indonesia
ingin menerapkan Keputusan G – 20 di Indonesia,
sesuai asasnya, maka Indonesia
harus mengundangkan Keputusan tersebut. Pertemuan kelompok negara-negara G-20
yang ke lima akan dilangsungkan di Seoul, Korea
Selatan dari 11-12 November. Sejumlah topik seperti masalah perekonomian,
keuangan, dan pembangunan bisa dipastikan akan menjadi agenda penting yang akan
dibahas. Korea Selatan, sebagai tuan rumah akan memasukkan agenda pembangunan
yang menjadi kepentingan negara berkembang pada pertemuan puncak G-20. Seoul akan mengupayakan
kepentingan negara-negara non-G-20 turut dibahas demi meraih pertumbuhan
ekonomi ekonomi global yang berimbang dan berkesinambungan. G-20 memiliki 85%
dari total produksi domestik bruto dunia. Oleh karena itu Korea Selatan akan
memasukkan agenda pembangunan sebagai salah satu topik yang akan dibahas.
Selama ini,
sejumlah kesepakatan G-20 dipandang sebagai refleksi dari kepentingan negara-negara
barat.Kepentingan negara-negara berkembang sering kali terabaikan. Kemudian,
bagaimana dengan agenda Indonesia yang bisa dikatakan mewakili negara-negara
berkembang dalam kelompok negara ekonomi maju itu. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai pembicara utama dalam pertemuan G-20, juga direncanakan akan
mengangkat isu pembangunan. Hal ini menunjukkan keseriusan Indonesia agar G-20 tidak hanya
akan membahas isu keuangan saja. Target Indonesia dalam KTT G-20 adalah
mendorong koordinasi kebijakan keuangan negara-negara berkembang dan mendorong
isu non keuangan agar dapat bergulir dengan cepat, salah satunya isu
pembangunan. Isu pembangunan dipandang sangat perlu dibahas demi meningkatkan
legitimasi G-20 di mata negara-negara berkembang dunia. Cara Indonesia untuk
melakukan hal tersebut adalah dengan konsep "lead by example"
maksudnya adalah memberikan teladan agar negara-negara lain mengikuti langkah Indonesia.
Sekarang pertanyaannya adalah apakah suara Indonesia akan diperhitungkan dalam
Forum global
ini ? Memang ada sejumlah suara-suara pesimis yang mengatakan bahwa Indonesia
belum bisa berperan besar dalam kelompok negara-negara G-20.
Sebagai contoh, Indonesia semestinya memiliki
kebijakan sendiri terkait industri yang didukung dari hasil hutan dan
perkebunan. Indonesia
seharusnya tidak hanya mengikuti kemauan negara-negara maju. Sebagai contoh,
terkait pengurangan dampak perubahan iklim tahun lalu, Indonesia hanya menerima
keputusan G-20, sedangkan negara-negara besar seperti AS dan Cina yang menjadi
penyumbang emisi rumah kaca utama "berkelit" soal perubahan iklim.
Mengapa hal ini bisa terjadi, mungkin kita bisa sepakat untuk mengatakan bahwa
Indonesia belum dianggap "besar" dari sisi politik maupun ekonomi,
seperti halnya Cina. Maka walaupun memiliki konsep dan agenda yang bagus jika
tidak sesuai dengan kepentingan negara-negara maju, bisanya tidak akan
ditanggapi. Mudah-mudahan, keberhasilan Indonesia dalam membangun
perekonomiannya yang menjadi salah satu negara yang berhasil dengan baik
melewati krisis finansial baru-baru ini, bahkan mampu mencatat pertumbuhan
ekonomi sekitar 6 persen pada tahun ini akan memperkuat posisi tawar Indonesia
dalam forum Internasional, termasuk KTT G-20 yang
akan berlangsung di Seoul, Korea Selatan.DP-Ike(10/11)Mengikuti apresiasi itu,
lanjut Marty, ASEAN mengharapkan Indonesia agar terus mendorong upaya
restrukturisasi dalam lembaga keuangan dunia agar menganut sistem voting yang
lebih mencerminkan tatanan dunia saat ini serta memastikan negara-negara
berkembang memiliki akses dana untuk pembangunan."Mereka mengharapkan
seperti yang selama ini sudah kita lakukan," ujarnya. ASEAN mengapresiasi
sikap Indonesia
dalam forum tingkat global G20 karena tidak hanya memperjuangkan pandangan
negara-negara berkembang namun juga memastikan partisipasi aktif negara-negara
Asia Tenggara dalam forum G 20. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Hua
Hin, Thailand, Sabtu, mengatakan apresiasi tersebut disampaikan oleh kepala
negara/pemerintahan ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-15 ASEAN di
Hua Hin Selain itu, Marty mengatakan, ASEAN juga meminta Indonesia untuk
berperan aktif dalam G20 guna memastikan dihindarinya gejala proteksionisme
dalam perdagangan dunia. Indonesia
adalah satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota dalam forum G20 yang saat
ini diandalkan dunia untuk menjadi lembaga yang mencari solusi masalah
financial dan keuangan global. "Di sini Indonesia
memainkan peran yang cukup unik karena Indonesia bukan saja anggota ASEAN
tetapi juga satu-satunya anggota ASEAN yang juga menjadi anggota G20,"
tutur Marty.
Ia menjelaskan peran Indonesia dalam G20 dan ASEAN bisa saling melengkapi karena peran kuat Indonesia di ASEAN sebenarnya dapat memberi pijakan dan fondasi yang berpengaruh di forum G20 dan demikian pula sebaliknya. "Itu memang dalam diplomasi bagaimana kita mengembangkan secara serempak kemampuan ini, jadi kita menggunakan ASEAN di G - 20 dan sebaliknya G - 20 di ASEAN," katanya.
Pemerintah, lanjut Menlu, saat ini memprioritaskan peningkatan peran Indonesia di dalam forum G20 sehingga akan segera dilakukan identifikasi secara cepat dan cerdas untuk mengetahui peran apa yang dapat dimainkan Indonesia dalam forum G20."Karena G20 sekarang ini dipetakan sebagai lembaga utama di bidang ekonomi keuangan dan bahkan mungkin lebih dari itu. Jadi dalam beberapa waktu ke depan ini kita harus dengan cepat dan cerdas mengidentifikasi apa peran yang akan kita mainkan, apa yang kita miliki, aset kita apa, agar kita bisa memiliki peran yang tidak bisa diabaikan oleh G20, "tuturnya. Pemimpin negara ASEAN dalam KTT ke-15 di Hua Hin telah menyepakati pembentukan kontak grup ASEAN-G20 yang beranggotakan Indonesia, Sekretaris Jenderal ASEAN, serta Ketua ASEAN bergilir. Kontak grup tersebut dimaksudkan untuk mengkoordinasikan posisi ASEAN dalam setiap forum pertemuan G20.Selain itu, menteri keuangan sepuluh negara ASEAN juga diwajibkan untuk bertemu setiap menjelang penyelenggaraan forum G20 guna menyatukan suara Asia Tenggara dalam forum global.(*)
Ia menjelaskan peran Indonesia dalam G20 dan ASEAN bisa saling melengkapi karena peran kuat Indonesia di ASEAN sebenarnya dapat memberi pijakan dan fondasi yang berpengaruh di forum G20 dan demikian pula sebaliknya. "Itu memang dalam diplomasi bagaimana kita mengembangkan secara serempak kemampuan ini, jadi kita menggunakan ASEAN di G - 20 dan sebaliknya G - 20 di ASEAN," katanya.
Pemerintah, lanjut Menlu, saat ini memprioritaskan peningkatan peran Indonesia di dalam forum G20 sehingga akan segera dilakukan identifikasi secara cepat dan cerdas untuk mengetahui peran apa yang dapat dimainkan Indonesia dalam forum G20."Karena G20 sekarang ini dipetakan sebagai lembaga utama di bidang ekonomi keuangan dan bahkan mungkin lebih dari itu. Jadi dalam beberapa waktu ke depan ini kita harus dengan cepat dan cerdas mengidentifikasi apa peran yang akan kita mainkan, apa yang kita miliki, aset kita apa, agar kita bisa memiliki peran yang tidak bisa diabaikan oleh G20, "tuturnya. Pemimpin negara ASEAN dalam KTT ke-15 di Hua Hin telah menyepakati pembentukan kontak grup ASEAN-G20 yang beranggotakan Indonesia, Sekretaris Jenderal ASEAN, serta Ketua ASEAN bergilir. Kontak grup tersebut dimaksudkan untuk mengkoordinasikan posisi ASEAN dalam setiap forum pertemuan G20.Selain itu, menteri keuangan sepuluh negara ASEAN juga diwajibkan untuk bertemu setiap menjelang penyelenggaraan forum G20 guna menyatukan suara Asia Tenggara dalam forum global.(*)
II. PEMBAHASAN
2.1. G - 20, Peran Strategis Indonesia Di Tengah Pergeseran Perekonomian Dunia
Tatanan perekonomian dunia baru
dipastikan segera terwujud pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di London
2-4 April lalu. Peran sentral Amerika Serikat (AS) dalam percaturan
perekonomian global semakin tergerus, setelah Negara Adi Daya itu dinilai gagal
membendung jebolnya tanggul sistem keuangan domestik yang berimbas pada
ketidakstabilan sistem keuangan internasional. Salah satu komunike G - 20 yang
disepakati oleh para penguasa 80 persen total perdagangan dunia dan tempat
tinggal bagi 66 persen penduduk global itu adalah regulasi industri keuangan
yang lebih ketat dan aturan yang lebih banyak bagi lembaga keuangan
internasional. Selain itu, G20 juga mengubah fungsi Forum Stabilitas Finansial
(FSF), kelompok pemikir informal milik sejumlah Bank Sentral, menjadi lembaga
pengawas sistem keuangan global. Ketua FSF yang juga Gubernur Bank Sentral
Italia Mario Draghi menyatakan, perubahan status FSF ini akan meningkatkan
cakupan kegiatan FSF.
FSF akan meningkatkan pengawasan
terhadap sektor keuangan baik pasar maupun instrumennya, penguatan pengawasan
perbankan dan manajemen risiko, serta pengaturan hedge fund (kumpulan dana
investasi yang juga dipakai berspekulasi) yang selama ini terlepas dari
pengawasan dan turut berpera dalam krisis keuangan global. Komunike ini
mengingatkan kita pada krisis keuangan Asia yang menerpa Indonesia pada 1997-1998 lalu.
Salah satu usulan yang dikemukakan ketika itu adalah perlunya dibentuk lembaga
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana tertuang dalam revisi Undang-Undang
Bank Indonesia (BI) tahun 2004. Menurut UU itu, OJK yang merupakan lembaga
pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal , reksadana,
perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi sudah harus terbentuk pada
tahun 2010.
Kita perlu mengingatkan pemerintah agar
ekstra hati-hati dan mengambil pelajaran berharga dari peran OJK di negara
seperti Inggris yang dinilai gagal menjalankan tugas menjaga stabilitas sistem
kauangannya. Prahara keuangan yang terjadi di AS yang secara cepat mengalir dan
menyebar pada sistem keuangan dunia, ditengarai diakibatkan oleh tak mampunya
otoritas jasa keuangan Paman Sam itu dalam mengidentifikasi potensi macetnya
subprime mortgage. Sebuah kesempatan
emas akhirnya datang bagi Indonesia
untuk menunjukkan eksistensinya di dunia internasional. Indonesia menjadi
peserta G20 summit, Pertemuan para pemimpin dari 20 negara maju dan
berkembang yang diadakan selama 2 hari, 24-25 September 2009 di Pittburgh,
Amerika Serikat. Negera-negara G20 merepresentasikan 85 persen perekonomian
dunia. Negara-negara G20 terdiri dari Argentina,
Australia, Brasil, Kanada, China,
Perancis, dan Jerman. Lalu India,
Indonesia,
Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, serta Korea
Selatan. Kemudian Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa yang diwakili
oleh negara yang memegang dewan kepemimpinan dan Bank Sentral Eropa. Pertemuan
ini akan membahas berbagai masalah global seperti isu pemanasan global dan
krisis ekonomi global. Dalam pertemuan ini pula, secara resmi G - 20 ditetapkan
sebagai pengganti G8, kelompok yang terdiri dari 8 negara maju dengan
pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia.
Digantikannya G - 8
dengan G - 20 telah menunjukkan adanya pergeseran perekonomian dunia.
Sebelumnya, Perekonomian dunia dikendalikan oleh negara-negara maju di benua
Amerika dan Eropa. Namun, setelah terjadinya krisis ekonomi global,
raksasa-raksasa ekonomi dari benua Asia seperti China
dan India
mulai tampil dan ikut mengendalikan perekonomian dunia. Nah, di sini pula Indonesia
sebagai wakil dari negara berkembang, negara paru-paru dunia, serta negara
dengan penduduk muslim terbesar dunia ikut ambil peran. Indonesia memiliki peran strategis
sebagai wakil negara berkembang untuk ikut mengendalikan pertumbuhan ekonomi
dunia agar seimbang antara negara maju dan berkembang serta mengawasi
langkah-langkah pemberian stimulus ekonomi untuk mengatasi krisis ekonomi
global. Sebagai negara paru-paru dunia, Indonesia
dapat berperan dalam memperkuat kesepakatan baru yang akan digunakan untuk
menggantikan protokol Kyoto.
Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012. Indonesia juga berkesempatan untuk
menyampaikan pandangannya tentang isu-isu timur tengah serta terorisme di
hadapan dunia dari sudut pandang sebagai negara dengan umat Islam terbesar di
dunia. Hubungan Islam dan Barat dapat dijembatani oleh Indonesia. Dari G20 summit
ini diharapkan agar Indonesia
tidak sekedar tampil di kancah internasional saja, tetapi juga dapat
menjalankan peran aktifnya dengan baik. Dengan demikian, politik luar negeri
bebas aktif yang menjadi cita-cita bersama dapat terwujud.
Nyaris sudah tidak ada lagi alasan untuk
tidak mendorong pengembangan panasbumi di Indonesia. Potensi terbesar di
dunia, kebutuhan listrik yang terus meningkat, UU Panasbumi sudah ada dan
paling baru adalah statement Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G20-Summit,
Pittsburgh, Amerika beberapa hari lalu.
Indonesia, menurut Presiden, secara suka rela mentargetkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26 persen hingga 2020. Untuk itu, selain mengurangi penggundulan hutan dan pengalihan pemanfaatan lahan, Indonesia segera melakukan investasi pengembangan energi terbarukan antara lain pemanfaatan sumber energi panasbumi.
Kita patut bersyukur memiliki aneka ragam sumber energi. Selain sumber energi fosil, posisi berada di Pasific ring of fire membuat Indonesia memiliki potensi sumber energi panasbumi yang mencapai 28.000 MW tersebar pada 265 lapangan di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTT, Maluku dan sebagianKalimantan.
Potensi sebesar itu merupakan 35 persen dari sumber panas bumi dunia. Jika bisa dimanfaatkan selama 30 tahun setara dengan 12 miliar barel minyak bumi untuk mengoperasikan pembangkit listrik. Kenyataannya, hingga saat ini baru bisa memanfaatkan sumber energi panasbumi sebesar 1189 MW meski sudah sejak 26 tahun lalu mengembangkannya. Tertinggal oleh Philipina.
Tekan emisi dan hemat devisa
Berdasarkan laporan Badan Energi Dunia (IEA), Indonesia berada di urutan ke 15 penyumbang emisi CO2. Pada tahun 2004, produksi emisi gas rumah kaca atau CO2 Indonesia sebesar 360 juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan menurunkan produksi CO2.
Pengembangan sumber panasbumi sebesar 4600 MW melalui program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW tahap II menjadi taruhan janji Presiden dalam G20. Jika berhasil dilaksanakan maka sampai 2014 sumber energi panas bumi yang dimanfaatkan berjumlah 5.789 MW. Ini setara dengan pengurangan emisi CO2 sebesar 38 juta ton dari pengalihan pemanfaatan batubara atau 25 juta ton dari penggantian pemakaian BBM.
Disisi lain, pemanfaatan sumber panasbumi tadi juga setara dengan penghematan 88 juta barel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara. Kajian Asosiasi Panasbumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panasbumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM atau 1,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara.
Panasbumi merupakan sumber energi bersih lingkungan, karena tidak memproduksi emisi CO2. Selama kondisi geologi dan hidrologi terjaga keseimbangannya, pembentukan sumber energi panasbumi yang terkait dengan pembentukan magma gunung api pada ring of fire terus menerus terjadi (sustainable). Selain itu juga tidak memerlukan kilang, pengangkutan, bongkar muat dan bersifat lokal. Sehingga, seharusnya tidak tergantung pada fluktuasi harga energi fosil.
Sumber energi panas bumi juga tidak dapat diekspor. Sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan domestik atau lokal. Oleh sebab itu pengembangan sumber energi panas bumi memiliki peran penting dalam diversifikasi energi atau mengurangi ketergantungan penggunaan minyak dan gas bumi serta membangun kemandirian energi lokal untuk membangun ketahanan energi nasional.
Indonesia, menurut Presiden, secara suka rela mentargetkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26 persen hingga 2020. Untuk itu, selain mengurangi penggundulan hutan dan pengalihan pemanfaatan lahan, Indonesia segera melakukan investasi pengembangan energi terbarukan antara lain pemanfaatan sumber energi panasbumi.
Kita patut bersyukur memiliki aneka ragam sumber energi. Selain sumber energi fosil, posisi berada di Pasific ring of fire membuat Indonesia memiliki potensi sumber energi panasbumi yang mencapai 28.000 MW tersebar pada 265 lapangan di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTT, Maluku dan sebagianKalimantan.
Potensi sebesar itu merupakan 35 persen dari sumber panas bumi dunia. Jika bisa dimanfaatkan selama 30 tahun setara dengan 12 miliar barel minyak bumi untuk mengoperasikan pembangkit listrik. Kenyataannya, hingga saat ini baru bisa memanfaatkan sumber energi panasbumi sebesar 1189 MW meski sudah sejak 26 tahun lalu mengembangkannya. Tertinggal oleh Philipina.
Tekan emisi dan hemat devisa
Berdasarkan laporan Badan Energi Dunia (IEA), Indonesia berada di urutan ke 15 penyumbang emisi CO2. Pada tahun 2004, produksi emisi gas rumah kaca atau CO2 Indonesia sebesar 360 juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan menurunkan produksi CO2.
Pengembangan sumber panasbumi sebesar 4600 MW melalui program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW tahap II menjadi taruhan janji Presiden dalam G20. Jika berhasil dilaksanakan maka sampai 2014 sumber energi panas bumi yang dimanfaatkan berjumlah 5.789 MW. Ini setara dengan pengurangan emisi CO2 sebesar 38 juta ton dari pengalihan pemanfaatan batubara atau 25 juta ton dari penggantian pemakaian BBM.
Disisi lain, pemanfaatan sumber panasbumi tadi juga setara dengan penghematan 88 juta barel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara. Kajian Asosiasi Panasbumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panasbumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM atau 1,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara.
Panasbumi merupakan sumber energi bersih lingkungan, karena tidak memproduksi emisi CO2. Selama kondisi geologi dan hidrologi terjaga keseimbangannya, pembentukan sumber energi panasbumi yang terkait dengan pembentukan magma gunung api pada ring of fire terus menerus terjadi (sustainable). Selain itu juga tidak memerlukan kilang, pengangkutan, bongkar muat dan bersifat lokal. Sehingga, seharusnya tidak tergantung pada fluktuasi harga energi fosil.
Sumber energi panas bumi juga tidak dapat diekspor. Sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan domestik atau lokal. Oleh sebab itu pengembangan sumber energi panas bumi memiliki peran penting dalam diversifikasi energi atau mengurangi ketergantungan penggunaan minyak dan gas bumi serta membangun kemandirian energi lokal untuk membangun ketahanan energi nasional.
Tantangan dan dukungan
Pengembangan panasbumi masih membutuhkan dukungan semua pihak. Keberadaan UU Panasbumi maupun berbagai peraturan yang ada belum mampu mewujudkan pemanfaatan sumber energi panasbumi secara maksimal. Berbagai hambatan dan tantangan masih membutuhkan keseriusan untuk dicarikan solusinya.
Berbeda dengan minyak bumi atau barubara, karakteristik sumber energi panasbumi membuat pengembangan dan pengelolaannya tidak bisa mengikuti mekanisme pasar. Hukum permintaan dan penawaran tidak berlaku. Oleh sebab itu peran pemerintah sangat diperlukan guna mengelola dan mengatur para pelaku industri pemanfaatan panasbumi.
Melalui peran pemerintah, kepentingan perusahaan penyalur listrik disisi hilir dan perusahaan pengembang sumber panasbumi (produksi uap/listrik) bisa dipertemukan. Bahkan sebaiknya, pelayanan pengembangan panasbumi disisi hulu dan hilir dilakukan satu atap. Sehingga dapat mengintegrasikan perencanaan pemanfaatan di sisi hilir dan pengembangan sumber daya panas bumi di sisi hulu, serta bisa mengatasi persoalan lain seperti keberadaan 10 persen sumber energi panasbumi yang berada di hutan lindung maupun cagar alam.
Pola satu atap ini diharapkan juga mengatasi hambatan pengembangan sumber energi panas bumi yang bersifat kedaerahan. Sehingga, kebijakan yang memprioritaskan pemanfaatan panasbumi bagi pembangunan pembangkit listrik pada daerah yang memiliki sumber energi panasbumi tidak terhambat oleh persoalan sosial-kemasyarakatan di daerah. Tentu saja setelah aspek teknis dan dampak lingkungan dinyatakan aman.
Pada daerah-daerah yang hanya memiliki sumber energi panas bumi, maka energi panas bumi mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan dibandingkan sumber energi lainnya. Pemerintah ikut serta memikul risiko terutama di sisi hulu, sehingga dapat mengurangi risiko bisnis pengusaha.
Potensi besar panas bumi di Indonesia juga merupakan tantangan bagi ilmuwan, akademisi, teknolog maupun pengusaha nasional. Karena tidak semua negara beruntung memiliki sumber energi ini. Penguasaan teknologi pengembangan sumber energi panasbumi oleh pihak nasional bukan hanya menghasilkan nilai tambah industri barang modal dan jasa industri panasbumi dan energi namun juga kebanggaan untuk tidak tergantung pada pihak asing.
Pengembangan panasbumi masih membutuhkan dukungan semua pihak. Keberadaan UU Panasbumi maupun berbagai peraturan yang ada belum mampu mewujudkan pemanfaatan sumber energi panasbumi secara maksimal. Berbagai hambatan dan tantangan masih membutuhkan keseriusan untuk dicarikan solusinya.
Berbeda dengan minyak bumi atau barubara, karakteristik sumber energi panasbumi membuat pengembangan dan pengelolaannya tidak bisa mengikuti mekanisme pasar. Hukum permintaan dan penawaran tidak berlaku. Oleh sebab itu peran pemerintah sangat diperlukan guna mengelola dan mengatur para pelaku industri pemanfaatan panasbumi.
Melalui peran pemerintah, kepentingan perusahaan penyalur listrik disisi hilir dan perusahaan pengembang sumber panasbumi (produksi uap/listrik) bisa dipertemukan. Bahkan sebaiknya, pelayanan pengembangan panasbumi disisi hulu dan hilir dilakukan satu atap. Sehingga dapat mengintegrasikan perencanaan pemanfaatan di sisi hilir dan pengembangan sumber daya panas bumi di sisi hulu, serta bisa mengatasi persoalan lain seperti keberadaan 10 persen sumber energi panasbumi yang berada di hutan lindung maupun cagar alam.
Pola satu atap ini diharapkan juga mengatasi hambatan pengembangan sumber energi panas bumi yang bersifat kedaerahan. Sehingga, kebijakan yang memprioritaskan pemanfaatan panasbumi bagi pembangunan pembangkit listrik pada daerah yang memiliki sumber energi panasbumi tidak terhambat oleh persoalan sosial-kemasyarakatan di daerah. Tentu saja setelah aspek teknis dan dampak lingkungan dinyatakan aman.
Pada daerah-daerah yang hanya memiliki sumber energi panas bumi, maka energi panas bumi mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan dibandingkan sumber energi lainnya. Pemerintah ikut serta memikul risiko terutama di sisi hulu, sehingga dapat mengurangi risiko bisnis pengusaha.
Potensi besar panas bumi di Indonesia juga merupakan tantangan bagi ilmuwan, akademisi, teknolog maupun pengusaha nasional. Karena tidak semua negara beruntung memiliki sumber energi ini. Penguasaan teknologi pengembangan sumber energi panasbumi oleh pihak nasional bukan hanya menghasilkan nilai tambah industri barang modal dan jasa industri panasbumi dan energi namun juga kebanggaan untuk tidak tergantung pada pihak asing.
Menurutnya peran penting yang
bisa dimainkan yakni menjadi inisiatif soal pemberian bantuan negara maju ke
negara-negara miskin. Indonesia
bisa memberikan ide brilian kepada negara-negara yang tergabung dalam G 20
mengenai skema aliran dana ke negara yang kurang mampu. “Saya kira kita bisa
melakukan ini,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui negara-negara kurang mampu sering kali menjadi korban dari skema pinjaman yang diberikan. Pinjaman dalam bentuk hutang tersebut acapkali menjerat negara-negara miskin itu untuk tidak dapat berkembang.
Mengenai kemampuan G - 20 menggantikan G - 8 dalam penanganan krisis, jelas Drajad, itu hal yang bagus. Namun permasalahannya apakah negara-negara G - 8 yang selama ini menjadi poros utama pengendalian Ekonomi dunia itu mau menyerahkan sebagian kekuasaanya. “Selama ini kan ada faktor geopolitik, jadi bukan sekedar penanganan krisis,” katanya.
Pengamat Ekonomi Indef Ahmad Erani Yustika mengatakan sebenarnya Indonesia bisa berperan aktif asalkan mempunyai visi yang jelas. Sayangnya sampai kini agenda yang dibawa Indonesia tidak terang. Sehingga hanya aspek seremonial yang kentara. Seharusnya Indonesia bisa seperti Malasyia (semasa Mahatir), atau China yang memiliki misi jelas. “Akhirnya sekarang kita hanya ikuti agenda negara maju,” lirihnya.
Kesepatakan G - 20 dalam hal reformasi IMF dan Worl Bank sepertinya masih sulit dilakukan. Kalaupun ada perbaikan perjalanannya akan sangat lambat. “Usul ini bukan pertama kali namun sudah dari 2004 lalu dan pelaksanaanya sangat lambat sekali,” papar Drajad.
Pembahasan mengenai hal ini kan bukan hanya satu kali. Ada pengkajian di senior official untuk realiasasi dilapangannya. Namun tentu saja keberhasilan dari reformasi ini tergantung juga dari komitmen negara-negara yang selama ini bermain di situ, seperti Amerika Serika.
Karena tidak menuntut kemungkinan negara-negara berkembang akan mendapatkan suara yang lebih besar meski proposinya yang belum jelas. “Kita tentunya tidak ingin seperti pertemuan di Putaran Doha,” ujarnya.
Ahmad Erani Yustika menambahkan reformasi Bank Dunia dan IMF sulit terjadi. Pasalnya pengaruh negara-negara maju saat ini masih sangat kuat. Mereka tentunya memiliki kepentingan-kepntingan tertentu. Reformasi kedua lembaga itu hanya kosmetik saja.
Sebagaimana diketahui negara-negara kurang mampu sering kali menjadi korban dari skema pinjaman yang diberikan. Pinjaman dalam bentuk hutang tersebut acapkali menjerat negara-negara miskin itu untuk tidak dapat berkembang.
Mengenai kemampuan G - 20 menggantikan G - 8 dalam penanganan krisis, jelas Drajad, itu hal yang bagus. Namun permasalahannya apakah negara-negara G - 8 yang selama ini menjadi poros utama pengendalian Ekonomi dunia itu mau menyerahkan sebagian kekuasaanya. “Selama ini kan ada faktor geopolitik, jadi bukan sekedar penanganan krisis,” katanya.
Pengamat Ekonomi Indef Ahmad Erani Yustika mengatakan sebenarnya Indonesia bisa berperan aktif asalkan mempunyai visi yang jelas. Sayangnya sampai kini agenda yang dibawa Indonesia tidak terang. Sehingga hanya aspek seremonial yang kentara. Seharusnya Indonesia bisa seperti Malasyia (semasa Mahatir), atau China yang memiliki misi jelas. “Akhirnya sekarang kita hanya ikuti agenda negara maju,” lirihnya.
Kesepatakan G - 20 dalam hal reformasi IMF dan Worl Bank sepertinya masih sulit dilakukan. Kalaupun ada perbaikan perjalanannya akan sangat lambat. “Usul ini bukan pertama kali namun sudah dari 2004 lalu dan pelaksanaanya sangat lambat sekali,” papar Drajad.
Pembahasan mengenai hal ini kan bukan hanya satu kali. Ada pengkajian di senior official untuk realiasasi dilapangannya. Namun tentu saja keberhasilan dari reformasi ini tergantung juga dari komitmen negara-negara yang selama ini bermain di situ, seperti Amerika Serika.
Karena tidak menuntut kemungkinan negara-negara berkembang akan mendapatkan suara yang lebih besar meski proposinya yang belum jelas. “Kita tentunya tidak ingin seperti pertemuan di Putaran Doha,” ujarnya.
Ahmad Erani Yustika menambahkan reformasi Bank Dunia dan IMF sulit terjadi. Pasalnya pengaruh negara-negara maju saat ini masih sangat kuat. Mereka tentunya memiliki kepentingan-kepntingan tertentu. Reformasi kedua lembaga itu hanya kosmetik saja.
Kemiskinan
di Indonesia
Walaupun peranan Indonesia
dalam G – 20 cukup besar, jangan lupa bahwa masyarakat kita masih banyak yang
tergolong miskin. Sejauh mana manfaat G – 20 bagi dunia umumnya dan Indonesia
khususnya? Sebenarnya Indonesia
mau masuk menjadi anggota G – 20 dengan harapan menguntungkan perekonomian
kita. Yang jelas, menurut BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada
Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan
dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010).
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan,sedangkan pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2010, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 73,5 persen, sedangkan pada Maret 2009 sebesar 73,6 persen.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter, gula pasir, telur ayam ras, mie instan, tempe, bawang merah, kopi, dan tahu. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, listrik, angkutan, dan pendidikan.
Pada periode Maret 2009-Maret 2010, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?
SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian
besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat
dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang
dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya
pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan
sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum
(Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program
utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama
tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu
sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan
pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk
miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan
reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada
pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS,
persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi,
sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta
orang.Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan program kemiskinan di Indonesia
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Indonesia, sebagai Negara terbesar
dan terluas di kawasan ASEAN, memang pantas diperhitungkan dalam kancah
percaturan ekonomi dunia, termasuk G- 20. Keinginan Indonesia (ASEAN) berperan
dalam perundingan G - 20 sebagaimana yang telah disepakati pada Konferensi
Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Thailand beberapa waktu lalu merupakan salah satu langkah maju dalam
proses integrasi ekonomi ASEAN. Terbukanya akses dan peluang kerja sama dengan
20 negara ekonomi terbesar di dunia itu menunjukkan semakin diakuinya peran
regional ASEAN dalam penentuan kebijakan ekonomi global. Dalam proses ini, Indonesia
memainkan peranan penting karena merupakan satu-satunya negara ASEAN di G - 20
dan memiliki posisi strategis sebagai ”penyambung” kepentingan ASEAN dan G -
20.
Kekhawatiran negara-negara ASEAN atas
kemungkinan Indonesia mengabaikan ASEAN dan lebih fokus ke G - 20 sesungguhnya
menunjukkan kekhawatiran negara-negara ASEAN bahwa mereka tidak dapat ikut
”ambil bagian” dalam keuntungan yang dimiliki Indonesia ini. Hal itu
menunjukkan bahwa sesungguhnya yang harus dikhawatirkan saat ini bukanlah jika
Indonesia meninggalkan ASEAN, tapi jika Indonesia ”menggiring” negara-negara
ASEAN untuk menganaktirikan sendiri kerja sama ekonomi mereka.
.Tidak dapat dimungkiri bahwa keuntungan
ekonomi yang ditawarkan G-20 jauh lebih besar daripada yang ditawarkan ASEAN.
Jika dibandingkan dengan G-20 yang mencakup 80% total perdagangan dunia dan
memiliki 67% penduduk dunia, ASEAN bisa dikatakan hanya merupakan ”anak bawang”
dalam ekonomi dunia. Jika harus memilih, rasanya, seluruh negara ASEAN pun akan
memilih mencari akses masuk ke organisasi ini kendati harus ”sedikit”
mengorbankan kepentingan bersama ASEAN. ASEAN sendiri sejak pertama membentuk
integrasi ekonomi terbukti belum mampu meningkatkan peran ekonomi mereka secara
signifikan di kancah internasional dan bahkan justru memiliki kecenderungan
mengedepankan kepentingan masing-masing negara secara individu dan bukan secara
kolektif.
Integrasi Setengah Hati
Dalam ekonomi internasional,
penghilangan hambatan dagang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
sumber daya guna meningkatkan output global. Perdagangan bebas (seharusnya)
memungkinkan para konsumen dan produsen memperoleh barang serta jasa dengan
harga yang lebih murah sehingga kesejahteraan dapat lebih ditingkatkan. Sayang,
hal itu tidak tampak dalam kerja sama ekonomi ASEAN. Kendati telah ada
kesepakatan mengenai pembentukan ASEAN
Free Trade Area (AFTA) pada 1992, efek penghapusan hambatan tarif terhadap
arus perdagangan antar negara ASEAN belumlah tampak.
Skema Common
Effective Preferential Tariff (CEPT) yang menjadi landasan perdagangan bebas
ASEAN pun belum terbukti mampu meningkatkan perdagangan antara sesama negara
anggotanya (intra-ASEAN trade). Meski telah ada peningkatan intra-ASEAN trade
pasca pemberlakuan AFTA, peningkatannya masih jauh jika dibandingkan dengan
peningkatan perdagangan dengan non-anggota ASEAN (extra-ASEAN trade).
Data dari ASEAN Affairs pada 2009
menunjukkan bahwa intra-ASEAN trade hanya mencakup kurang lebih 20-30% dari
keseluruhan perdagangan ASEAN (kecuali untuk Myanmar) atau dengan kata lain,
sekitar 70-80% dari perdagangan negara ASEAN dilakukan dengan negara non-ASEAN.
Angka ini sangatlah rendah jika dibandingkan dengan persentase intra-trade blok
ekonomi lain semisal Uni Eropa yang intra-trade-nya mencapai lebih dari 60%
ataupun North America Free Trade Area (NAFTA) yang mencapai 50%.
Salah satu penyebab rendahnya intra-ASEAN
trade adalah beberapa negara anggota juga mengajukan permohonan penundaan
penghapusan tarif untuk komoditas tertentu, seperti Malaysia yang mengajukan penundaan
penghapusan tarif untuk komoditas otomotifnya karena dirasa belum sanggup
mengikuti perdagangan bebas. Beberapa tindakan yang dilakukan negara-negara
ASEAN itu memunculkan kesan bahwa sesungguhnya integrasi ekonomi ASEAN adalah
integrasi ”setengah hati”, di mana keinginan politik dan loyalitas
negara-negara anggotanya untuk berintegrasi sebenarnya sangatlah minim.
Terbukanya akses ke G - 20 seharusnya
disikapi dengan lebih bijak oleh negara anggota ASEAN. Tidak dapat dimungkiri
bahwa kerja sama ASEAN dan G - 20 akan menjadi prospek yang baik untuk negara
anggotanya secara individu karena membuka akses negara mereka ke pasar global.
Namun di satu sisi, harus
dipertimbangkan juga beberapa hal. Konsekuensi terbesar kerja sama ASEAN dan G
- 20 adalah akan semakin terabaikannya proses integrasi ekonomi ASEAN,
mengingat banyak anggota G - 20 yang merupakan mitra dagang utama negara-negara
ASEAN. Dengan peluang kerja sama yang semakin terbuka lebar, sangat besar
kemungkinan bahwa banyak negara ASEAN yang akan memilih lebih mengintensifkan
kerja sama dagang dengan mitra dagang utamanya melalui kerja sama ASEAN-G - 20
daripada memperbaiki mekanisme kerja sama intra-ASEAN. Di satu sisi, tidak
mungkin bagi negara-negara ASEAN untuk mengorbankan kerja sama ASEAN karena
memiliki makna politik, keamanan, dan budaya yang sangat penting bagi negara
anggotanya. Dengan berbagai hambatan teknis dan politis yang sudah ada,
“godaan” dalam bentuk G - 20 tentu akan menjadi batu sandungan berat bagi
integrasi ekonomi negara-negara ASEAN.
Posisi Strategis Indonesia
Dengan posisi yang sedemikian penting
dalam penentuan arah kebijakan integrasi ekonomi ASEAN, sudah seharusnya Indonesia
lebih berhati-hati dalam bertindak. Pernyataan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bahwa Indonesia
tidak akan “meninggalkan” ASEAN hendaknya diikuti dengan tindakan nyata. Dengan
posisi tawar (bargaining power) yang bagus di ASEAN, Indonesia
seharusnya dapat menjadi pelopor dan penggerak utama untuk penguatan kerja sama
ekonomi ASEAN. ASEAN sendiri memiliki peran politik, keamanan, dan budaya yang
sangat penting bagi Indonesia
sehingga sangat disayangkan jika kerja sama ekonomi yang menjadi salah satu
landasan pembentukan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) tidak berjalan secara
maksimal. Indonesia
saat ini ibarat “berada di dua tempat sekaligus” sehingga memungkinkan bagi
kita untuk mengatur dan mengontrol dengan tepat posisi serta pergerakan ASEAN
dalam skema kerja sama ASEAN-G20. Dengan keuntungan ini, seharusnya Indonesia
bisa mengambil inisiatif utama untuk perubahan dan perbaikan mekanisme kerja
AFTA saat ini. (Sumber: Jawa Pos, 28 Oktober 2009)
Kemiskinan, adalah salah satu “penyakit”
ekonomi yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Apalah artinya
Indonesia
menjadi penentu tata ekonomi dunia baru jika justru di dalam negeri sendiri
segala persoalan ekonomi belum tuntas. Saran penulis, sebaiknya pemerintah Indonesia
membenahi dulu persoalan-persoalan internal yang memang harus segera diatasi
termasuk pemberantasan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan penduduk.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS).2009.
Echols, John M, and Shadily, Hassan, English – Indonesian Dictionary, Ithaca, USA.
Soelistyo.2005.Ekonomi Internasional, BPFE –UGM, Yogyakarta.
Tulus Tambunan.2008.Perekonomian Indonesia,
Salemba Empat, Jakarta.
World
Economic Forum.2010.Davos, Switzerland.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar